Dinamika Budaya Berpolitik

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka saat menjalani tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta/RMOL
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka saat menjalani tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta/RMOL

PERUBAHAN kebiasaan menimbulkan keguncangan. Terguncang-guncang menuju keseimbangan yang baru.

Guncangan tersebut dalam dunia politik terlihat dengan sangat jelas. Misalnya, parpol menganut satu partai saja. Mono parpol. Kalau bisa satu partai seumur hidup. Tidak berpindah-pindah parpol. Tidak menjadi kutu loncat. Bukan opportunis.

Akan tetapi yang terjadi pada Gibran Rakabuming Raka adalah sebagai kader PDIP, kemudian berkomunikasi dengan Puan Maharani. Selanjutnya Gibran menggunakan seragam keanggotaan Partai Golkar. Sebagai kader Partai Golkar, Gibran maju sebagai cawapres dari Prabowo Subianto, yang merupakan Ketum Partai Gerindra.

Atas perubahan yang dilakukan oleh Gibran, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sampai hari ini belum memberikan respons. Responsnya diam. Diam yang sulit ditafsirkan. Diam sebagai sikap setuju, ataukah diam menunggu momentum yang tepat untuk mengambil sikap.

Kalau Joko Widodo sebagai orang tua merestui dan mendoakan Gibran. Kemudian Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara menyatakan mendukung semua pasangan capres cawapres yang saling bersaing berlomba-lomba untuk menang Pilpres 2024.

Megawati Soekarnoputri juga diam, ketika Kaesang pindah dari kader PDIP untuk masuk Parpol PSI. Hanya berhitung hari, Kaesang kemudian menjadi Ketum PSI. Selanjutnya PSI masuk Koalisi Indonesia Maju untuk satu gerbong pemenangan mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Sementara itu Bobby Nasution, yang merupakan menantu Joko Widodo masih berada dalam Parpol PDIP, namun mendukung kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Di samping itu Bobby Nasution tentu saja sebagai kader PDIP mendukung kemenangan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

Dinamika budaya berpolitik tersebut dari mono parpol, menjadi pindah parpol, maupun berada pada satu parpol, kemudian berkoalisi dengan parpol lainnya telah terkesan menguatkan keguncangan dalam berpolitik.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebenarnya sudah menjadi budaya yang baru untuk terjadi koalisi-koalisi yang berbeda, yakni satu koalisi dalam pemerintahan eksekutif dan legislatif, kemudian dalam Pilpres terjadi perbedaan kelompok koalisi, tanpa mengundurkan diri dari koalisi dalam pemerintahan eksekutif.

Bersatu koalisi dalam Pilpres, namun berbeda koalisi dalam pemenangan Pilgub. Juga demikian berbeda koalisi pada pemenangan Pilwali, dan atau Pilbup. Dinamika budaya berpolitik tersebut sudah lama terjadi dan cair. Minimal sejak diberlakukan Pilpres dan Pileg serentak. Juga Pilkada serentak.

Persoalannya adalah beberapa kader parpol terkesan terguncang dan memerlukan waktu untuk move on. Misalnya, seorang kader parpol terkesan menolak dinamika berpolitik. Menyukai menganut mono parpol. Bahkan mungkin mono parpol seumur hidup.

Itu sebagaimana budaya kerja di Jepang, yang lebih menyukai bekerja pada satu perusahaan saja seumur hidup.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana.