Debat III Capres Hendaknya Visioner di Dalam dan Luar Negeri

Teuku Rezasyah/Ist
Teuku Rezasyah/Ist

DEBAT III calon presiden tinggal hitungan jam. Temanya tegas sekali: Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik. Tentunya ketiga capres ini sudah makan asam garam atas tema di atas, dan telah juga mendapatkan asupan ide dari tim sukses mereka masing-masing.

Terlepas dari kesiapan mereka satu sama lain, tentunya terpikirkan juga, jika mereka adalah produk reformasi yang terjadi 26 tahun silam, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini akan berusia 100 tahun pada tanggal 17 Agustus tahun 2045, atau 21 tahun mendatang.

Dengan demikian, cara berpikir mereka tidaklah hanya untuk 5 tahun ke depan, namun hendaknya memuat juga fondasi jangka panjang untuk 21 tahun ke depan, dan juga sesudahnya.

Untuk itu, siapa pun yang terpilih nantinya, hendaknya mampu memerankan dirinya sebagai pemimpin yang visioner, di mana visi misi dan rincian program yang telah mereka susun itu hendaknya juga menjadi modal penting bagi masa depan NKRI.

Kepemimpinan Visioner

Pada intinya, pemimpin visioner adalah mereka yang bukan saja berideologi Pancasila secara taat azas, namun hendaknya juga mampu berpikir kreatif dengan cara mempercepat pencapaian tujuan nasional untuk masa kini, serta merajutnya dengan ide-ide masa depan, melalui jejaring komunikasi yang dimengerti oleh lintas generasi.

Secara garis besar, kepemimpinan visioner untuk masa depan Indonesia dapat dirumuskan dalam kerangka domestik dan internasional, yang harus saling memperkuat secara terus-menerus, dengan melibatkan seluruh potensi bangsa Indonesia yang serba majemuk ini.

Diharapkan delapan ide berikut ini dapat membantu masyarakat memahami betapa saling terhubungnya ide-ide pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik, yang akan dibahas dalam Debat III Calon Presiden.

Visioner Tingkat Domestik

Pertama, capres dan cawapres yang sedang berkompetisi adalah potret dari pemimpin yang pemersatu, sebagaimana halnya Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta tempo di awal kemerdekaan kita. Dalam hal ini, Sukarno berperan sebagai pemersatu bangsa, dan Hatta berperan sebagai manajer pembangunan nasional.

Untuk saat ini, capres dan cawapres kita hendaknya mampu sejak dini menyuguhkan mekanisme pembagian kerja di antara mereka, di mana mereka yang sedang bertarung ini adalah sebuah tim tangguh, dan kelak juga akan memerintah sebagai sebuah kesatuan kepemimpinan yang kokoh dan saling mengisi.

Dalam praktiknya nanti, presiden dan wakilnya akan memagari seluruh aspek pembangunan nasional dengan sebuah konsistensi hukum yang kuat, tegak, sekaligus fleksibel, guna mengokohkan seluruh aspek kepentingan nasional dalam hubungan antar bangsa secara saling menguntungkan dan berbasis hukum.

Kedua, capres dan cawapres yang akan terpilih nanti mampu berkomunikasi secara lintas budaya dengan seluruh penduduk Indonesia saat ini, mengingat masyarakat kita dapat diklasifikasikan sebagai generasi Baby Boomers, yakni mereka yang terlahir antara tahun 1946-1964, semasa demokrasi terpimpin kala Presiden Soekarno.

Selanjutnya, berkomunikasi dengan Generasi X, yang terlahir antara tahun 1965-1980, dan menyaksikan kepemimpinan Soeharto yang mengedepankan ide-ide stabilitas berinteraksi dengan praktik pertumbuhan dan pemerataan.

Kemudian, Generasi Y (milenial) yang terlahir antara tahun 1981-1996, yang menjadi saksi dari transisi kepemimpinan nasional dari Soeharto ke Habibie, serta menyaksikan juga hiruk-pikuknya demokratisasi semenjak kepresidenan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo.

Terakhir, komunikasi lintas budaya dengan Generasi Z yang terlahir antara tahun 1997-2012, yang saat ini menikmati buah dari reformasi, namun kurang memahami pedih perihnya kehidupan sebelum reformasi tahun 1998, serta akan menjadi pemilih pertama pada pilpres bulan Februari tahun 2024.

Ketiga, capres dan cawapres yang akan terpilih nanti hendaknya mampu memberdayakan generasi muda Indonesia, sehingga mereka menjadi aktor penting dalam pembangunan nasional dan rivalitas global, dan tidak lagi menjadi pemerhati didalam negeri mereka sendiri.

Untuk itu generasi muda Indonesia yang saat ini berjumlah 65 juta penduduk hendaknya diberdayakan melalui berbagai program pendidikan formal dan informal yang berbasis Artificial Intelligence (AI), sehingga mampu menjadi pelaku aktif dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, namun juga mampu mendukung negara guna menghadapi berbagai skenario pertahanan dan keamanan di masa depan.

Menyimak pesatnya perkembangan AI saat ini, maka penghancuran sebuah negara dapat dilakukan melalui pengrusakan instalasi sipil dan militer; penghancuran basis data di sektor publik terutama sekali kesehatan, pendidikan dan transportasi; pengeroposan kekuatan ekonomi masyarakat melalui kejahatan perbankan; dan penghancuran moral masyarakat melalui kejahatan pornografi.

Generasi muda yang akrab dengan AI ini diharapkan mampu menjadi mitra pemerintah dalam aspek cyber security, guna memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.

Visioner Tingkat Internasional

Pertama, capres dan cawapres terpilih perlu melanjutkan kebijakan luar negeri bebas aktif yang telah diperjuangkan sejak pendirian negeri ini, mengingat RI telah memiliki reputasi yang sangat baik di lingkungan dunia, sehingga menjadikan RI berperan sebagai perekat perdamaian internasional dan jembatan bagi keadilan dan pembangunan internasional.

Peranan RI sudah terlihat jelas dalam berbagai tema seperti: ketokohan dalam ASEAN, OKI, GNB, G-20; termasuk prakarasa perdamaian di Rusia dan Ukraina; serta kerja sama Archipelagic and Island States.

Untuk ke depannya, sudahlah tiba saatnya RI memperkokoh kebijakan luar negeri bebas aktif ini dengan sebuah kata kunci baru, sehingga menjadi: Bebas Aktif dan Kreatif.

Kreatif berarti terus mengedepankan ide–ide baru, guna membuat dunia ini menjadi lebih damai dan berkeadilan. Dalam hal ini, kreatif dalam penyelesaian krisis melalui praktik terbaik SDG’s secara lintas negara, guna langsung diterapkan bagi pemberdayaan masyarakat di negara sedang berkembang.

Selanjutnya, membangun diplomasi antar kota di bidang investasi, kepariwisataan, dan kebudayaan, guna mencairkan hubungan yang terhambat di tingkat pemerintah pusat.

Selanjutnya lagi, menugaskan mereka yang pernah menduduki jabatan publik di masa lalu, dan memiliki reputasi internasional, guna menjadi Envoy (utusan negara), guna menjembatani rapuhnya komunikasi di tingkat kepala negara.

Kedua, capres dan cawapres terpilih perlu memperkuat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang telah berumur 78 tahun, sehingga lebih tanggap atas perubahan multidimensi yang telah terjadi di dunia ini.

Target utamanya adalah membuat Dewan Keamanan PBB menjadi lebih berkeadilan, karena selama ini hanya diwakili oleh empat negara yang berperadaban Greek-Yudeo-Roman, dan satu peradaban Mandarin.

Ke depannya, perlu diperkuat dengan 5-10 anggota baru, yang mewakili keragaman peradaban dunia berikut keterwakilan antar benua.

Kesatu, peradaban Hindu yang dapat diwakili oleh India. Kedua, peradaban Islam modern yang dapat diwakili oleh Turki, Arab Saudi, dan Mesir. Ketiga, komposisi negara dengan penduduk terbesar, yang dapat diwakili oleh Indonesia, Pakistan, Brazil, dan Nigeria. Keempat, komposisi negara dengan luas wilayah terbesar, seperti Kanada, Australia, Argentina dan Kazakhstan. Kelima, komposisi negara dengan kehandalan pembangunan di dalam dan luar negeri, yang dapat diwakili oleh Jepang, Jerman, dan Korea Selatan.

Walaupun sebatas ide, Indonesia hendaknya mampu menjadikan isu reformasi PBB ini sebagai agenda dikalangan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB), yang sebenarnya merupakan komposisi negara terbesar di dunia saat ini.

Ketiga, capres dan cawapres terpilih hendaknya mampu menempatkan Indonesia sebagai penengah dalam menghadapi persaingan Amerika Serikat-RRC di tingkat global yang terus meluas, sehingga berpotensi melahirkan berbagai konflik lokal di berbagai penjuru dunia.

Indonesia di masa depan diharapkan mampu mencegah terjadinya perang nuklir, serta membantu penyelesaian krisis–krisis yang belum terselesaikan saat ini seperti konflik Palestina-Israel, konflik Rusia-Ukraina, dan konflik di perbatasan India-China.

Di wilayah Asia Tenggara khususnya, Indonesia diharapkan mampu berperan serta menengahi konflik perebutan wilayah karang dan atoll di Laut China Selatan, konflik terbatas antara China-Vietnam, dan antara China-India. Termasuk juga, mencegah RRC menjadikan Nine Dash Line (NDL) yang tidak berbasis hukum internasional itu, sebagai wilayah perang masa depan.

Keempat, capres dan cawapres terpilih hendaknya menunjukkan solidaritas akan perlunya percepatan pembangunan di Asia, Afrika, dan Latin Amerika. Dalam hal ini, akan banyak negara yang tidak dapat mencapai target Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2030 mendatang.

Terutama sekali pada aspek-aspek kesehatan, pendidikan dasar-menengah, penggunaan energi terbarukan, pencemaran laut akibat mikro-plastik, pembangunan UMKM, serta kemiskinan ekstrem. Termasuk juga antisipasi Indonesia atas kemunculan varian baru pasca Covid-19 Pandemi, yang berdampak global dengan banyak negara yang tidak seragam dalam cara menanganinya, dan cenderung egois.

Kelima, capres dan cawapres terpilih hendaknya juga mampu membangun solidaritas internasional guna mempertahankan kualitas hidup masyarakat dunia. Antara lain menghadapi naiknya permukaan air laut, kelangkaan air di darat, serta perebutan sumberdaya mineral antar negara yang berbatasan.

Dalam hal ini, capres dan cawapres perlu memikirkan sebuah PBB yang memiliki pasukan perdamaian guna diturunkan di berbagai wilayah yang menghadapi sengketa lingkungan hidup dan bahan mineral. Bila hal ini tidak cepat ditangani, berpotensi pada meluasnya konflik internasional yang baru.

Mampukah capres dan cawapres terpilih nantinya menyikapi tiga tantangan domestik dan lima tantangan internasional tersebut di atas? Masih ada sedikit waktu sebelum rakyat mencoblos tanggal 14 Februari mendatang. 

Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung.