Black campaign atau kampanye hitam yang masih terus menyerang Prabowo Subianto membuat Ketua Majelis Jaringan Pro Demokrasi (ProDEM), Iwan Sumule keheranan.
- Hadapi Pemilu 2024, Mesin PDI Perjuangan Kabupaten Probolinggo Mulai Digenjot
- RMOL Gelar Essay Writing Competition tentang Kebijakan Korsel di ASEAN
- Presiden PKS Hadiri HAUL KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang, Kang Irwan: Belajar dari Perjuangan Mbah Bisri, Ulama Visioner yang Perjuangkan Wanita
Rasa heran disampaikan Iwan Sumule dalam menanggapi video pembentangan baliho besar bertuliskan “Selamat Datang Neo Orba, Mahkamah Konstitusi Mengaborsi Demokrasi, Tolak Politik Dinasti, Lawan!!!”.
Menurutnya, tudingan sebagai neo orba seharusnya tidak lagi layak diserukan. Pasalnya, Prabowo Subianto dan Joko Widodo sudah melakukan rekonsiliasi usai Pilpres 2014 dan 2019.
Rekonsiliasi itu sendiri, sambungnya, didasari tujuan yang mulia. Yaitu, untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara.
“Sehingga narasi ini sudah tidak patut didengungkan lagi. Ingatlah lagi soal rekonsiliasi nasional para tokoh pra-kemerdekaan yang ditandai pembentukan BPUPKI. Itu didasari bentuk kesadaran untuk bersatu mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia,” tegasnya melansir Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (17/11).
Iwan Sumule berkesimpulan, black campaign yang terus dilakukan terhadap Prabowo Subianto merupakan luapan kebencian gerombolan yang miskin ide dan gagasan. Mereka tidak memiliki kreativitas menghadapi pesta demokrasi dan menolak kemajuan Indonesia.
Padahal, sambungnya, tantangan bangsa Indonesia di situasi global yang semakin tidak menentu ini bukan lagi soal rasa kebencian. Melainkan harus bisa mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman agar visi Indonesia maju terwujud.
“Termasuk memastikan demokrasi secara ekonomi dan politik bisa hadir dalam setiap aspek kehidupan dan sampai ke piring-piring rakyat,” tegasnya.
Sementara menanggapi tudingan politik dinasti seiring keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024, Iwan Sumule merasa aneh.
Baginya, di negara yang menganut sistem demokrasi, maka secara otomatis dinasti tidak akan ada.
“Jadi mereka yang terus mendengungkan ‘dinasti politik’ tidak percaya dengan sistem demokrasi yang sedang kita bangun dan perbaiki. Terlebih tak percaya dengan ungkapan ‘vox populi vox dei’ di negara demokrasi,” tutupnya.
- Soal Proporsional Terbuka-Tertutup, PKB Minta MK Adil dan Tak Bikin Sulit Parpol
- Demi Kemajuan Pertamina, Erick Thohir Disarankan Angkat Komut Jangan Seperti Ahok
- 2 Tahun Jokowi-Ma'ruf, Mahasiswa Bandung: Indonesia Tidak Baik-baik Saja