Gerakan Mahasiswa Surabaya: Demokrasi Mati dalam Genggaman Presiden

Aksi Gerakan Mahasiswa Surabaya
Aksi Gerakan Mahasiswa Surabaya

Aksi protes dilakukan oleh  Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS) pada sore hari ini, Jumat (9/2) di Depan Gedung Istana Grahadi, tepatnya depan Taman Apsari Surabaya.


Aksi itu menjadi pusat perhatian warga Surabaya, lantaran massa aksi menyampaikan kritik politiknya di pinggir jalan sembari memainkan musik.

Dalam orasinya tersebut, GMS mengajak seluruh dari berbagai entitas diantaranya yakni pedangan kakilima, Ibu-ibu, para kelompok intelektual, para pemuda dan segenap warga Indonesia agar 'melek' dengan situasi dan kondisi 'Darurat Nasional Bangsa dan Negara' ini. 

Selain melakukan aksi Teatrical Darurat Demokrasi yang diiringi pembacaan puisi kerakyatan, juga melakukan special performance berupa Refleksi Matinya Demokrasi - Selayang Pandang Demokrasi. Seperti diketahui, adapun beberapa tuntutan dalam aksinya ini, yaitu Boikot Presiden Otoriter, Tolak Rezim Tak Punya Hati dan Hentikan Rezim Pelanggar Konstitusi. 

Koordinator Lapangan (Korlap) aksi SURABAYA MELAWAN, Mohammad Jalaludin mengatakan, bahwa prinsip kebebasan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari praktek demokrasi dimana pemegang kekuasaan (pemerintah dan rakyat) harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. 

Dengan demikian, lanjut pria yang akrab disapa Alan menjelaskan, pusat kekuasaan dan rakyat tidak dapat bertindak sewenang-sewenang melainkan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Dengan kata lain pelaksanaan demokrasi tidak memberi peluang adanya kebebasan yang tidak terbatas sehingga semua kelompok kepentingan memperoleh perlindungan hukum. 

"Ketentuan dan peraturan hukum yang membatasi kekuasaan pemerintah ini ada dalam konstitusi sehingga demokrasi konstitusional sering disebut dengan pemerintahan berdasarkan konstitusi," jelasnya kepada selalu.id, Jumat (9/2). 

Dikatakannya, mengingat adanya situasi carut marutnya demokrasi di Indonesia yang semakin menyalahi nilai-nilai demokrasi, yakni hukum yang tajam ke atas tumpul ke bawah, hukum dibuat berdasarkan kepentingan keluarga presiden, kebijakan sepihak presiden terhadap kampanye salah satu paslon, bahkan secara terang-terangan presiden melakukan tindakan nepotisme dgn tanpa rasa bersalah sedikitpun. 

"Parahnya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang digunakan presiden untuk melakukan intervensi kekuasaan pada proses dan pelaksanaan pelilu hingga money politik, maka dengan ini kami seluruh masyarakat yg hadir dalam agenda SURABAYA MELAWAN menyatakan menuntut Presiden RI untuk tidak memainkan nilai dan norma hukum sebagai instrumen politik," tegasnya. 

Adapun beberapa tuntutan yang diutarakan oleh masa aksi tersebut diantaranya yakni ; 

1. Menuntut Presiden RI untuk tidak memainkan nilai dan norma hukum dan menjadikan hukum sebagai instrumen politik keluarga sehingga hukum jauh dari keadilan. 

2. Menuntut Presiden RI memberikan jaminan TNI, Polri, dan ASN untuk bersikap netral agar tidak memihak pada salah satu calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada 14 februari 2024 mendatang. 

3. Menuntut Presiden agar tidak melakukan tindakan nepotisme. 

4. Menuntut KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu untuk tidak masuk angin agar tidak memihak apalagi dikendalikan oleh Presiden.


ikuti update rmoljatim di google news