Papua Barat: Negeri yang Diintegrasikan Tanpa Suara Rakyat

Khairul A. El Maliky/Dok. Pribadi
Khairul A. El Maliky/Dok. Pribadi

DI sebuah negeri tropis dengan aroma santan dan senyum pejabat yang lebih manis dari gula rafinasi, terdapat satu bab sejarah yang terus dibungkus seperti lemper basi: kisah Papua Barat. Negeri yang katanya "diintegrasikan" ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi, padahal kenyataannya lebih mirip anak angkat yang tak pernah diizinkan memilih orang tua. Indonesia suka menyebutnya "sudah final," sementara dunia hanya mengangguk dengan muka datar. Tapi benarkah Papua Barat pernah bersuara? Atau apakah integrasi ini hanya hasil dialog antara senapan dan diplomasi?

Inilah esai yang akan mengajak kita menertawakan kebodohan sejarah, menguliti logika setengah matang negara, dan menyajikan satire dengan topping akademik. Siapkan diri, karena perjalanan ini seperti naik ojek di jalan berlubang—bergetar, tak nyaman, tapi membuka mata.

Perjanjian New York - Ketika Rakyat Papua Hanya Penonton

Mari kita mulai dari 15 Agustus 1962, Perjanjian New York ditandatangani. Di sini, Belanda, Indonesia, dan PBB duduk di meja bundar. Satu-satunya yang absen adalah rakyat Papua. Oh iya, kenapa harus repot-repot mengundang mereka? Toh, dalam kamus geopolitik era Perang Dingin, rakyat hanyalah figuran.

Perjanjian ini menyepakati bahwa Papua Barat akan diserahkan kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) sebelum diserahkan kepada Indonesia, dengan syarat akan diadakan "Act of Free Choice" pada 1969. Dari sinilah kebebasan mulai kehilangan makna. Karena "Act of Free Choice" kemudian dibajak menjadi "Act of No Choice." Rakyat Papua mungkin tak tahu mereka sedang dipertaruhkan dalam permainan catur global.

Pepera 1969 - Pesta Demokrasi dengan 1.026 Undangan

Tahun 1969. Indonesia mengklaim menjalankan mandat PBB: Penentuan Pendapat Rakyat atau dalam bahasa akrabnya: referendum. Tapi alih-alih mengundang seluruh rakyat Papua (sekitar 800.000 jiwa saat itu), pemerintah hanya memilih 1.026 orang. Dengan metode musyawarah. Dengan pengawasan militer. Dengan tekanan psikologis. Dengan suara bulat.

Bayangkan Anda diundang ke pesta demokrasi, tapi begitu masuk, Anda diberi pilihan: angkat tangan atau angkat senjata. Waktu itu, satu-satunya suara yang terdengar nyaring bukan suara rakyat, tapi suara sepatu lars di lorong-lorong Jayapura. Dan ajaibnya, PBB menerima hasilnya dengan senyum datar dan resolusi 2504. Sejak saat itu, dunia berpura-pura segalanya baik-baik saja, seperti orang yang tahu gorengannya gosong tapi tetap dimakan.

Integrasi atau Aneksasi? Akademisi pun Geleng Kepala

Dalam studi hubungan internasional, banyak akademisi menyebut proses integrasi Papua sebagai bentuk aneksasi terselubung. Peter King, akademisi dari University of Sydney, menyebut Pepera sebagai "a tragic theatre of manipulation." Laporan dari sejarawan Amerika, John Saltford, membuktikan bahwa banyak peserta Pepera telah diintimidasi. Amnesty International dan Human Rights Watch? Sudah berkali-kali mengangkat pelanggaran HAM yang dilakukan setelah integrasi.

Namun, di dalam negeri, suara-suara ini dilabeli "provokatif," "anti-NKRI," atau stempel paling laris: "kadrun separatis." Di negara di mana kritik dianggap makar dan sejarah hanya ditulis oleh pemenang, ilmuwan harus pintar-pintar memilih diksi agar tetap bisa naik pangkat.

Freeport, Emas, dan Tragedi yang Berkilau

Papua bukan hanya soal politik, tapi juga soal ekonomi. Emas di Freeport lebih banyak dari empati negara pada rakyatnya. Perusahaan tambang raksasa itu telah mengeruk miliaran dolar dari tanah Papua, sementara warga sekitar hidup dalam kemiskinan, dengan indeks pembangunan manusia yang mendekati dasar jurang statistik nasional.

Lucunya, setiap kali ada suara protes, negara justru menambah jumlah pasukan. Seolah tambang yang bocor bisa diperbaiki dengan peluru. Jika kapitalisme adalah agama baru, maka Papua adalah tempat ibadahnya yang paling suci, tapi rakyatnya dilarang masuk.

Otonomi Khusus - Aspirin untuk Penyakit Kanker

Tahun 2001, negara menawarkan Otonomi Khusus (Otsus). Katanya demi mempercepat pembangunan. Tapi rakyat Papua menyebutnya "Obat Tutup Suara." Miliaran rupiah digelontorkan, tapi korupsi berjemaah justru menjamur. Elit lokal jadi kaya, rakyat tetap makan ubi.

Otsus adalah cara pemerintah berkata, "Kami dengar keluhan kalian," tapi dengan tangan di telinga. Itu seperti memberi helm pada pasien yang kena tumor otak—terlihat peduli, tapi salah urat.

Suara dari Hutan - Ketika Damai Ditukar dengan Peluru

Setiap tahun, berita tentang penembakan, pengungsian, hingga penahanan aktivis Papua menghiasi media alternatif. Benny Wenda, Filep Karma, dan banyak nama lain menjadi simbol perlawanan. Tapi di TV nasional, mereka disebut separatis. Tak heran jika banyak warga Papua lebih percaya pada YouTube dibanding saluran berita resmi.

Militerisasi Papua bukan solusi. Mengirim pasukan ke Papua untuk menjaga integrasi adalah seperti menyiram bensin pada api. Tidak akan padam, hanya tambah panas. Sementara itu, pembangunan hanya sebatas spanduk proyek. Jalan tol dibangun, tapi hak bersuara tetap macet.

Dukungan atau Sekadar Simpati Digital?

Beberapa negara Pasifik Selatan, seperti Vanuatu dan Tonga, terus menyuarakan hak Papua untuk menentukan nasib sendiri. Di PBB, beberapa pidato berani disuarakan. Tapi sejauh ini, dunia hanya memberi dukungan moral. Karena ketika berhadapan dengan kepentingan geopolitik dan tambang emas, moral hanya sekadar dekorasi pidato.

Amerika, Inggris, dan negara barat lainnya tahu ada yang salah, tapi terlalu nyaman dalam kerjasama bisnis dengan Indonesia. Jadi, suara rakyat Papua harus bersaing dengan kontrak dagang. Tebak siapa yang kalah?

Papua dan Republik yang Tuli Selektif

Papua Barat mungkin telah masuk peta Indonesia secara administratif, tapi secara hati, apakah kita pernah benar-benar mendengarkan mereka? Ini bukan soal NKRI harga mati, tapi harga diri rakyat yang tak pernah diminta pendapatnya.

Demokrasi tidak boleh jadi milik pulau Jawa saja. Kalau Papua dipaksa masuk tanpa suara, maka kita bukan negara demokrasi, melainkan firma hukum yang hanya mewakili kepentingan segelintir elit.

Sudah waktunya membuka ruang dialog yang tulus. Bukan sekadar pertemuan di hotel berbintang yang disiarkan TV, tapi mendengar suara dari hutan, dari kampung, dari mama-mama Papua yang selama ini hanya dijadikan simbol eksotika budaya.

Papua tidak butuh dipeluk dengan senjata, tapi dipeluk dengan kejujuran sejarah. Jika tidak, kita hanya akan terus menjadi republik yang bisu, tuli, dan buta terhadap luka yang ditimbulkannya sendiri.

Karena sejatinya, negeri ini belum utuh, jika ada satu wilayah yang masuk tanpa benar-benar pernah berkata "ya".

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis

ikuti terus update berita rmoljatim di google news