INDONESIA berduka. Itulah tagar di berbagai media sosial yang sempat trending beberapa minggu terakhir. Pasalnya di hampir setiap gang rumah, semenjak awal Bulan Juli, konon berkibaran bendera kuning.
Bendera kuning, dalam tradisi masyarakat Indonesia, artinya penanda bahwa telah ada seseorang yang wafat. Penyebab kematiannya apa tidak perlu diketahui. Yang perlu diingat adalah jika bendera kuning berkibar berarti pertanda bahwa ada keluarga yang bersedih sebab kehilangan salah satu anggotanya.
Peristiwa banyaknya kematian tersebut tentu berkaitan dengan fenomena yang saat ini tengah marak. Fenomena dimana virus corona dengan dampak penularan yang lebih gawat tengah masuk kembali Indonesia. Indonesia, dalam bahasa global, tengah mengalami the second wave atau "tsunami corona kedua".
Belum usai duka tersebut kemudian muncul narasi baru, narasi "Indonesia menyerah".
Indonesia menyerah adalah respons daripada imbas kebijakan yang diambil Pemerintah untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Korban kebijakan tentu sama banyaknya dengan korban akibat covid itu sendiri. Pekerja seni, pedagang, tukang ngobeng kegiatan yang butuh keramaian, dan lainnya adalah sebagian contoh yang terdampak.
"Menyerah" di sini bukan berarti kalah. Menyerah disini adalah ungkapan perasaan yang menggambarkan putusnya harapan. Putus harapan sebab tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyambung hidup.
Sikap "menyerah" tersebut, menurut berita beredar, diekspresikan dengan adanya pengibaran bendera putih. Pihak yang mengibarkan bendera tersebut utamanya adalah para pedagang.
Bendera putih sebagai tanda menyerah menurut sejarawan Romawi, Cornelius Tacticus, telah mafhum disepakati sejak 109M. Di era modern, bendera putih kemudian dirumuskan pula dalam Konvensi Den Haag tahun 1899-1907.
Salah satu rumusan yang dimaksud adalah siapapun yang mengabarkan bendera putih maka dia tidak boleh ditembak ataupun menembak.
Bendera kuning dan bendera putih ini kemudian beradu di jalanan.
Berselang beberapa saat, di tengah-tengah berkibarnya bendera kuning dan putih, muncul narasi baru. Narasi optimisme. "Indonesia bisa".
Narasi Indonesia Optimis seolah ingin menghidupkan harapan di tengah duka dan menyerah. Pemicunya adalah tim atlet pebulutangkis wanita asal Indonesia, yakni Greysia Polii dan Apriani Rahayu. Keduanya diketahui berhasil membawa harum nama Indonesia dengan memperoleh medali emas pada Gelaran Olimpiade Tokyo.
Sebagai pemenang, sudah menjadi kebiasannya, bendera akan dikibarkan. Dengan bangga Bendera Merah Putih, Bendera Nasional Indonesia, berkibar membawahi Bendera China dan Bendera Korea.
Optimisme kemenangan Greysia Polii dan Apriani Rahayu ini lantas menyebar ke seluruh Nusantara. Optimisme ini bahkan dikaitkan dengan semangat perjuangan untuk keluar dari "Negara Ketegori Hitam" dalam penularan angka Covid. Usulan untuk mengibarkan Bendera Merah Putih oleh masyarakat termasuk bagian dari penanda optimisme itu.
Pada persoalan genting begini benar kata Mandela. Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan yang kesohor itu, mengatakan bahwa "olahraga memiliki kekuatan menginspirasi dan menyatukan bangsa dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh yang lainnya".
Memilih Bendera
Pilihan kemudian ada pada kita. Kita yang memilih dari tiga bendera yang ditawarkan itu hendak mengibarkan yang mana.
Melawan keadaan yang tidak pasti ini tentu kita lebih baik memilih optimis. Artinya adalah kibarkan Bendera Merah Putih.
Bendera yang menandai semangat persatuan untuk mengakhiri mata rantai penularan covid dan mendorong pemulihan kembali ekonomi warga. Hal itu agar berhasil tentu perlu perangkat pendukung lain, yakni Gotong Royong.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Rizal Ramli dan Terakorupsi Rp 349 Triliun di Kemenkeu
- Makin Ngawur Soal Gibran
- Perekonomian Bersubsidi