Perekonomian Bersubsidi

Ilustrasi/Indodax.com
Ilustrasi/Indodax.com

KONDISI perekonomian periode awal kepemimpinan nasional Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ini untuk kalangan bawah terkesan sungguh tidaklah lebih sejahtera dibandingkan periode kepemimpinan Joko Widodo. Indikatornya sungguh sangat sederhana namun sedikit agak ekstrim, yaitu jika pada tahun-tahun sebelumnya pada waktu kunjungan silaturahmi senantiasa pada jam makan siang, atau jam makan malam senantiasa itu tamu diajak makan bersama sebelum pulang.  

Juga waktu pulang diberi buah tangan oleh-oleh, minimal tukar menukar oleh-oleh. Bertukar bekal oleh-oleh masih terjadi, akan tetapi sekarang ini acara makan siang bersama tiada lagi. Bukan karena usia sudah pensiun, karena penghasilan setelah pensiun pun masih mempunyai banyak kekayaan sebagai ekonomi keluarga. Perilaku kekeluargan terkesan telah berubah seperti menuju gaya hidup ekonomi rumah tangga bule kebarat-baratan. 

Persoalannya adalah terjadi nilai tukar uang dalam keranjang pengeluaran belanja rumah tangga, yang sangat terasa semakin merosot. Uang belanja sebesar Rp100 ribu sudah gagal memperoleh sebanyak volume dan jumlah pembelian barang dan jasa sehari-hari, jika dilakukan perbandingan terhadap kinerja kedua kepemimpinan di atas, sekalipun perbandingannya tidaklah sebagai periodisasi perbandingan yang serba sama. Kinerja 10 tahun diperbandingkan dengan kinerja 7 bulan. Kinerja 100 hari pertama kiranya secara subyektif termungkinkan akan tidak banyak mengalami peningkatan kesejahteraan, jika dibandingkan selama 5 tahun mendatang nantinya.

Persoalannya adalah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terkesan memberlanjutkan pemberlakuan harga keekonomian. Implikasinya adalah perekonomian bersubsidi secara bertahap semakin dipangkas. Subsidi dianggap sebagai beban pemerintahan. 

BUMN PT PLN (Persero) sekalipun masih ditugaskan untuk memasok energi listrik menggunakan subsidi dan penyertaan modal negara (PMN), namun politik menjadikan BUMN sebagai tulang punggung pembangunan dalam menyertakan kesejahteraan rumah tangga, sekarang semakin dipraktekkan menggunakan politik efisiensi. Kebijakan rasionalisasi tarif listrik, yang sekalipun didesain sebagai perusahaan pemegang amanat monopoli, atau minimal berstruktur pasar oligopoli bersama sedikit pemasok perusahaan listrik swasta kemudian mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Kondisi seperti ini berpengaruh menekan kesejahteraan dan menentukan naik turunnya besar pengeluaran ekonomi rumah tangga. 

Rasa dan manfaat kemerdekaan sungguh sangat terasa disini. Ketergantungan kepada energi listrik menentukan perasaan tekanan pada kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Sementara ekonomi perusahaan BUMN listrik juga terkesan termehek-mehek, namun bukan berarti eksekutif perusahaan listrik terkesan tidak sejahtera.

Sekalipun laju inflasi terlaporkan secara rendah, bahkan pernah mengalami deflasi selama beberapa bulan, namun indikator akumulasi laju inflasi terasa lebih relevan berfungsi menimbulkan perasaan nilai uang sungguh jauh lebih melemah, yang antara lain menimbulkan reaksi penghematan makan siang rumah tangga sebagaimana curhat tersebut di atas.

Bukan hanya tentang energi listrik yang masuk dalam keranjang pengeluaran rumah tangga, melainkan BUMN telekomunikasi misalnya paket internet turut dijadikan faktor penentu kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Tarif paket internet sebagai media komunikasi mulai terasa penting sebagaimana kebutuhan untuk pengeluaran konsumsi makanan dan minuman. Sekalipun tarif diatur menggunakan diskon atas penataan oleh pemerintah, namun biaya pengeluaran untuk berkomunikasi meningkat. Sementara itu campur tangan pemerintah dalam industri komunikasi dalam bentuk penataan tarif paket internet terasa masih tercemar oleh terbebankannya kasus korupsi BTS, yang terkesan belum secara lebih transparan dilakukan penegakan hukum pidana secara tuntas.

Jadi, besar peranan kebijakan harga yang diatur oleh pemerintah terhadap terciptanya akumulasi dari laju inflasi. Di sinilah sumber penentu perasaan kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Rasa semakin kurang sejahtera pada perekonomian rumah tangga itu secara lebih nyata ditunjukkan oleh perkembangan laju inflasi inti yang semakin naik. Rasa ketidakpastian juga tercermin disebabkan oleh komponen laju inflasi yang berfluktuasi.  

Inflasi yang merupakan tugas Bank Indonesia dari sisi kebijakan moneter, termasuk kinerja Bank Indonesia dalam membangun stabilitas nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang asing, seperti dolar AS, yen Jepang, dan Renminbi China. Namun, instrumen Bank Indonesia semakin memerlukan kerjasama lebih aktif dan progresif dengan kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan, maupun efektivitas kinerja Kementerian/lembaga terkait.

Bukan hanya kebijakan tarif listrik dan internet, melainkan peran dari BUMN untuk sektor pembangunan perumahan, air, dan bahan bakar sangat menentukan akumulasi laju inflasi dan tingkat pengeluaran konsumsi ekonomi rumah tangga. Terbiasa mendapat perlindungan subsidi periode kepemimpinan Presiden Soeharto terasa terkendala oleh kemampuan pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam berkinerja mengelola defisit primer, defisit APBN, skema pembiayaan APBN berbasis utang dalam negeri maupun utang luar negeri termasuk di dalamnya adalah Surat Utang Negara (SUN), maupun dalam menjaga dan mengamankan neraca perdagangan barang dan jasa, termasuk stabilitas neraca pembayaran. Surplus neraca perdagangan barang terasa masih terkuras oleh neraca jasa. Di sinilah penting fungsi untuk menjaga arus modal keluar dan arus modal masuk.

Kepiawaian pemerintah dalam menata neraca-neraca tersebut berdampak kepada pengeluaran konsumsi rumah tangga, termasuk untuk mendanai pengeluaran konsumsi untuk pendidikan. Politik subsidi silang di bidang pendidikan SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi yang memberlakukan kuota untuk keluarga pra sejahtera, namun karena kekurangpiawaian kinerja pemerintah dalam menata neraca-neraca tersebut di atas, maka sungguh menentukan tekanan terhadap pengeluaran ekonomi rumah tangga untuk membangun pengelolaan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. 

Subsidi silang menjadi keluhan yang mendalam untuk siswa dan mahasiswa yang bukan sebagai keluarga pra sejahtera, yang semakin terasa terlalu mahal. Tingginya pendanaan pendidikan tersebut sungguh menekan kesejahteraan ekonomi rumah tangga, sehingga menimbulkan pertanyaan yang bersifat sangat mendasar tentang kompetensi kinerja pemerintahan yang telah mengumumkan setuju untuk meningkatkan kesejahteraan pada hari peringatan buruh. 

Sementara itu penyediaan lapangan pekerjaan dan kemudahan dalam berbisnis terkendala. Sungguh tidak mudah untuk memperoleh status sebagai pegawai atau karyawan tetap dibandingkan terhadap periode kepemimpinan Joko Widodo maupun Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian pada periode kepemimpinan negara sahabat seperti Donald Trump dan Xi Jin Ping yang bergejolak perang dagang tarif impor, juga turut telah menimbulkan PHK yang meningkat pada perekonomian perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia. 

Ketergantungan pekerja kepada status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), non ASN, sebagai tenaga honorer, maupun sebagai karyawan swasta terjadi karena rendahnya keberhasilan dalam meningkatkan entrepreneurship. Iklim ketidakpastian telah menimbulkan ketergantungan pekerja untuk memilih bertindak sebagai dengan berstatus sebagai karyawan, PNS, TNI Polri, jika dibandingkan menjadi pengusaha. Tidak pandai berbisnis menjadi barometer perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Disrupsi dan teknologi artificial intelligence yang menekan kekalahan dalam dunia kerja, turut menimbulkan kekalahan dalam bersaing. Bukan hanya PHK, namun pusat-pusat perbelanjaan yang dulunya ramai pembeli telah semakin kosong. 

Kebijakan liberation day dari Donald Trump putaran kedua berpengaruh menekan kegiatan ekspor Indonesia, seperti mesin/peralatan listrik, pakaian dan aksesoris rajutan, alas kaki, pakaian dan aksesoris non-rajutan. Tentu saja juga ekspor Crude Palm Oil dan hilirisasi hasil tambang. Bukan hanya sektor riil berbasis komoditas yang terdampak, melainkan lebih cepat terjadi migrasi investasi ke pengelolaan aset yang bersifat lebih stabil dan aman. 

Sektor keuangan bergejolak mencari stabilitas keseimbangan umum. Implikasinya adalah politik perekonomian bersubsidi menjadi semakin tertekan oleh perubahan rasionalisasi defisit primer, defisit APBN, defisit neraca perdagangan barang dan jasa, serta defisit neraca pembayaran. Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto menjadi tantangan mendalam terhadap keberlanjutan model ekonomi politik perekonomian bersubsidi.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk komoditas tembakau, kopi bubuk, minyak goreng, cabai rawit, dan sigaret kretek mesin (SKM) yang harganya inflatoir juga menekan kesejahteraan pengeluaran konsumsi ekonomi rumah tangga. Pada sisi yang lain, pemerintah masih senantiasa memberlanjutkan pengendalian pada nilai tukar petani, nilai tukar nelayan. Kesejahteraan petani, nelayan, maupun ekonomi BUMN terkesan masih senantiasa dijadikan sebagai tulang punggung untuk berkorban dalam pengendalian laju inflasi. Untuk mengendalikan kebijakan politik upah murah pada buruh industri manufaktur.

Faktor pemenuhan air irigasi menggunakan pembangunan banyak waduk, maupun ketersediaan pupuk dan hormon tanaman berfungsi untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian  menjadi penentu peningkatan produksi pertanian, yang sangat berguna untuk memperbaiki ketersediaan pangan maupun untuk memperbaiki akumulasi laju inflasi.

*Penulis adalah peneliti Institute of Development for Economics and Finance (INDEF), pengajar Universitas Mercu Buana.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news