. Kecurangan digital masih menjadi momok dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Masih sama seperti pemilu lalu. Sebab itu, masyarakat harus waspada.
- PBNU Kecam Lima Warga Nahdliyin Bertemu Presiden Israel di Saat Ribuan Rakyat Palestina jadi Korban
- AHY: Kekuatan Utama Pembangunan IKN Ada di Investasi
- Debat Ketiga 2 Paslon Kada Banyuwangi Angkat Tema Keserasian Pembangunan Daerah Sampai Nasional
"Yang saya duga yang terjadi ini adalah kecurangan digital. Itu perasaan saya sampai sekarang sebagai orang yang ikut membaca bagaimana pola," jelas Fahri dalam peluncuran aplikasi Relawan Kawal TPS (Rekat) Indonesia, seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3/3).
Fahri menjelaskan KPU semestinya mengantisipasi peretasan yang mengatur atau mengubah persentase hasil pemungutan suara. Dia mengaku curiga terdapat bahasa algoritma yang akan merusak persentase pemilih dua kubu saat data dimasukkan dari seluruh daerah di Indonesia.
"Ada potensi dimainkan karena kita calon cuma dua itu bisa pola pakai lama dipakai sekarang. Jadi tolong itu kecurangan digital. Kami tidak paham, yang punya keahlian IT tolong ini," tegas dia.
Selain mewaspadai serangan pada data digital, KPU juga diminta lebih terbuka terkait data pemilih.
Lanjut Fahri, terdapat ketidakjelasan data pemilih dan kependudukan karena tidak dari satu sumber KTP-el yang dinilai masih bermasalah dan banyak yang belum melakukan perekaman.
Apa pun hasil Pemilu 2019, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpendapat harus dilakukan audit total terhadap data digital. Supaya kredibel dan tidak muncul kekhawatiran terjadinya kecurangan.
"Data digital sekarang yang dipakai KPU bisa ditemukan itu ada satu kartu keluarga 430 orang dan seterusnya. Saya sudah dorong KPU terbukalah kalian untuk ini," demikian Fahri. [bdp]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Gus Muhaimin Bertemu Ribuan Kiai Kampung di Probolinggo
- Putusan PN Jakpus, Dinilai Ancaman bagi Keutuhan NKRI
- Keterwakilan Bacaleg Perempuan Bisa Kurang dari 30 Persen, Begini Penjelasan KPU