Fatwa di Meja Roulette: Mimpi Kasino Halal di Negeri Seribu Larangan

Ilustrasi kasino halal
Ilustrasi kasino halal

ADA satu keistimewaan dari para wakil rakyat kita: keberanian berimajinasi tanpa batas. Di negeri yang hampir setiap detiknya dirundung regulasi moral, sekelompok legislator justru melempar wacana membuka jalan bagi pendirian kasino legal—bahkan dengan embel-embel label “halal.”

Seperti menonton film fiksi politik yang naskahnya ditulis oleh tangan-tangan absurd, usulan ini mengguncang nalar publik sekaligus membangkitkan tawa getir.

Bayangkan: di tengah gencarnya pelarangan judi online, penyitaan mesin slot ilegal, dan khutbah mingguan soal bahaya judi, tiba-tiba ada ide brilian dari gedung parlemen: menghalalkan kasino. Bukan sekadar dilegalkan, tapi dihalalkan. Diberkahi. Diatur syariat. Bahkan, konon katanya, akan “mendatangkan devisa.”

Esai ini mengajak kita menyelisik keganjilan logika, membedah absurditas ide, dan merayakan satire kebijakan dalam bingkai kritik ilmiah terhadap wacana “kasino halal.” Selamat datang di negeri yang serius dalam ketidakseriusan.

Dari Dosa Menuju Devisa—Logika Ajaib Legislator

Pertanyaan mendasar: mengapa tiba-tiba kasino menjadi opsi legal? Jawaban klasik: ekonomi. Devisa. Pendapatan negara. Seolah-olah negara sedang berada dalam kondisi darurat fiskal hingga satu-satunya pelampung yang tersisa adalah meja blackjack dan dadu. Legislator yang mengusulkan ini meniru model Makau dan Singapura, dua negara yang berhasil menjinakkan perjudian dalam kerangka ekonomi.

Namun, yang gagal mereka pahami adalah konteks sosial, budaya, dan hukum yang jauh berbeda. Singapura, misalnya, adalah negara sekuler dengan kontrol sosial ketat. Di sana, moral publik tidak dibingkai oleh fatwa. Sementara Indonesia? Ini negeri di mana konser dangdut bisa dibubarkan karena “mengundang maksiat.”

Mengambil logika ini sama dengan mengobati flu dengan amputasi. Terlalu ekstrem, terlalu tidak nyambung, tapi entah bagaimana tetap terdengar meyakinkan—setidaknya di ruang-ruang rapat ber-AC dengan suguhan kopi mahal.

Halal Label sebagai Senjata Baru Legitimasi

Paling menarik dari seluruh wacana ini adalah upaya menyisipkan kata “halal.” Kita menyaksikan sebuah manuver semiotik di mana kata sakral digunakan untuk membungkus praktik yang selama ini dilabeli sebagai haram.

Ini seperti menyajikan minuman keras dalam botol air zamzam, atau menjual narkoba dengan label “versi syariah.” Frasa “kasino halal” bukan hanya sebuah oksimoron, tapi juga bentuk tertinggi dari manipulasi linguistik. Di sini, halal bukan lagi kategori hukum agama, tapi alat promosi ekonomi.

Kita bisa bayangkan masa depan: akan ada Lembaga Sertifikasi Kasino Halal. Petugas MUI duduk mengamati roda roulette, memastikan tidak ada kecurangan, dan sesekali memeriksa apakah dealer mengucap bismillah sebelum membagi kartu.

Jika ini bukan satire level dewa, maka apa?

Judi dalam Bingkai Syariah—Sebuah Eksperimen Absurd

Satu argumen yang kerap dilontarkan: “kita bisa buat sistem kasino yang tidak merugikan.” Dengan kata lain, berjudi tanpa judi. Mereka membayangkan sistem di mana tidak ada kecanduan, tidak ada eksploitasi, dan semua berjalan adil.

Namun, sejarah dan psikologi manusia berkata lain. Judi bukan sekadar aktivitas ekonomi; ia adalah candu psikologis. Tidak ada sistem yang cukup steril untuk menjinakkan aspek patologis dari judi. Bahkan dalam bentuk paling "syariah sekalipun", efek sosialnya tetap berbahaya: kemiskinan, kekerasan domestik, kriminalitas.

Upaya membungkus praktik judi dengan label agama adalah contoh klasik dari wishful thinking yang dipolitisasi. Ini seperti memandikan babi dengan air suci lalu menyebutnya sapi: publik mungkin tertipu sesaat, tapi bau tetaplah bau.

Legislator dan Mesin Slot: Antara Nafsu dan Kepentingan

Mari kita bersikap jujur. Usulan semacam ini tidak lahir dari kepedulian terhadap ekonomi rakyat. Ia lahir dari perpaduan antara nafsu kapital dan oportunisme politik. Kasino bukan sekadar bisnis hiburan—ia adalah tambang emas bagi jaringan patronase. Di negara mana pun, industri ini identik dengan pengaruh politik, suap, dan korupsi.

Ketika legislator berbicara tentang “kasino halal,” yang mereka pikirkan bukan doa pembuka sebelum berjudi, tapi fee konsesi, pembagian saham, dan peluang untuk mencuci uang dalam sistem yang dilabeli "resmi."

Sungguh mengharukan, betapa mulianya semangat mereka untuk “mengatur” dosa. Sebab dosa yang diatur lebih menguntungkan daripada dosa yang dilarang.

Moral Publik dan Paradoks Sosial

Indonesia adalah negara dengan kepribadian ganda moral. Kita melarang keras alkohol, tapi pesta miras tetap marak di kalangan elite. Kita mengutuk judi, tapi judi online berkembang bebas. Kita gemar menegakkan aturan, tapi hanya pada mereka yang tidak punya kuasa.

Dalam lanskap semacam ini, legalisasi kasino bukanlah solusi, melainkan pengakuan atas kegagalan negara mengatur masyarakat. Alih-alih memperbaiki penegakan hukum, para pembuat kebijakan justru memilih jalur pintas: melegalkan yang haram, dan menempelkan label suci di atasnya.

Inilah contoh klasik dari pragmatisme tanpa prinsip. Moral publik dijadikan alat elastis yang bisa ditarik dan ditekuk sesuai kepentingan elite.

Dari Las Vegas ke Lombok—Mimpi atau Mimpi Buruk?

Salah satu lokasi yang disasar adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di NTB. Konon, tempat ini akan menjadi semacam “Las Vegas versi halal.” Sebuah kawasan eksklusif di mana perjudian “dibatasi” dan “diatur” hanya untuk wisatawan mancanegara.

Namun, siapakah yang bisa menjamin pembatasan ini? Apakah kita tidak belajar dari industri rokok dan miras yang “hanya untuk dewasa”? Fakta bahwa masyarakat kita masih bisa mengakses judi online dengan mudah menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengawasan.

Membangun kasino di tengah masyarakat konservatif adalah eksperimen sosial berisiko tinggi. Ini seperti meletakkan korek api di gudang minyak, lalu berharap tidak terjadi kebakaran.

Jalan Lain Meningkatkan Ekonomi tanpa Judi

Ironisnya, argumen ekonomi yang digunakan untuk mendukung kasino seringkali menutupi kegagalan negara dalam mengelola sektor ekonomi riil. Kita punya potensi besar di pariwisata halal, UMKM, pertanian, dan ekonomi digital.

Namun, semua sektor itu membutuhkan kerja keras, pembangunan infrastruktur, pelatihan SDM, dan kebijakan yang konsisten. Sementara kasino? Ia menjanjikan pemasukan cepat, tanpa perlu investasi sosial yang besar. Inilah sebab mengapa ia begitu menggoda bagi politisi: hasil instan, tanpa tanggung jawab panjang.

Dengan kata lain, memilih kasino adalah pengakuan diam-diam bahwa negara lebih suka solusi cepat daripada reformasi nyata.

Reaksi Publik dan Kontra-Narasi

Untungnya, masyarakat masih punya nalar sehat. Gelombang kritik terhadap usulan ini membuktikan bahwa kesadaran publik tidak bisa dimanipulasi semudah melempar dadu. Akademisi, tokoh agama, dan masyarakat sipil dengan cepat menyuarakan keberatan mereka.

Ini bukan sekadar penolakan terhadap judi, tapi juga bentuk resistensi terhadap banalitas kebijakan. Publik sudah lelah dengan politik yang menyepelekan etika demi keuntungan ekonomi. Dalam konteks ini, kritik adalah bentuk perlawanan terhadap kooptasi agama oleh kapitalisme.

Kasino Halal, Negara Absurditas

Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara liberal. Kita berdiri di tengah-tengah, terus menerus dihantui dilema antara nilai dan kebutuhan. Wacana kasino halal mencerminkan krisis identitas negara: ingin modern tapi takut kehilangan moralitas, ingin kaya tapi malas berusaha.

Alih-alih memperkuat ekonomi lewat jalur yang etis dan berkelanjutan, negara justru tergoda pada jalan pintas yang penuh jebakan. Dan ketika jalan pintas itu dibungkus dengan label "halal", kita tidak sedang menuju kemajuan—kita sedang menari di ujung jurang sambil tertawa.

Akhirnya, usulan kasino halal bukanlah soal perjudian semata. Ia adalah cermin kebijakan: apakah negara ini masih punya etika, ataukah semuanya kini bisa dinegosiasikan di atas meja taruhan.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news