Jadilah Satria Bisma

AKU kini tak sendiri lagi dalam meraih kebahagiaan. Di puncak Merapi kusebar pesan dalam hati ke teman-teman bahwa aku telah berhasil menaklukkan gunung Merapi.


Aku merasa mendapat suatu kemenangan. Suatu pikiran sederhana telah merobek-robek semangatku dan memunculkan satu kejanggalan.

Makin besar kemenangan, makin dekat orang pada kelenaan, dan kelenaan adalah pangkal ketidakwarasan

Yah, aku harus mengambil separuh dari semua kemenangan ini. Selanjutnya kemenangan itu akan kutinggalkan di puncak Merapi. Biarlah orang lain silih berganti mereguknya, dan aku akan kembali ke bawah menemui Pak Sudi.

Tak berselang lama, aku pun tiba di perkampungan Selo. Rumah Pak Sudi tidak seberapa jauh. Di basecamp pendakian aku sempat melihat beberapa pendaki sedang melakukan persiapan ke puncak. Seorang dari mereka melihatku dan bertanya, "Berapa jauh, Mas, puncak dari sini?”

"Tidak seberapa jauh kok, paling 4-5 jam. Semoga selamat saja,” nasehatku.

Di depan rumah Pak Sudi telah menanti. Kuuluk salam seperti biasa.

"Assalamualaikum!”

"Waalaikumsalam,” sambutnya, "akhirnya kamu selamat. Kok cepat, Nak!”

"Iya, pak, di sana saya cuma sendiri. Yang penting sudah sampai puncak. Lagipula lama-lama di atas tidak mungkin sebab tidak ada bekal cukup.”

"Yo wis ndang mandi sana, terus minta ibumu makan,” kata Pak Sudi.

"Inggih, Pak!” Balasku Kromo.

Malamnya kami, aku dan Pak Sudi duduk di ruang tamu. Dengan ditemani kopi racikan sendiri, kami saling bertukar pikiran. Baru kutahu kalau Pak Sudi seorang kejawen. Setiap kata-kata yang mengalir dari bibirnya mengandung makna filosofi yang dalam.

Kukira ia dulunya seorang dalang, tapi setelah kutanya ternyata kakeknya yang seorang dalang.

Dia sendiri mengaku hanya petani biasa. Pantas dari cara bicara dan bertutur, Pak Sudi seakan paham betul mengenai liku-liku kehidupan manusia. Banyak hal yang kutangkap dari pembicaraan malam itu bersama beliau.

Menurut Pak Sudi, Jawa kita ini dulunya hanya satu titik kecil di tengah-tengah samudra. Setiap bangsa waktu itu mempunyai kebesarannya. Mereka tak lagi membutuhkan raja-raja bermodel memerintah, tapi raja yang mengayomi.

Pernahkah kau lihat ada petani dalam cerita wayang?

Dia bertanya padaku.

Kujawab dengan mengangkat pundak, lalu menggeleng-geleng kepala.

Setahuku petani dalam cerita wayang tidak pernah ada. Yang ada hanya raja-raja, para satria, dan para pandita.

Pikirku, apa pentingnya petani dalam cerita wayang. Justru, makin dekat pekerjaan seseorang pada tanah, makin tak ada kemuliaan pada dirinya, makin tidak dihargai, makin tidak terpikirkan dia oleh siapa pun.

"Kamu tahu dengan cerita mengenai Satria Bisma?” Pak Sudi bertanya lagi.

Aku menggeleng.

"Satria Bisma itu tewas di medan perang. Diceritakan dia hidup kembali dan hidup kembali setiap kali mayatnya menyentuh bumi atau tanah. Dia hidup lagi, berperang lagi, mati lagi, dan juga hidup lagi saat menyentuh tanah lagi. Dia abadi. Abadi selama bersinggungan dengan bumi. Bumi adalah petani, petani, dan petani.”

"Apa hubungannya raja dan petani?” Tanyaku.

"Kamu lihat petani adalah seorang kacung yang bisa diperintah dan dipermainkan. Tapi sebenarnya dia seorang yang berjiwa besar. Tanpa petani bangsa ini tidak akan merdeka. Petani adalah sejati-jatinya raja,” Pak Sudi berhenti bercerita, dia menatapku dengan sungguh-sungguh.

Kemudian dia meneruskan, "Jangan kau jadi burung cucakrowo yang bersahut dan tidak bersambut dalam sangkar. Jangan jadi dalang tiada cerita. Tanpa anak wayang pun dalang masih bisa, tapi tanpa cerita...anak wayang pun dia sendiri tidak. Seorang petani, wong cilik, rakyat jelata, memang mereka bukan dalang, tapi setidaknya mereka memiliki anak wayang yang bisa diceritakan. Seorang raja tanpa anak wayang bukanlah siapa-siapa. Aku, kamu, bisa saja menjadi dalang sesuai dengan apa yang kau bisa. Tapi ingatlah, jika kau melakukannya tanpa cerita, tanpa anak wayang kau pun bukan apa-apa. Meski kau bukan dalang, kau pun dapat melakukan pekerjaanmu dengan sungguh-sungguh asal tidak mencelakai orang lain. Kamu bisa menjadi Satria Bisma selama hatimu kau tujukan kepada rakyat dan umat.”

Penjelasan Pak Sudi membuka pikiranku. Semua yang diutarakan merasuk ke dalam benakku.

Malam itu kami menghabiskan obrolan hingga lupa waktu. Cerita-cerita Pak Sudi terasa lebih mengesankan pribadi yang gelisah, tidak pasti, meraba-raba, dan agak kacau.

Dia telah tenggelam dalam arus berbagai macam pikiran dunia yang entah diterimanya sepenuhnya atau sepotong demi sepotong.

Duduk di ruang tamu sambil menghisap lintingan rokok dari daun jagung yang dikeringkan, dan tentunya tembakau murahan.

Tangan dan mulut Pak Sudi tidak hemat dalam menggunakan kata-kata, sehingga orang-orang menjadi segan di dekatnya. Aku juga mengikutinya.

Dua hari aku mendekam di bawah kaki gunung Merapi. Bagai seorang pertapa, di sini seketika aku menjadi sosok Satria Bisma.

Tapi aku harus melanjutkan perjalanan. Esoknya, kupacu motor dengan kencang.

Noviyanto Aji

Wartawan

ikuti terus update berita rmoljatim di google news