SAYA dan teman sesama orang asli Surabaya sedang berbincang. Kami saling misuh memisuhi.
"Cok, kamu yang selama ini ga pernah hubungi aku,†balas teman.
Orang di luar Surabaya yang mendengar perbincangan kami, baik secara sengaja, tidak sengaja, atau melihat langsung percakapan kami, tidak bisa protes dengan kata ‘Jancok’? Jangankan protes, mengganti bahasa pisuhan dengan pisuhan dari luar Surabaya, juga tidak bisa.
Darimana asalnya kata ‘Jancok’, silahkan googling. Banyak versinya. Tapi bagi kami, kata ‘Jancok’ merupakan bahasa sehari-hari. Bahasa tongkrongan. Bahasa selengekan. Bahasa untuk pererat tali silaturahmi.
Hanya karena ada orang yang tidak suka dengan kata-kata ‘Jancok’ lantas diupload ke Youtube dengan harapan agar banyak orang membenci isi percapakan dan membuat heboh seiisi negeri. Ujung-ujungnya, orang dari kota lain melaporkan percakapan kami ke polisi.
Jancok adalah bagian dari keberagaman. Ini perbedaan. Yang selama ini sering kita sebut dalam semboyan: Bhinneka Tunggal Ika.
Kita tidak bisa menyalahkan kata-kata atau isi pembicaraan sesama orang Surabaya, meski hal tersebut tidak dipahami orang di luar Surabaya.
Analogi ini sama ketika seorang ulama sedang berdakwah di masjid, dalam forum khusus, dalam suasana eksklusif, dan hanya dihadiri umat Muslim.
Andai ada nonMuslim menyelinap, menguping, mendengar dan melihat secara langsung, baik sengaja maupun tidak sengaja, tidak selayaknya mereka protes isi dakwah. Karena apa yang disampaikan sudah sesuai dengan Alquran dan Hadist.
Orang yang mengupload isi ceramah ke Youtube, tentu memiliki tujuan menyebarkan kebencian. Mereka suka melihat bangsa ini terpecah-pecah. Antar anak bangsa saling bertikai.
Dalam Islam sudah dijelaskan lakum dinukum waliyadin, untukmu agamamu, untukku agamaku.
Potongan surat Al-Kafirun ini memberi pesan pada kita untuk senantiasa meneguhkan aqidah dalam beribadah kepada Allah. Inilah bentuk toleransi umat Islam pada saudara nonMuslim.
Lakum dinukum waliyadin merupakan bentuk toleransi pengakuan adanya realita perbedaan agama dan keyakinan, bukan pengakuan pembenaran terhadap agama dan keyakinan selain Islam.
Saat ada tayangan siraman rohani agama lain di televisi, saya tentu tidak akan menontonnya, karena memang tayangan itu bukan untuk saya. Saya tidak mungkin memprotes tayangan tersebut. Pilihannya cuma dua: matikan televisi atau pindah channel.
Begitu juga jika ada tayangan sirahami rohani Islam di televisi, pastilah saudara nonMuslim tidak akan menontonnya. Pilihannya sama: matikan televisi atau pindah channel.
Ya, seringkali kita melampaui batas hak orang lain dan begitu mudahnya mempermasalahkan yang sebenarnya itu tidak penting bagi dirinya atau bukan urusannya.
Kita mahfum, Indonesia adalah bangsa majemuk dan memiliki banyak perbedaan, baik dari segi bangsa, kebudayaan, bahasa, fisik, karakter bahkan agama (kepercayaan).
Tidak bisa semua itu harus disamakan atau dipaksakan agar sesuai kemauan kita, apalagi dalam hal kepercayaan. Jangankan yang berbeda keyakinan, sesama keyakinan saja kadang terjadi perbedaan.
Pepatah mengatakan, suatu negara tidak akan dapat maju jika rakyatnya masih berfikiran sempit seperti itu.
Selama ini hak dan kebebasan beragama serta berkeyakinan dijamin dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan ituâ€.
Demikian kasus yang menimpa Ustad Abdul Somad (UAS).
Semoga Allah senantiasa merahmati anak-anak bangsa negeri ini dan terhindar dari adu domba dan perpecahan.
Noviyanto Aji
Wartawan
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Sukirman Vijei
- Kejanggalan Kasus Firli Bahuri dan Ketakutan Kolektif
- Mandi Lumpur Kolaborasi Medsos-Pengemis