Limbah 3B

Ilustrasi limbah 3b/IST
Ilustrasi limbah 3b/IST

WACANA wacana lingkungan dikenal istilah limbah 3B. Akronim Bahan Berbahaya dan Beracun. Tertuju pada zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 

Definisi itu mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan-peraturan lain di bawahnya. Di masyarakat, limbah 3B juga sesekali jadi bahan perbincangan. Pun ramai dibicarakan, utamanya pada momen-momen politik seperti tahun ini, tahun 2023. 

Limbah jenis satu ini sudah sulit didaur-ulang karena telah meresap ke dalam ekologi politik merusak kehidupan politik warga. Menebar racun kemana-mana. Menghipnotis warga melalui beragam cara. Namun, limbah 3B yang dimaksud kali ini bukan berasal dari akronim seperti di atas. Limbah 3B perusak kehidupan demokrasi kita adalah para bandar, bandit dan badut.

Para bandar cepat beradaptasi usai reformasi 1998. Ada masa enam tahun bagi mereka untuk mencermati seksama mana elit berkuasa, dan mana calon elit potensial. Termasuk cerdik membaca arah politik berkat hasil survei. Bagi mereka, survei adalah dadu pertaruhan. Mereka tak terpana pada hasil survei, tapi hasil itu dibacanya sebagai kecenderungan serta peluang.

Dua hal itu terus terasah sampai tahun-tahun berikutnya. Ketika partai politik mulai berbenah, bahkan menjamur, para bandar justru jeli melihat pentingnya mengorganisir kepanitiaan. Ini soal manajemen strategis, berbarengan mengelola langkah taktis para peserta pemilihan. Hanya satu prinsip bandar. Siapapun butuh duit. Itu saja. Everybody needs money. Ini urusan murni duniawi.

Etika dan moral bukan komponen dalam urusan tersebut. Percuma Thomas Aquinas menyebut politik membangun 'bonum commune', kebajikan bersama. Impian Aquinas terlalu muluk. Bandar politik jelas lebih suka menafsirkan 'bonum commune' untuk tujuan dan kepentingan sendiri. Bahkan, diksi 'Commune' bagi bandar adalah kebersamaan secara sempit, bukan meluas. Sebab, biaya politik tambah jumbo kalau kebersamaan itu meluas. Cukup dibatasi saja. Siapa ikut, yang lain ditolak. Biaya bisa ditekan dengan peluang pengendalian lebih gampang, balik modal lebih mudah.

Lain lagi dengan para bandit. Baginya, modal awal berpolitik bolehlah dari bandar. Tapi, dasar bandit licik. Bandar pun bisa diakali, apalagi rakyat lugu. Bandar butuh konsesi politik dari bandit, namun bandit tentu butuh rente. Bukankah menciptakan lingkungan nyaman untuk bandar itu butuh usaha ekstra keras? Butuh asupan 'gizi' bukan sekali telan. Gizi bertubi-tubi menyehatkan para bandit. Muncul simbiosis mutualisma, bandar dan bandit. Saling untung, biarkan rakyat buntung.

Nah, untuk menghibur rakyat, sesekali bandit mendadak berperilaku badut. Menciptakan suasana menyesakkan dada rakyat. Apa kehendak rakyat, lain pula yang dikerjakan badut. Pamer tingkah norak tak membuat rakyat bersorak. Sebaliknya, membuat hati miris lalu bertanya, kok bisa ya badut mewakili kita? Badut yang tiba-tiba mendadak jadi bandit di saat pembahasan anggaran.                 

Pesta trio bandar, bandit dan badut sesungguhnya sama dampaknya dengan limbah B3. Bahan Beracun Berbahaya. Beracun untuk oksigen demokrasi, berbahaya untuk kesehatan berdemokrasi. Tak bisa didaur-ulang. Justru harus dibuang. Dimusnahkan.

*Penulis adalah Peneliti JPIPNetwork.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news