Mbuk Sate Bertanya

LIHAT Mbuk Sate ini. Tiap hari dia nongkrong di depan rumah. Berpuluh tusuk sate dikipasi. Dengan usianya yang makin memuncak, kalau boleh berkeluh, lengannya sebenarnya sudah lelah. Apakah Mbuk Sate harus pensiun?


Bertahun-tahun dia berjualan sate. Awalnya keliling. Karena kakinya sudah tidak kuat lagi, kini dia terpaksa mangkal. Sembari berharap dagangannya diberi kelancaran.

Berharap pembelinya tidak kabur. Atau sederhananya, para pembeli tidak bosan dengan menu yang disajikan saben hari. Karena itu, Mbuk Sate tak mau mengurangi kualitas dagangan. Daging ayam dan daging sapi tetap disajikan dengan porsi sama. Tidak ada mark up daging. Tidak ada kecurangan. Begitu yang dijalani Mbuk Sate selama bertahun-tahun. Tidak berubah. Ya, itu-itu saja. Paling banter yang berubah harga sate. Itu pun tidak sekonyong-konyong.

Kalau berani menaikkan sate dengan harga tinggi, resikonya siap-siap ditinggal pembeli.

Bagaimana jika harga-harga naik. Mbuk Sate cuma menaikkan sedikit. Sambil mengeluh ke kanan dan kiri tanpa solusi.

Jika dagangan laku, dia sumringah. Tertawa renyah. Syukur-syukur bisa pulang lebih awal. Bercanda dengan anak dan cucu. Sembari menghitung laba. Sebagian uang disisihkan untuk makan sehari-hari. Ada kelebihan ditabung. Sisanya buat kulak esoknya di pasar. Begitu Mbuk Sate setiap harinya.

Dan sekarang ada corona. Sekolah diliburkan. Pegawai kantoran banyak 'dirumahkan'. Hanya buruh yang tetap berseliweran. Kadang mereka mampir, kadang sekedar lewat untuk mencium aroma sedap asap sate.

Yang tidak mampir bagi Mbuk Sate musibah. Yang mampir jadi berkah.

Cuma sekaranf ini dagangan Mbuk Sate sepi. Itu keluhnya. Rontanya. Tangisnya dalam batin.

Pertanyaannya, apa dia harus self lockdown?

Pemerintah…
Presiden…
Gubernur…
Walikota…
Bupati…
Pemuka agama…
Akademisi…

Semua menyarankan self lockdown. Berdiam di rumah.

Mengatakan itu sembari dengan raut muka sedih. Dengan nada menyayat-nyayat telinga. Bahkan nadanya lebih indah dari orang berpuisi. Lebih syahdu dari orang bernyanyi.

Mengatakan itu dengan berdebar-debar. Hati barangkali menangis, barangkali tidak. Yang jelas ada semacam kepanikan. Sebab, korban mati corona semakin banyak.

Kebijakan yang terlambat, kata banyak orang. Mungkin iya, mungkin tidak. Entahlah.

Lainnya mengatakan ujian dari Tuhan dan bla-bla. Monggo saja.

Tapi self lockdown? Hmmm, sudahkah dipikir bagaimana nasib Mbuk Sate. Apakah jika self lockdown selama 14 hari Mbuk Sate mendapat bantuan untuk mengganti biaya hidupnya.

Dari seorang Mbuk Sate, sekarang hitung berapa jumlah penjual sate di seluruh Indonesia. Ini masih penjual sate saja. Belum lainnya. Masih ada pegadang sayur, pedagang buah, pedagang daging, pedagang telur, penjual ikan, penjual tempe, penjual jamu, dan lain-lain di pasar. Jika dihitung seluruh pedagang se-Indonesia, kira-kira berapa jumlah mereka. Haruskah semua self lockdown?

Mereka butuh makan. Tiap hari melakukan social contact. Bergelut di pasar bertemu banyak orang. Di mana pasar menjadi transaksi paling aktif sedunia. Semua orang saling bersentuhan termasuk saat tukar menukar uang. Itu tidak bisa dihindari. Kemudian semua itu diganti social distance. Bagaimana caranya?

Setelah pedagang ada konsumen. Berapa jumlah konsumen di Indonesia? Bagaimana nasib konsumem jika semua pedagang self lockdown?

Apakah self lockdown sudah menjadi solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apa yakin self lockdown menjamin setiap orang tidak terjangkiti corona?

Oh tidak, kan setiap orang bisa pakai masker dan hand sanitizer. Lho, bukannya semua sudah diekspor besar-besaran ke luar negeri. Sementara di dalam negeri stok masker dan hand sanitizer kosong?

Sejumlah lembaga non pemerintah kemudian berinisiatif menggalang dana untuk membeli masker dan hand sanitizer untuk dibagikan gratis ke masyarakat. Mereka berinisiatif melakukan itu karena menganggap pemerintah tidak peka pada rakyat. Akhirnya muncul kepedulian terhadap sesama. Rasa kemanusiaan mereka terkoyak-koyak melihat kondisi negara bak kapal pecah akibat tak becus pengelolaan.

Ajaran Pancasila kemudian dijalankan dengan sepenuh hati. Mereka saling gotong royong dan bahu membahu menolong sesamanya. Berbeda dengan mereka yang justru berbondong-bondong terbang ke Singapura untuk menyelamatkan diri. Takut terjangkit corona dan sesegera mungkin mengamankan uangnya ke luar negeri.

Sekali lagi, Mbuk Sate bertanya, solusi apa yang ditawarkan pemerintah selain anjuran self lockdown. Apalagi sampai menihilkan orang-orang meramaikan tempat ibadah. Kebijakan self lockdown maupun total lockdown, sekiranya bukan solusi tepat selama pemerintah belum memberi jaminan pada rakyat. Sayangnya, pemerintah tidak jago dalam hal itu. Memberi jaminan? Semua yang namanya "jaminan" di negeri ini tidak jauh dari korupsi. Mulai jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, jaminan ekonomi, hingga jaminan hukum. Yakin tidak ada jaminan yang tidak dikorup?

Kalau pemerintah tidak bisa memberi jaminan pada rakyat, setidaknya satu permintaan Mbuk Sate agar wabah corona dapat hilang di negeri ini, yaitu segera temukan obatnya.

Noviyanto Aji
Wartawan RMOLJatim

ikuti terus update berita rmoljatim di google news