- Ben Bland, Antara Kontradiksi Dan Kontroversi
- Gunung Yamagami
- Darah Sultan dalam Tubuh Prabowo
PEMBUKAAN hubungan diplomatik beberapa negara teluk dengan negara Israel akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Dalam waktu berdekatan, 4 negara di Timur Tengah (Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko) menyepakati perjanjian normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, atau the Abraham Accord,.
Hal ini nampak mengejutkan ketika perjanjian tersebut muncul pada saat konflik antara Israel dan Palestina belum terselesaikan. Meskipun perjanjian tersebut bukanlah hal pertama dilakukan oleh negara-negara Arab, perhatian dunia internasional kini tertuju pada lahirnya the Abraham Accord.
Terbaru, Israel dan Amerika Serikat (AS) mengadakan trilateral meeting bersama UEA untuk menindaklanjuti perjanjian tersebut pada Rabu (13/10) lalu.
Dalam uraian singkatnya, AS menjelaskan bahwa forum tersebut akan menjadi langkah awal untuk memperluas perjanjian Israel dan banyak negara Arab lainnya serta menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan konflik laten Israel-Palestina.
Respons Dunia Internasional
Dalam merespons hal ini, nampaknya dunia internasional terpecah ke dalam dua kelompok besar, mendukung dan menolak adanya normalisasi tersebut.
Bagi Palestina, perjanjian tersebut telah menodai bahkan menghancurkan solidaritas antarnegara di kawasan teluk dan menjadi bukti kekalahan Liga Arab atas Israel dan sekutunya.
Lainnya, negara dengan kekuatan menengah seperti Indonesia, Turki, dan Iran juga secara konsisten menentang adanya negara Zionis tersebut dan komitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
Menunjukan respons berbeda, negara-negara di Eropa seperti Prancis dan Inggris tentu menyambut baik adanya normalisasi ini. Kedekatan mereka dengan Israel tentu akan mempermudah potensi kerjasama yang lebih besar dengan negara-negara di Kawasan Teluk tersebut.
Bagi negara-negara besar seperti AS dan China, kepentingan mereka tidak terbatas pada penyelesaian konflik Israel-Palestina dan stabilitas Kawasan. Lebih dari itu, negara adidaya tersebut berusaha memengaruhi arah dan bagaiman lahirnya kemerdekaan Palestina.
Di bawah kontrol Yahudi, AS tentu akan memainkan peran terbaiknya sebagai ‘makelar’ yang menawarkan bantuan dan tawaran investasi bagi siapa saja yang mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Sementara itu, China menyatakan bahwa akan tetap mendukung solusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang kemerdekaan Palestina sebagai sebuah negara yang terbebas kolonialisme Israel.
Bagi China, sikap mereka terhadap konflik Israel-Palestina berdampak pada dukungan dunia internasional terhadap situasi di Laut China Selatan (LCS).
Dalam hal ini, China tentu membutuhkan dukungan negara-negara, baik yang berkaitan dengan LCS maupun tidak, untuk memperkuat posisi mereka dalam menghadapi konflik di LCS.
Bagaimana dengan Indonesia?
Meskipun beberapa negara Islam telah membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel, hingga hari ini Indonesia masih berposisi pada sikapnya untuk membela Palestina dan tidak mengakui Israel sebagai negara yang berdaulat. Mengutip pendapat Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa Indonesia Indonesia tidak mungkin membuka hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu konstitusi, situasi domestik, dan komitmen politik Presiden.
Merujuk pada Pembukaan UU Dasar Tahun 1945, Indonesia menolak segala bentuk penjajahan sebagaimana dilakukan Israel terhadap Palestina. Masyarakat Indonesia juga masih mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap nasib Palestina. Terakhir, Presiden Jokowi menunjukan komitmennya terhadap kemerdekaan Palestina.
Meskipun Indonesia tidak secara resmi berhubungan dengan Israel, data statistik perdagangan PBB atau UN Comtrade mencatat bahwa kedua negara telah melakukan transaksi dagang sejak 1990. Rekor transaksi terbesar kedua negara adalah USD 214,1 juta pada tahun 2020, dengan 73,6 adalah ekspor Indonesia ke Israel.
Ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas seperti minyak sawit, minyak kakao, dan mentega. Sementara itu, Impor Israel ke Indonesia berupa mesin cetak, sirkuit elektronik, dan komponen pesawat terbang.
Lantas, kenapa Indonesia memilih situasi seperti ini, membiarkan hubungan diplomatik yang beku sedangkan hubungan bisnis semakin hangat?
Pada dasarnya, kebijakan luar negeri atau foreign policy suatu negara didasarkan pada desain national interest atau kepentingan nasional suatu negara, termasuk Indonesia.
Dalam konteks hubungan internasional, para aktor negara cenderung akan menggunakan pilihan rasional (rational choice) untuk mencapai kepentingan mereka. Stephen Waltz menjelaskan bahwa para aktor akan berusaha untuk mengambil suatu pilihan yang akan membawa hasil maksimal bagi mereka.
Dengan kata lain, rasionalisasi dalam hubungan diplomatik adalah kepentingan nasional setiap negara.
Melihat situasi seperti ini, apakah benar bahwa kepentingan Indonesia hanya sebatas kemerdekaan Palestina dan melewatkan kesempatan besar untuk bekerjasama dengan Israel?
Kenapa Israel?
Jika melihat isi atau tujuan dari dibukanya hubungan bilateral dengan Israel oleh beberapa negara teluk sebagaimana tertuang dalam the Abraham Accord, beberapa negara tersebut mempunyai alasan yang cukup variatif tentang alasan bekerjasama dengan Israel.
Pertama adalah negara UEA. Dikutip dari perjanjian antara UEA dan Israel, kedua negara menyepakati kerjasama dalam bidang investasi, pendidikan, pariwisata, sains, dan teknologi.
Lainnya, bagi negara Bahrain Israel dapat menjadi ‘pelindung’ bagi mereka Bahrain ‘membeli’ jaminan perlindungan dari Israel dan AS untuk melindungi negara mereka dari konfrontasi Iran.
Menyusul UEA dan Bahrain, Sudan memilih untuk bersahabat dengan Israel. Sebagaimana diketahui sebelumnya, Sudan merupakan salah satu negara yang pada awalnya menentang keras adanya negara Israel.
Sudan juga pernah menjadi tuan rumah Liga Arab, di mana dalam forum tersebut mereka bersumpah untuk tidak akan pernah berdamai dengan Israel.
Lain kata, realitas politik dan krisis ekonomi yang terjadi di Sudan memaksa mereka ‘berdamai’ dengan Israel. Hal ini lakukan untuk membuka pintu bantuan dari AS kepada mereka.
Bagi Maroko, kepentingan mereka dalam normalisasi dengan Israel adalah untuk mendapatkan pengakuan dari AS atas teritori Sahara Barat yang masih diperebutkan dengan Aljazair.
Alasan utama negara-negara dengan memilih bekerjasama dengan Israel adalah secara singkat mereka membutuhkan Israel. Fakta ini tidak bisa dipungkiri.
Selain peran besar AS sebagai pelobi dan pendukung negara tersebut, kemajuan Israel dipengaruhi oleh adanya fenomena brain gain, atau masuknya kelompok terdidik ke negara Israel.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1990-an banyak ilmuwan terampil dari Uni Soviet yang memilih untuk bermigrasi ke Israel akibat situasi keamanan pada saat itu.
Akibatnya, pada saat ini negara Yahudi tersebut merupakan negara dengan perkembangan teknologi yang sangat maju, terutama dalam bidang militer, farmasi, pertanian, dan media digital.
Terbaru, Israel berhasil mengembang teknologi persenjataan berupa senapan laser udara yang mampu melumpuhkan drone, roket, higga rudal balistik. Di bidang farmasi, negara Israel berhasil mengembangkan industri obat-obatan, pupuk, pestisida, hingga olahan kimiawi lainnya.
Israel juga berhasil melobi perusahan media digital terkemuka untuk banyak melakukan riset di negara mereka. Sebagai contoh, perusahan besar Intel mempunyai pusat penelitian yang terletak di Haifa, Jerussalem, dan Kiryat Gat.
Menerka Motif Senyap Pilihan Indonesia
Melihat keputusan Indonesia untuk tidak melakukan hubungan diplomatik akan tetapi dengan mesranya melakukan aktivitas dagang dengan Israel cenderung memberi kesan bahwa Indonesia sebagai negara yang tidak konsisten.
Bukan hal baru, relasi ini juga terjadi pada hubungan antara Indonesia dan Taiwan. Meskipun Indonesia belum mengakui Taiwan sebagai negara (karena mengadopsi Kebijakan Satu Tiongkok), keduanya sudah melakukan hubungan dagang dengan dibukanya kamar dagang di kedua negara.
Jika dikaitkan dengan konsep rational choice, apakah situasi ini adalah hal yang paling memungkingkan dan rasional bagi Indonesia. Apakah hubungan diplomatik harus dibedakan dengan hubungan bisnis/dagang?
Sampai kapan Indonesia akan terus melakukan unconventional diplomacy dengan Israel? Apakah relasi ini akan tetap memberikan keuntungan bagi Indonesia, atau sebaliknya justru akan menjadi bom waktu bagi Indonesia?
Merujuk pada tulisan Indonesia’s Two Faces on Israel Palestine dari Zulfikar dan Askar, sikap Indonesia terhadap Israel menunjukan kompromi Indonesia terhadap dua hal, yakni tuntutan publik (public demands) dan kepentingan ekonomi (economic interests).
Pemerintah berupaya agar tetap populis bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dengan mendukung kemerdekaan palestina. Di sisi lain, relasi dagang dengan Israel juga menjadi kepentingan bagi Indonesia. Lebih lanjut lagi, kedua penulis menjelaskan bahwa pola hubungan Indonesia Israel justru akan merugikan Indonesia.
Pola ini hanya akan menguntungkan Israel, dimana nantinya Israel akan memberikan special incentives untuk Indonesia sebagai alat tekan bagi Indonesia dalam mendukung tujuan politik Israel.
Bukankah dengan adanya hubungan diplomatik yang resmi akan mempermudah Indonesia untuk berunding dengan Israel, termasuk menggunakan relasi dagang sebagai alat diplomasi perdamaian Israel-Palestina?
Dengan situasi seperti ini, penulis cenderung meyakini bahwa alasan terbesar Indonesia hari ini belum membuka hubungan dengan Israel adalah faktor situasi politik domestik. Sama halnya dengan pembedaan terhadap relasi diplomatik dan kepentingan bisnis, normalisasi dengan Israel tidak berarti mendukung penjajahan dan melupakan kemerdekaan Palestina.
Adanya hubungan diplomatik Indonesia-Israel akan memudahkan Indonesia untuk lebih aktif mendorong kemerdekaan Palestina. Relasi ekonomi kedua negara yang erat akan mendorong adanya dialog-dialog tentang perdamaian Palestina dan stabilitas kawasan.
Selain itu, Indonesia dapat menggunakan relasi baiknya dengan AS untuk dapat mengimbangi pengaruh China di Indonesia dan Kawasan LCS.
Akan tetapi, keputusan ini juga bukanlah tanpa resiko. Indonesia akan menghadapi tantangan internasional dan gejolak politik domestik yang akan berdampak pada keamanan dan stabilitas nasional.
Risiko Hubungan Indonesia-Israel terhadap Situasi Politik Nasional
Pembukaan hubungan diplomatik Indonesia-Israel tidak hanya memberikan keuntungan tetapi juga berpotensi memunculkan kegaduhan politik dan ancaman keamanan baik di dalam dan luar negeri.
Dalam konteks politik internasional, jika nantinya Indonesia melakukan normalisasi dengan Israel, nasib Indonesia sebagai negara muslim terbesar akan dipertaruhkan. Kepepimpinan Indonesia di beberapa organisasi internasional seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) akan menjadi sasaran kritik.
Indonesia akan dicap sebagai pengkhianat di antara negara-negara muslim. Lebih pelik lagi, adanya relasi Indonesia-Israel berpotensi menimbulkan instabilitas politik nasional. Banyak faktor mempengaruhi hal ini, mulai dari resistensi masyarakat Indonesia hingga ancaman dari luar negeri.
Sebagai negara dengan mayoritas muslim, pengakuan Indonesia terhadap Israel akan melahirkan banyak penolakan dari masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Tidak hanya melanggar konstitusi, perjanjian tersebut akan melukai perasaan umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia.
Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia masih mempunyai solidaritas dan empati yang tinggi terhadap bangsa Palestina dan penolakan mereka terhadap negara Israel.
Resistensi ini akan berdampak buruk bagi situasi politik nasional. Terlebih lagi, elektabilitas presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara yang pro-Islam akan tercoreng.
Situasi ini juga akan melahirkan gejolak penolakan dari luar negeri. Di kawasan, hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Brunei Darussalam akan terusik.
Lainnya, resistensi juga berpotensi akan lahir membangkitkan sel-sel tidur kelompok teroris di Indonesia. Normalisasi hubungan Indonesia-Israel akan menjadi legitimasi aktivitas-aktivitas teror mereka.
Menjadi akhir dari tulisan ini, penulis menyampaikan bahwa perlu adanya kajian intensif tentang pembacaan ulang potensi hubungan diplomatik Indonesia-Israel.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia penting untuk memberikan rasionalisasi kepada publik tentang alasan penolakan/ penerimaan terhadap adanya kerjasama Indonesia dan Israel.
Penulis melihat bahwa perlu ada paradigma baru dalam melihat relasi antara hubungan Indonesia-Israel dan komitmen mendukung kemerdekaan bangsa Palestina.
Paradigma baru adalah cara pandang yang tidak lagi menjadikan kebencian atas suatu ras/agama tertentu sebagai legitmasi untuk membatasi hak dan akses masyarakat Indonesia lainnya.
Pemerintah Indonesia juga harus melindungi hak masyarakat Indonesia yang secara kultur mempunyai kedekatan dengan Israel. Cara pandang ini dapat hadir dengan forum-forum diskusi, penelitian, dan public hearing tentang topik.
Pada saat yang sama, aktor politik nasional juga tidak lagi menjadikan isu Israel-Palestina sebagai komoditas politik elektoral. Hal ini dikarenakan justru akan menimbulkan social cleavage yang tak kunjung usai.
Lebih lanjut lagi, keterbukaan informasi tentang situasi dan dinamika politik global juga perlu untuk memberikan informasi yang utuh tentang topik ini.
Dengan ini, masyarakat luas akan secara langsung dapat menilai mana hal yang baik dan tidak bagi bangsa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membuka kesempatan masyarakat luas untuk terlibat aktif dalam pembangunan internasional.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, UI dan PB PMII Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Bahasa Politik Presiden Jokowi
- Propaganda Antipolitik Identitas dan Islamphobia
- PKB Melawan