Ancaman pidana bagi masyarakat yang nekat menggelar Shalat Tarawih di tengah pandemik virus corona baru (Covid-19) di Tanah Air yang disampaikan Menkopolhukam, Mahfud MD dinilai sebagai langkah yang keliru.
- Silaturahim Syawal Bersama LDII, Pj Gubernur Adhy: Perlu Sinergi Ulama-Umaro Sukseskan Pembangunan
- Gubernur Khofifah Ajak Rumah Sakit Lakukan Percepatan Reformasi Sistem Kesehatan Nasional
- Masa Libur Sekolah, Kereta Api Keberangkatan Surabaya Didominasi Tujuan Kota Wisata
Sebab menurut Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, sanksi pidana bisa diterapkan bila daerah sudah ditetapkan lockdown.
"Selama wilayah belum ditetapkan sebagai daerah karantina wilayah (lockdown), tidak ada sanksi pidana yang dapat diterapkan," kata Abdul Fickar Hadjar, Senin (27/4), dilansir Kantor Berita Politik RMOL.
Ia menjelaskan, sanksi pidana memang tertuang dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun sanksi tersebut seluruhnya untuk pelanggaran atas penetapan karantina. Sedangkan saat ini pemerintah hanya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) itupun tak diberlakukan di seluruh wilayah.
"Jadi tidak bisa dipidana. Cuma seharusnya masyarakat sadar bahwa tindakannya (berkerumun) itu sangat berbahaya bagi kesehatan," imbuhnya.
Di sisi lain, kondisi lapas di Indonesia tak dipungkiri telah melebihi kapasitas. Hal itulah yang menjadi dasar Kemenkumham memberikan asimilasi kepada narapidana yang sudah menjalani separuh hukuman, serta pembebasan bersyarat bagi mereka yang sudah menjalani 2/3 hukuman.
"Artinya dengan gambaran itu, di satu sisi menjadi tidak logis dan tidak masuk akal di mana pemerintah akan memidanakan para pelanggar, termasuk yang Tarawih. Tindakan persuasif lebih bisa menjadi solusi," tandasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Kekompakan, Kebersamaan dan Persatuan Jadi Momen HUT Kabupaten Mojokerto ke-730
- Asosiasi Kades Minta Perpres 104 Direvisi, Bupati Jember: Akan Kita Sampaikan ke Gubernur
- Dua Rumah Tertimpa Longsor di Lereng Gunung Bromo