Pertunjukan Ilahi

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) panik. Kata ini tepat menggambarkan kondisi petahana. Terlihat dari kisi-kisi yang dipertontonkan orang-orang di sekelilingnya.


Dimulai dari ‘tampang Boyolali’. Pidato ‘tampang Boyolali’ calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto ini diucapkan saat peresmian Kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018) lalu.

Prabowo sendiri saat ditanya tim internal mengaku tidak mengada-ada atas ucapannya. Itu spontanitas, tanpa setting, dan disampaikan dengan nada bercanda di hadapan purnawirawan tentara Indonesia Raya yang mayoritas mantan anak buahnya di militer.

Dari sekedar bercanda dengan teman, ‘tampang Boyolali’ menjadi bulan-bulanan pendukung Jokowi atau dikenal Cebongers. Sampai di sini belum terjadi apa-apa. Kemudian muncul kelompok-kelompok ‘merah’ yang selama ini menjadi musuh TNI.

Dari ‘tampang Boyolali’, masalah melebar hingga kemana-mana. Kelompok-kelompok ‘merah’  semakin gencar menyerang, tapi hal itu justru membuka kedok mereka. Jawa Tengah memanas. Solo terkena rembesan ‘tampang Boyolali’.

Laskar Islam Solo bersatu. Sesuatu yang sangat jarang terjadi. Pasalnya, selama ini thoghut mereka hanyalah Amerika. Pasca ‘tampang Boyolali’, kekuatan Islam semakin nyata. Makin membesar. Mereka menggalang kekuatan untuk menangkis serangan kelompok ‘merah’, yang kalau dibiarkan akan mengacau perpecahan umat Islam dan kedaulatan NKRI. Puncaknya tabligh akbar Persaudaraan Alumni (PA) 212 Soloraya, Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (13/1/2019). Tujuannya sama, menyeru ganti presiden.

Bila ingin jelasnya, tanyakan pada yang bersangkutan di Solo. Betapa masifnya perjuangan mereka yang lepas dari pantauan media-media mainstream.

Apakah Jokowi panik? Mustahil kalau tidak. Inilah pertunjukan Ilahi pertama. Diawali dari ‘tampang Boyolali’ yang tidak terencana. 

Bagi Jokowi, pergerakan laskar Islam Solo cukup membuatnya was-was. Apalagi ini terjadi di ‘kandang’ petahana. Malu, jelas. Marah, jangan ditanya lagi. Kasus Jokowi sama dengan Ma’ruf Amin yang ‘tidak dihargai’ di ‘kandangnya’ Banten.

Selepas ditetapkan sebagai Cawapres untuk mendampingi Jokowi pada pemilu 2019 mendatang, klaim muncul menyebut Ma’ruf Amin adalah cicit dari ulama besar Banten yang hingga ahir hayatnya mengabdikan diri sebagai Imam besar Masjdil Harom Mekkah dan sebagai tokoh Intelektual (ulama) yang banyak menghasilkan karya (kitab) sehingga dijuluki Sayyid Ulama Hijaz, beliau adalah Syeh Imam Nawawi atau orang Banten menyebutnya Ki Nawawi dari Tanara Banten.

Klaim ini bisa benar, bisa juga salah. Namun dari informasi yang beredar, keturunan asli Syeh Imam Nawawi kabarnya membantah hal tersebut. Kabarnya pula, mereka bersiap deklarasi mendukung pasangan nomor urut 02 sekaligus membuka kebenaran berita (cicit Syeh Imam Nawawi). Kita tunggu saja.


Kembali ke laskar Islam Solo, dengan bersatunya laskar-laskar tersebut, muncul rentetan peristiwa besar yakni rencana pembebasan pengasuh Ponpes Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, yakni Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (ABB).

Di sini pertunjukan Ilahi kedua. Penasehat hukum Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra mengumumkan kabar pembebasan ABB. Dari mulut Yusril keluar penegasan bahwa dirinya punya kapasitas sebagai orang yang diberi perintah oleh Presiden Jokowi.

"Presiden meminta saya untuk menelaah mencari jalan keluar dan juga memerintahkan agar saya berbicara dengan Baasyir. Solusi mengatasi masalah itu saya laporkan kepada Presiden dan Presiden setuju dengan solusi yang sata ajukan. Saya mengumumkan langkah untuk memberikan pembebasan kepada Ba’asyir," kata Yusril, Sabtu (26/1/2019).

Banyak pihak menilai langkah pembebasan ABB sarat kepentingan politis. Selain sebagai pencitraan, pembebasan ABB dianggap bertujuan memisahkan laskar-laskar Islam di Solo yang kini sudah bersatu, termasuk laskar dari Ngruki.

Pihak-pihak yang paham hukum lantas mengkritisi langkah Yusril. Kritik paling keras datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Menurutnya, Yusril hanyalah penasehat Jokowi, bukan penasehat presiden. 

"Dia itu penasehat pak Jokowi, bukan penasehat presiden, seumpama pun dia penasehat presiden, seharusnya tidak boleh kalau bicara pembebasan bersyarat (PB) itu," kritik Mahfud MD.

Dalam Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan, ketentuan bebas bersyarat dilakukan oleh Menkumham atau Dirjem Kemasyarakatan. Ketentuan bebas bersyarat yang diatur PP 99/2012 serta dalam Pasal 84 Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat.

Narapidana untuk bebas bersyarat di antaranya harus meneken surat setia kepada NKRI. Jika melalui mekanisme PB, menurut perhitungan, dua pertiga masa pidananya adalah pada tanggal 13 Desember 2018. Karena ABB sampai saat ini belum berkenan menandatangani surat pernyataan ikrar kesetiaan NKRI sebagai salah satu persyaratan PB.

Ada dua catatan penting dari peristiwa ini. Pertama, sebagai penasehat hukum, Yusril memiliki beban besar untuk memenangkan Jokowi. Dia melangkah bukan sebagai penasehat melainkan juga tim sukses kliennya. Sehingga apapun celah yang ada akan diambil demi memuluskan kemenangan.

Kedua, saat Jokowi menyetujui usulan Yusril untuk membebaskan ABB, Jokowi sebenarnya tidak paham soal hukum, dan tidak paham mengatur pemerintahan. Padahal statusnya kepala negara. Ada banyak menteri yang bisa dimintai saran terkait mekanisme pembebasan ABB. Maka, sangat disayangkan jika Jokowi tidak paham mekanisme tersebut. Mungkin yang ada dalam pikirannya, langkah apapun ditempuh demi pencitraan dan meraih kemenangan.  

Pertunjukan Ilahi berikutnya makin terlihat nyata. Jenderal TNI (Purn) Wiranto yang juga Menko Polhukam (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) menggelar jumpa pers dan mengumumkan pembatalan pembebasan ABB.

"Presiden kan tidak boleh "grusa-grusu", Jadi ya harus mempertimbangkan aspek lainnya,” kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (21/1/2019).

Ucapan Wiranto bak pemutarbalikan kata-kata Jokowi soal Ratna Sarumpaet saat debat pertama. Awalnya Prabowo menanyakan ketidakpastian hukum di bawah pemerintahan Jokowi. Sebab saat ini banyak kepala daerah yang dinilai menyatakan dukungan kepada Jokowi tetapi tidak diproses. Sedangkan, kata Prabowo, saat ada kepala desa yang mendukungnya, maka aparatur negara itu dipecat.

Jokowi menanggapi, Indonesia memiliki mekanisme hukum yang transparan. Jokowi menyarankan Prabowo melaporkan temuannya itu kepada polisi. "Kalau Pak Prabowo punya bukti, serahkan ke penegak hukum. Jangan "grusa-grusu” kayak tampilan Pak Prabowo selama ini," kata Jokowi.

Istilah "grusa-grusu” Jokowi berbalik arah dan menyerangnya. Menunjukkan, bahwa hukum di pemerintahan Jokowi tidak ada kepastian seperti kritik Prabowo. Yang parah, sindiran dan teguran itu keluar dari Wiranto yang notabene anak buahnya sendiri. Baru kali ini dalam sejarah di Indonesia, seorang menteri berani menegur dan melawan perintah presiden.

Ya, beginilah cara Ilahi membuka mulut Wiranto, sebagaimana membuka mulut Yusril soal pembebasan ABB, dan mulut Prabowo soal ‘tampang Boyolali’ yang kemudian membongkar kedok-kedok mereka selama ini. Sesempurna-sempurnanya pekerjaan manusia, lebih sempurna ‘pekerjaan’ Ilahi. Semua kejadian pasti ada rentetan, terkait satu sama lain. Masih banyak 'pekerjaan' Dia yang membongkar hingga memperolok jika mau dicermati. Semua ini terjadi atas kehendak dan cara Dia sendiri.

Dan, mengutip surat Al-Baqarah Ayat 15 yang bunyinya: "Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan." [....

Penulis adalah wartawan. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita

ikuti terus update berita rmoljatim di google news