- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
PENAMAAN beragam jenis tanaman atau tumbuhan yang tumbuh kembang di sebuah daerah tidak terlepas dari bagaimana warga daerah itu berinteraksi dengan tanaman atau tumbuhan tersebut. Apalagi jika ada manfaat kesehatan, artistik atau kegunaan lain dari tumbuhan setempat untuk keseharian warga, maka interaksi yang terjadi bukan sekadar antara manusia dengan tanaman. Melainkan, bisa melampaui dari itu, yakni keberadaan tanaman atau tumbuhan bisa memberi rasa memiliki yang luar biasa ke dalam sanubari warga dari generasi ke generasi.
Pengalaman berinteraksi dengan tanaman bisa menjadi warisan kepada generasi sesudahnya. Pengalaman nenek moyang memanfaatkan tanaman bisa dikembangkan sedemikian rupa oleh generasi pelanjut dalam merawat tanaman karena wawasan terhadap tanaman kian luas. Apalagi setelah generasi pelanjut menemukan hal-hal baru dari tanaman tersebut. Filipina menjadi negara dengan sejarah interaksi warga lokal pada tanaman yang cukup intens.
Ilmu botani yang berkembang pesat selama masa kolonialisme dan imperialisme Barat terhadap wilayah-wilayah koloni kemudian tumbuh menjadi ilmu yang mengilmiahkan nama-nama tanaman dengan bahasa Latin atau dilatinisasi. Nama-nama daerah atau lokal untuk tanaman dianggap tak ilmiah atau tidak akademis jika tidak dinamakan dalam bahasa Latin atau latinisasi. Tradisi pengilmiahan Anglo-Eropa ini pada gilirannya mencerabut penghayatan begitu dalam dari warga setempat terhadap tanaman dimana tanaman tersebut tumbuh.
Padahal, penamaan warga daerah terhadap tanaman di daerah itu mempunyai riwayat panjang. Warga daerah tidak serta merta memberi nama tanaman atau memberi nama tanaman daerah seenaknya saja. Justru yang terjadi, warga daerah sering juga mengamati seksama, melihat rinci bahkan sampai menyaksikan pelan-pelan bagian-bagian sebuah tanaman sebelum kemudian memberikannya sebuah nama. Sayangnya, riwayat daerah terhadap tanaman tersebut sering diabaikan dalam penamaan Latin oleh seorang ahli botani.
Dalam buku ini, Kathleen Cruz Gutierrez menelusuri sejarah botani di Filipina selama beberapa dekade terakhir kekuasaan Spanyol dan beberapa dekade pertama penjajahan AS. Melalui sejarah ini, ia mendefinisikan ulang bahasa daerah, memperluasnya untuk mencakup praktik taksonomi yang berwujud, kosmologis, artistik, dan beragam. Dari tekstur kuliner beras dan lirik yang dinyanyikan untuk menghormati bunga hingga sentuhan rok yang ditenun dari serat pisang, ia menjelaskan bagaimana bahasa daerah pengetahuan tanaman di Filipina mengungkap batas-batas filosofis dan praktis botani.
Bahasa daerah sesungguhnya tetap menjadi bentuk kedaulatan produksi pengetahuan. Namun, pada saat yang sama, bahasa daerah itu menantang dominasi botani atas cara-cara untuk mengetahui tanaman. Mengungkap ketegangan ini kemudian memungkinkan Gutierrez untuk berteori tentang “Bahasa daerah yang berdaulat,” atau wawasan tentang tanaman yang menciptakan dan memporak-porandakan bangunan sains botani. Sehingga karya ini bisa berfungsi sebagai provokasi metodologis untuk memeriksa interaksi antara sistem pengetahuan yang berbeda dan mempelajari sejarah sains dari berbagai sudut pandang.
Untuk itu, Gutierrez mengonseptualisasikan kembali bahasa sehari-hari di Filipina sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar bahasa non-Latin dan mendefinisikannya sebagai ungkapan pengetahuan tanaman yang mencakup dan sekaligus lebih dari sekadar nama tanaman. Ungkapan-ungkapan ini muncul baik dalam momen-momen menyendiri maupun selama ekspedisi hutan yang ekstensif. Ungkapan-ungkapan ini dapat didengar melalui iringan bandurria atau selama wawancara lapangan.
Logika ilmu botani – bahwa semua kehidupan tumbuhan di planet ini dapat direkam dan diatur secara sistematis untuk menunjukkan hubungan – membuat tujuan seperti itu sebenarnya tidak praktis, namun tampaknya dapat dicapai. Ilmu botani yang dibawa Spanyol dan AS telah ikut dalam tujuan tersebut dan tata bahasa jenis kolaborasi negara kolonial yang menandai masa transisi kolonial yang signifikan di Filipina. Dekade terakhir dan pertama kolonialisme Spanyol dan AS di Filipina memperlihatkan proliferasi sains modern.
Baik Spanyol maupun AS, keduanya memang ikut andil dalam mengangkat kekayaan flora Filipina ke dunia akademik. Berbagai flora menarik yang ditemukan dalam penjelajahan di lapangan kemudian dikupas secara mendalam. Bahkan AS perlu membentuk kantor sains khusus untuk melakukan taksonomi sekaligus melacak lantas menamai flora-flora yang ditemukan itu. Semua kerja-kerja ilmiah AS dilakukan secara rapi, rinci dan terpublikasi, sehingga jagat akademis bisa mengetahuinya. Sebaliknya, Spanyol kurang melakukan publikasi, walau kerja-kerja lapangan para penjelajah Spanyol di bumi Pinoy itu berlangsung intensif.
Ala kulli hal, buku ini selain menarik juga penting, karena buku ini menunjukkan bagaimana proses kolonisasi sebuah bangsa bukan sekadar bersifat fisik. Namun, kolonisasi itu juga melibas kesadaran serta kearifan lokal. Atas nama pengilmiahan tanaman-tanaman lokal yang telah menyatu dengan kearifan lokal, maka penamaan tanaman lokal yang punya kelekatan kuat dari generasi ke generasi, harus dipupus. Generasi ''ilmiah'' yang dididik dari ilmu warisan kolonial lantas tercerabut dari akar lokalnya.
*Penulis akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki