PSBB Sudah Oke, Tanggungjawab Pemerintah Pada Rakyat Yang Belum

Kebijakan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak bisa dibandingkan dengan lockdown.


Menurut aktivis Kelompok Kajian Jumat Malam, Toni Widiajaya, Indonesia tidak mengenal istilah lockdown  

“Tidak ada terminologi lockdown dalam peraturan perundangan kita. Jadi tidak berdasar kalau ada yang bandingkan lockdown versus PSBB. Sesuai UU no 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, yang ada adalah karantina dan PSBB,” jelasnya pada Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (5/5).

Namun jika yang dimaksud istilah lockdown seperti di Wuhan, China, kata Toni, hal itu bisa dilihat penerapan PSBB di Surabaya Raya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundangannya.

“Sesuai Peraturan Pemerintah no 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19) maupun Peraturan Menteri Kesehatan no 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19, sudah jelas diatur pembatasan meliputi apa saja, apa yang dikecualikan dan seterusnya. termasuk dalam pasal 18 PM no 9 tersebut mengatur penegakan hukumnya,” urainya.

Dikatakan Toni, PSBB di Surabaya memang banyak yang mengeluhkan ketatnya penerapan. Tapi lambat laun banyak yang memahami.

“Pada akhirnya banyak yang mengeluh masyarakat yang tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan. Yang mengeluh masyarakat sendiri, bukan aparat. Sebaliknya banyak yang mendukung aparat untuk bertindak tegas sesuai aturannya karena memang dimungkinkan secara peraturan perundangan. Di mana pelaksanaannya dimulai dari tahap sosialisasi, teguran baru sanksi,” papar Toni.

Terkait dengan sanksi yang dikeluhkan masyarakat, kata Toni, hal itu untuk menjamin tertibnya masyarakat mengikuti protokol.

“Pertanyaannya kalau tidak ada sanksi apakah masyarakat kita dijamin tertib mengikuti protokol? Siapa yang bisa jamin? Walau memang lebih elok kalau sanksi tidak berupa rupiah, harus ada metode edukasi yang lain,” katanya.

Lanjut Toni, apakah penerapan PSBB Surabaya Raya sudah sesuai koridor, pihaknya tidak punya data valid. Namun yang jelas PSBB perlu divaluasi. Hal ini sesuai instruksi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi PSBB karena ada yang kendor atau bahkan yang bablas termasuk sinyalemen pak Mahfud MD untuk relaksasi PSBB. Artinya memang ada yang harus diluruskan dan diperbaiki.

Toni menyebut, salah satu penerapan PSBB yang perlu dievaluasi adalah tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

“Sebenarnya yang perlu dievaluasi bukan penerapan PSBB, bukan konteks penegakan protokolnya. Melainkan penerapan peraturan pemerintah di atas pasal 4 ayat 3 di mana PSBB ini harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Tanggungjawab pemerintah melalui bantuan-bantuannya apakah sudah terealisasi? Saya tidak yakin dan ini harus dituntut ke pemerintah, jangan hanya kewajiban masyarakat saja yang dituntut tapi hak masyarakat dilupakan,” tutupnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news