Wowo dan Wiwi

Ilustrasi Wowo dan Wiwi
Ilustrasi Wowo dan Wiwi

Di negeri yang katanya demokrasi tapi lebih mirip sinetron dengan banyak episode filler itu, hidup dua tokoh politik paling menghibur abad ini: Wowo dan Wiwi.

Siapa yang tak kenal mereka? Bahkan bayi baru lahir pun, kalau diperdengarkan suara mereka, bisa langsung mengenali dua kutub magnet yang dulu saling tolak tapi kini saling peluk—walau pelukannya kadang seperti jabat tangan dua pedagang yang tahu mereka sedang tipu-tipu soal kualitas barang.

Wowo adalah jenderal. Bukan sembarang jenderal. Ia adalah jenderal segala jenderal. Jalan selalu tegap, suara berat, wajah penuh wibawa—tapi entah kenapa, setiap kali tampil di televisi, netizen justru teringat pada tokoh anime yang suka ngambek kalau kalah debat. Ia mengulang maju nyapres tiga kali, seperti sinetron dengan ending yang dipaksa happy walaupun logika penontonnya udah nyerah.

Sementara itu, Wiwi adalah mantan walikota, mantan gubernur, dan sekarang mantan harapan rakyat. Dulu dielu-elukan karena blusukannya, karena bajunya sederhana, karena katanya dari rakyat biasa.

Tapi belakangan, rakyat mulai sadar: jangan tertipu baju kotak-kotak. Karena di baliknya bisa tersembunyi niat untuk mengkotak-kotakkan negara demi ambisi pribadi.

Dulu Musuh, Kini Merapat

Wowo dan Wiwi pernah saling tuding, saling sindir, saling debat di panggung terbuka dengan kamera dan lampu sorot seperti acara stand-up comedy tapi tegang. Wowo bilang Wiwi antek asing. Wiwi balas dengan senyum tipis, seperti mengatakan: “Kamu belum tahu aku punya jurus pamungkas.”

Lalu ketika Pilpres selesai, dan rakyat masih sibuk menghitung sisa mie instan di dapur, tiba-tiba kabar mengejutkan datang: Wowo masuk kabinet Wiwi! Seisi negeri seperti tersedak kopi sachet. Ini semacam melihat Batman dan Joker naik odong-odong bareng sambil nyanyi lagu anak-anak. Mustahil, tapi nyata.

“Ini demi bangsa,” kata mereka. Tapi bangsa yang mana? Karena bangsa ini sedang sibuk antri minyak goreng dan bayar utang pinjol. Rakyat akhirnya cuma bisa garuk-garuk kepala, lalu lanjut scroll TikTok untuk melupakan kenyataan pahit.

Rakyat sebagai Penonton Setia

Rakyat di negeri ini seperti penonton sinetron yang tak punya remote. Mereka hanya bisa melihat, tak bisa protes, tak bisa ganti channel. Setiap pemilu, dijanjikan perubahan, tapi setelah itu, yang berubah cuma harga cabe dan ongkir. Selebihnya, ya itu-itu saja. Para elit kembali duduk manis sambil membagi-bagi jabatan seperti membagi sisa nasi kotak di acara seminar.

Wowo, yang dulu berkoar-koar tentang nasionalisme, kini sangat nasionalis hingga semua proyek strategis harus pakai fotonya. Sementara Wiwi, yang dulu disebut pemimpin bersih dan sederhana, kini dikelilingi oleh kroni dan keluarga yang tiba-tiba punya kemampuan supranatural: dari penjual cilok bisa jadi komisaris BUMN.

Rakyat yang dulu begitu percaya pada Wiwi, kini mulai bertanya: apakah perubahan itu hanya berlaku untuk elite, sementara rakyat hanya dapat kata-kata manis yang basi? Dan Wowo, yang dulu gagah seperti singa podium, kini seperti kucing rumahan yang setia menunggu sisa makan tuannya.

Panggung dan Dagelan

Politik negeri ini sudah lama jadi panggung sandiwara. Tapi duet Wowo dan Wiwi membawanya ke level baru: sandiwara musikal dengan tambahan orkestra drama keluarga. Ada air mata, ada pelukan, ada pengkhianatan, dan tentu saja, ada plot twist.

Dalam satu pidato, Wiwi bilang demokrasi harus dijaga. Tapi di belakang layar, para buzzer digaji dari dana entah darimana untuk menggiring opini rakyat ke arah yang menguntungkan penguasa.

Wowo pun tak kalah. Di depan TV, ia bicara soal kedaulatan pangan dan ketahanan energi. Tapi entah kenapa, tiap proyek besar pasti ada investor asing yang nongol lebih dulu daripada petani lokal.

Rakyat, lagi-lagi, cuma bisa menghela napas dan menyetel ulang hidup mereka. Karena mereka sadar: Wowo dan Wiwi bisa berubah sewaktu-waktu. Hari ini musuh, besok saudara. Hari ini bicara rakyat, besok bicara proyek.

Ketika Kursi Jadi Tujuan

Yang lucu dari semua ini adalah: mereka dulu sama-sama ingin kursi. Bukan kursi plastik hajatan, tapi kursi empuk bernama kekuasaan. Mereka rela debat, adu data palsu, bahkan saling tuding soal ijazah. Tapi ketika kursi dibagi-bagi, semua amarah mendadak lenyap. Seolah semua dosa masa lalu bisa dihapus dengan satu kalimat: demi persatuan bangsa.

Padahal rakyat tahu, itu bukan demi bangsa, tapi demi bancakan. Kursi adalah simbol kekuasaan, dan kekuasaan adalah jalan menuju proyek, dana, pengaruh, dan... peluang untuk mencalonkan anak-cucu-cicit.

Wowo, yang dulu katanya akan istirahat dari politik kalau kalah, ternyata lebih aktif setelah kalah. Bahkan lebih aktif daripada Wiwi sendiri yang makin jarang terlihat. Wowo berkeliling, hadir di acara, selfie dengan emak-emak, dan yang terbaru: pakai jaket tentara sambil mengumbar wacana lucu—tentang pemimpin gemoy dan pencitraan bar-bar.

Wiwi? Ia tetap tersenyum, seperti biasa. Senyumnya kini lebih dewasa, lebih penuh makna, dan lebih sering muncul saat sedang membicarakan proyek kereta cepat, ibu kota baru, atau saham keluarga.

Siapa Bilang Ini Komedi? Ini Tragedi

Dari luar, kelihatannya lucu. Dua mantan rival kini bersatu. Tapi buat rakyat, ini adalah tragedi. Karena rivalitas mereka dulu yang dikonsumsi rakyat ternyata hanya drama murahan. Rakyat dibelah jadi dua: cebong dan kampret, hanya demi tontonan yang ternyata ujung-ujungnya akur juga.

Bayangkan, rakyat sampai putus silaturahmi, saling blokir di WhatsApp, berantem di grup keluarga, hanya demi membela dua orang yang sekarang malah makan malam bareng. Ironi? Tidak cukup. Ini sudah level hipokrit maksimal.

Apalagi saat ini, Wowo sudah sah menjadi pengganti Wiwi. Ya, dengan segala cara dan rekayasa. Mahkamah sempat seperti pelayan restoran yang mengiyakan semua permintaan pelanggan VVIP, termasuk anak yang baru lulus sudah boleh jadi cawapres.

Dan Wiwi? Ia tak melawan. Ia bahkan tersenyum bangga, seolah berkata: "Lihat, betapa lihainya aku memainkan demokrasi." Rakyat hanya bisa tersenyum kecut. Karena mereka tak tahu lagi, harus percaya pada siapa.

Dari Wowo ke Wiwi, dan Balik Lagi

Kini, tongkat estafet akan beralih. Dari Wiwi ke Wowo. Rakyat menanti, apa yang akan berubah? Mungkin kursi akan berubah warna. Mungkin wajah di uang kertas akan berubah. Tapi harga sembako? Kayaknya tetap naik. Kesejahteraan? Masih dalam proses musyawarah.

Wowo sudah janji akan lanjutkan program Wiwi. Padahal rakyat berharap ada evaluasi. Tapi nampaknya, program pembangunan citra akan terus dilanjutkan. Bahkan diperbesar. Karena di negeri ini, pencitraan bisa mengalahkan prestasi. Selama ada video, drone shot, dan lagu latar yang menyentuh hati, maka semua dianggap sukses.

Wiwi pun akan tetap hadir. Mungkin di balik layar. Mungkin di balik bisnis. Tapi namanya tak akan hilang dari sejarah. Ia akan diingat sebagai presiden yang lahir dari rakyat tapi lupa jalan pulang ke rakyat.

Dan Wowo? Ia akan dicatat sebagai jenderal yang berhasil memenangkan kekuasaan setelah tiga kali mencoba. Sebuah kisah gigih. Tapi rakyat lebih gigih: bertahan hidup dari janji-janji yang tak kunjung ditepati.

Masa Depan yang Gemoy

Setelah Wowo, siapa? Tentu saja Wiwi ingin anaknya. Dan Wowo? Mungkin sudah menyiapkan kader-kadernya juga. Maka negeri ini akan terus diputar dalam lingkaran kekuasaan yang tak pernah memberi ruang bagi orang baru.

Wowo dan Wiwi adalah simbol dari bagaimana elit bisa bertengkar untuk kamera dan berdamai di balik meja makan. Mereka adalah metafora dari politik kita: absurd, dramatis, tapi nyata. Lucu, tapi menyakitkan. Komedi, tapi berdarah-darah.

Dan rakyat, seperti biasa, hanya bisa bilang: “Semoga kali ini beneran demi bangsa.”

Wowo dan Wiwi akan terus dikenang. Bukan karena keberhasilan mereka mensejahterakan rakyat—itu urusan nanti. Tapi karena mereka berhasil membuat rakyat tertawa dalam tangis, dan percaya bahwa demokrasi bisa dibentuk ulang sesuai selera pemilik kuasa.

Wowo dan Wiwi adalah kisah cinta-benci politik yang layak difilmkan. Dan kalau filmnya tayang, mungkin judulnya cocok: "Wowo dan Wiwi: Dari Debat ke Dapur Istana." Dengan rating 18+, karena isinya penuh manipulasi, intrik, dan adegan tidak layak konsumsi logika.

Selamat menikmati hidup di negeri Wowo dan Wiwi. Negeri di mana masa depan bisa diprediksi hanya dengan melihat siapa yang sedang selfie di acara peresmian proyek.

*Khairul A. El Maliky, pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news