. Di dalam suasana demokrasi, kultur kewarganegaraan didahulukan, kultur hukum jangan dipaksakan.
- Fuad Bawazier: Rafael Alun Sudah Diproses KPK, SMI Memilih Melindungi
- Pernah Dikriminalisasi, Aktivis Anti Korupsi Ingatkan Masyarakat Blitar Pilih Pemimpin yang Demokratis
- Andai Jadi Ketua PBNU, Gus Miftah: Ke Depan NU akan Besar
Menurut Rocky, wajah demokrasi Indonesia saat gelaran Pilpres 2019 terkesan dibuat tegang dan tidak lagi menyenangkan. Padahal Pilpres yang notabenenya adalah pesta demokrasi seharusnya dapat membuat publik merayakan demokrasi dengan sukacita bukan dengan ketegangan.
Rocky menilai, saat ini bahasa-bahasa kampanye dan pembicaraan politik yang digunakan seakan mengarahkan kepada suatu event politik yang harus dijalani dengan ketegangan, minus kegemberiaan.
"Apel siaga itu kan bikin orang tegang. Apa yang siaga? Buat apa, kan orang biasa-biasa saja," pemerhati politik ini.
Terus perang total, sambung Rocky, siapa kita, kita siapa? "Jadi itu diskursus atau literasi itu menunjukan psikologi dari kekuasaan. Kalau literasinya instruktif artinya kekuasaannya gugup dengan perolehan suara hari ini," jelasnya.
Menurut Rocky, seharusnya di dalam suasana demokrasi, kultur kewarganegaraan itu didahulukan, kultur hukum jangan dipaksakan.
Demokrasi sebetulnya bukan pemerintahan rakyat, demokrasi itu pemerintahan akal melalui pemerintahan rakyat.
"Jadi harus ada akal dulu. Akal itu dapat disebut akal kalau ada pertemuan antar dua orang yang berpikir, kalau tidak itu bukan akal," ujarnya.
"Akal itu memerlukan lawan bicara," demikian Rocky. [jit]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Khawatir Produk Petani Turun, Daniel Johan Minta Subsidi Pupuk Tidak Dikurangi
- Itung-itungan Politik, Pilpres 2024 Bakal Menarik Jika Muncul Tiga Capres Berbasis Ideologi
- Tolak Omnibus Law UU Ciptaker, PMII Ngawi Siap Turun ke Jalan