Selama masa pandemi Covid-19 angka kekerasan anak masih terus meningkat. Butuh koordinasi berbagai pihak untuk bisa mencegah serta menanggani kasus yang membelit anak.
- Lamongan Berhasil Kendalikan Pandemi, Ekonomi Masyarakat Kembali Bangkit
- Sri Untari: Jatim Bisa Jadi Provinsi Kuat Pasca Pandemi Covid 19
- Pandemi Melandai, Gus Sadad Optimis Gubernur Khofifah Bisa Realisasikan Nawa Bhakti Satya Pada APBD 2023
"Sepanjang pandemi Covid-19 ini jumlah kekerasan anak di Indonesia mengalami peningkatan. Tercatat sampai akhir Agustus 2020 saja sudah ada 12.855 kasus yang melibatkan anak," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementrian Sosial RI Dr Kanya Eka Santi, MSW, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Kamis (10/9).
Jumlah serupa pada tahun lalu, sambungnya, terjadi di bulan Desember 2019. "Ini masih Agustus sudah mencapai 12.855 kasus yang melibatkan anak,” kata Kanya ketika Webinar Pengembangan PKSAI di Jawa Timur yang digelar oleh LPA Tulungagung bersama UNICEF.
Ia melanjutkan, kasus yang melibatkan anak itu terbagi dalam berbagai jenis, salah satunya anak yang berhadapan dengan hukum mencapai 5.364 kasus, anak korban kejahatan seksual mencapai 2.489 kasus, ada juga anak korban perlakuan salah dan penelantaran yang terdapat 1.247 kasus.
“Ada juga anak terdampak Covid-19 mencapai 998, dan anak korban kekerasan fisik serta psikis mencapai 886 kasus,” ungkapnya.
Dalam situasi ini, katanya, memang dibutuhkan pelayanan terpadu dan bisa menjangkau seluruh warga. PKSAI bisa menjadi salah satu solusi yang bisa dihadirkan di berbagai daerah. Sehingga di pusat ada penanganan didukung upaya keras di daerah melalui PKSAI.
“Pemberdayaan komunitas menjadi penting. Di pusat bisa terintegrasi, di daerah juga jalan dengan PKSAI,” jelasnya.
Kanya menyadari kalau butuh waktu untuk mengetuk berbagai pintu dalam membangun koordinasi antar lini. Persoalan anak tidak bisa dilakukan secara sektoral. Sehingga kolaborasi menjadi kunci yang bisa dilakukan bersama.
“Ini perlu komitmen dari berbagai pemda serta kepala daerahnya. Komitmen sistem pada PKSAI tentu tak akan hanya menjadi jargon, tapi juga dilaksanakan,” ujarnya.
Kepala Dinas Sosial Jawa Timur Dr Alwi, M.Hum menjelaskan, data kekerasan anak memang meningkat tiap tahun. Peningkatan itu sebagian besar didominasi hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan seksual, pencurian, dan perkelahian.
“Situasi ini perlu layanan khusus. Terutama pendampingan kepada pelaku, korban dan sanksi. Dan semua ini butuh layanan khusus seperti PKSAI,” katanya.
Ia menambahkan, berbagai kasus yang terjadi berasal dari berbagai aspek kehidupan. Sehingga tidak ada lembaga tunggal yang memiliki mandat dalam melayani semua aspek dalam perlindungan anak.
“PKSAI membuat struktur yang lebih jelas. Karena ada sumber solusi untuk bisa berkolaborasi bersama. Baik itu dari Dinsos, PPA, Diknas, Kesra, PPT, LSM, Kemenag, LPKS dan tokoh agama dan tokoh masyarakat,” ungkapnya.
Makanya, lanjutnya, ada layanan ideal yang bisa dilakukan mulai dari pencegahan seperti kampanye, kesadaran, pendidikan, mengandeng media, parenting, dan edukasi menyeluruh.
“PKSAI juga memiliki manajemen data melalui data layanan serta integrasi pengelolaan dan pengendalian data. Peran SDM serta pekerja sosial ditunjang dengan lembaga jejaring,” jelasnya.
Selain itu, ada juga jenis layanan terintegrasi yang memiliki upaya pencegahan dan pengurangan risiko bagi kelompok rentan. “PKSAI Jatim jadi barometer nasional, kita terus harus menunjukan kinerja optimal untuk mengatasi problem yang dihadapi anak-anak,” sambungnya.
Perkembangan PKSAI tiap tahun juga terus meningkat. Dimulai sejak 2005, saat ini sudah ada 7 PKSAI yang ada di Jatim dan tersebar di berbagai daerah seperti Kab Tulungagung, Kab Jombang, Kab Pasuruan, Kab Sidoarjo, Kab Kediri, Kota Pasuruan, dan Kab Trenggalek.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pemkot Surabaya Gerak Cepat Tangani Kasus KDRT Anak di Tanah Merah, Fokus Pemulihan Korban
- Dosen UWP Lakukan Kaderisasi Guru Paud untuk Pencegahan Kekerasan Seksual Anak
- Komitmen Dyandra 2024, Menteri Bintang Tandatangani Komitmen Perlindungan Perempuan dan Anak