Setan Oeang

Darsono dikenal dengan tulisannya yang tajam. Artikel-artikelnya menusuk. Penguasa saat itu dibuat berang. Dia sangat berani mengkritisi kolonial.


Akibat terlalu berani, banyak rekan-rekan Darsono yang ketakutan dan memilih mundur dari Sinar Djawa.

Pergerakan Darsono yang cenderung kiri membuat beberapa orang di pergerakan gerah.

Pada 28 Februari 1918, satu persatu anggota redaksi Sinar Djawa seperti Mohammad Joesoef, Aloei juga Martowidjojo keluar.

Tidak hanya itu, SI cabang Semarang juga gerah. Darsono dan Semaoen yang usianya masih muda dianggap radikal. Serang sana serang sini. Golongan moderat diserang. Mereka kebanyakan menduduki posisi kunci dalam SI.

Salah satu tulisan Darsono berjudulnya Giftige Waarheidspijlein (Pengadilan Panah Beracun) dianggap sangat keras.

Darsono menyindir para pemilik modal atau pengusaha dengan sebutan ‘setan oeang’.

Yang tersindir, kaum politik etis yang menjilat pada Belanda. Mereka menjadi pemilik modal di pendidikan, perkebunan, hingga pajak.

Kerja mereka tidak ada yang menguntungkan. Tidak ada upaya memperbaiki kehidupan pribumi.

Soal pendidikan, kata Darsono, banyak sekolah dibangun untuk menyediakan tenaga kerja murah yang dibutuhkan oleh pemilik modal untuk menggerakan produksi mereka di Hindia.

Pemerintah telah mengadakan beberapa sekolah pribumi dengan kurikulum terbatas bagi rakyat pribumi calon buruh dari usaha milik ‘setan oeang’.

Anak-anak pribumi jelata hanya dapat menikmati tweede klass (sekolah bumiputra klas dua tanpa bahasa Belanda) yang biasa disebut sekolah angka loro. Sebuah sekolah dengan masa belajar 3 tahun. Mereka hanya dididik untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Lulusan macam inilah yang dibutuhkan oleh ‘setan oeang’.

Memang umumnya pengadaan sekolah berkualitas dengan standart yang mendekati Eropa oleh pemerintah kolonial hanya ditujukan kepada elit feodal.

Pembatasan pendidikan non formal bagi rakyat pribumi melalui rapat-rapat umum dilarang Asisten Residen di kota Semarang.

Pemerintah kolonial berupaya menutup rapat pintu kesadaran kaum kromo akan pentingnya pendidikan politik.

Pemerintah kolonial enggan membuka sekolah-sekolah tinggi bagi kemajuan rakyat Hindia. Terlalu mahal bagi pemerintah kolonial untuk mendatangkan pengajar-pengajar dari Eropa yang bayarannya tinggi.

Ya, tanpa basa basi dan langsung hantam kromo, tulisan Darsono memberi ketakutan pada kekuatan pemodal, dalam hal ini pemerintah kolonial saat itu sebagai fasilitator dari ‘setan oeang’.

Serangan Darsono dalam Giftige Waarheidspijlein memang murni serangan terhadap kebijakan-kebijakan kolonial terhadap rakyat tertindas di Hindia.

Salah satu bahan tulisan Darsono adalah Het Process Sneevliet (1917) yang menjadi bacaan wajib kaum pergerakan dan menjadi bacaan terlarang di sekolah-sekolah pemerintah.

Tulisan Het Process Sneevliet menyatakan sumber kemiskinan dimulai oleh merkantilisme VOC (Vereniging Oost indische Compagnie), maskapai dagang Belanda terbesar di Nusantara sebelum abad XIX).

Kemudian Darsono juga menulis Devide et Impera (politik pecah belah) VOC berlanjut dengan monopoli perdagangan dan pungutan pajak yang mencekik rakyat pribumi.

Sementara banyak penguasa lokal lebih memilih diam.

Sebaliknya Darsono memilih membela kaum tertindas dengan melawan ‘setan oeang’.

Baginya, Belanda dan pemilik modal adalah panah beracun. Karena inilah Darsono dijuluki "Si Panah Beracun”.[noviyanto/bersambung]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news