Banten Antara Prospek Dan Realitas

MELALUI Undang-Undang No 23 Tahun 2000, status Karisedenan Banten Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten.


Pertimbangan pendirian Provinsi Banten menurut Undang-undang tersebut, untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan guna menjamin perkembangan dan kemajuan mendatang.

Ini, merupakan pilihan realistis karena Banten mempunyai sejumlah prasyarat untuk maju.

Adanya kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan lapangan kerja, menjadi pertimbangan dasar awal berdirinya provinsi yang terkenal dengan Kiai dan Jawaranya ini.

Belum lagi, invetasi asing yang sudah terlebih dulu ada di Banten.
Ini menjadi modal awal yang bagus.
 
Secercah harapan Banten lebih maju dan bisa menggali potensi daerahnya sendiri, membuncah ditengah ketidak berdayaan provinsi induknya (Jawa Barat) waktu itu.

Apalagi, ruh desentralisasi sebagai bagian dari implementasi otonomi daerah, memberikan peluang bagi provinsi Banten memiliki kemandirian dalam membangun daerahnya.

Selain itu, letak Provinsi Banten yang berada di wilayah ujung barat Pulau Jawa memiliki posisi yang sangat strategis dan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, baik skala lokal, regional, nasional bahkan skala internasional.

Pergerakan barang dan penumpang yang melewati Banten ini cukup besar volumenya, Banten juga kadang menjadi pusat kegiatan nasional, dan hampir setiap Kabupaten dan Kota di Banten mempunyai daya tarik parawisata.

Lebih menariknya Banten sangat dekat dengan ibukota sebagai daerah penyangga. Terdekat ke kota Tangerang Selatan (Tangsel) hanya berjarak 15 Km dari pusat kota.

Seharusnya ini jadi modal Banten bisa bersaing bahkan lebih maju dari daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia.

Bila menilik kondisi teoritis itu, harusnya Provinsi Banten bisa mengoptimalkan kelebihan penunjang itu.

Sayang, menginjak yang ke 17 tahun provinsi Banten sejak di sahkannya, terjadi stagnisasi pembangunan, persoalan antar kabupaten/kota dengan provinsi, serta sejumlah persoalan teknis lainnya, menjadi kendala.

Persoalan hukum juga menjadi sorotan di provinsi ini, beberapa kepala daerah dan pejabat publik masuk hotel prodeo karena pelanggaran birokrasi dan administrasi yang berujung korupsi.

Sektor infrastruktur walau ada perbaikan tapi masih bermasalah, masih nampak, beberapa jalur penghubung terkendala  rusak. Ini, sangat elementer dalam rangka stabilitasi ekonomi rakyat.

Data Badan Pusat Statistk provinsi Banten tahun 2015, kondisi jalan nasional sepanjang 384,79  km berada dalam kondisi baik, 194,32 km dalam kondisi sedang dan sepanjang 213,47 dalam kondisi rusak berat. (Lihat tabel)


Baik


Sedang


Rusak


Rusak Berat


Jumlah


Panjang Jalan Provinsi Menurut Kondisi Jalan (km)

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

206.40

368.06

273.45

539.76

327.42

279.61

354.51

429.42

229.65

384.79

384.79

155.35

278.65

394.96

110.31

375.27

347.90

253.32

215.54

380.21

194.32

194.32

10.50

188.60

220.60

238.94

186.32

142.58

162.26

128.55

174.39

60.31

60.31

-

53.70

-

-

-

-

-

79.38

68.64

213.47

213.47

372.25

889.01

889.01

889.01

889.01

770.09

476.49

852.89

852.89

852.89

852.89






















Sumber BPS
Dari data tersebut fakta bahwa masih banyaknya jalur penghubung yang rusak berat. Padahal pemerintah lewat Presiden Jokowi mencanangkan di era pemerintahannya soal ketersediaan akses jalan.

Akses tol Jakarta-Merak yang kerap rusak menjadi penghambat bagi warga Banten yang bekerja di Jakarta.

Walaupun sudah ada jalur Kereta Api Listrik (KRL) namun itu baru menyasar sampai Kabupaten Lebak saja.

Akibatnya, terjadinya pergeseran pemukiman, ke daerah Serpong, Pamulang, dan Tangerang yang notabene lebih dekat dengan Jakarta.

Migrasi penduduk itu, menyebabkan penumpukan pemukiman wilayah tersebut. Ini tidak sehat bagi penyebaran penduduk di provinsi Banten itu sendiri.
 
Untuk itu, Banten sebagai daerah penyangga ibu kota, harus memperbaiki tata ruang dengan memperbanyak jalur perjalanan ke Jakarta.

Dengan kondisi normal dengan mengendarai mobil, Serang-Jakarta bisa ditempuh kurang dari 1,5 jam. Namun, dengan infrastruktur jalan yang rusak dan bolong-bolong dan ditambah kemacetan perjalanan menjadi sangat lama.

Begitu dari Cilegon-Jakarta dalam kondisi normal bisa ditempuh dengan perjalan 2-2,5 jam perjalanan.

Sementara untuk Lebak-Jakarta perjalanan tercepat ditempuh 1,5 jam dengan memakaiKRL ke Tanah Abang. Kalau pakai mobil dalam kondisi normal bisa sampai 3-4 jaman.

Sektor ini, Pemprov Banten harus mencarikan solusi moda transportasi yang terbaik sehingga penduduk yang bekerja di Jakarta tidak harus migrasi ke daerah terdekat dengan Jakarta.

Untuk angka pengangguran, walau ada persentase kenaikan namun  Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di provinsi Banten masih tinggi atau 9,28 persen pada bulan Agustus 2017.

TPT paling banyak disumbang Kabupaten Serang dengan angka 13 persen atau sekitar 82 ribu orang.

Berbeda dengan Kabupaten Serang, Kota Tangerang Selatan memiliki angka pengangguran terkecil sebesar 6,83 persen, dengan jumlah 48 ribu.

Disamping itu, jumlah pengangguran terbesar berada di Kabupaten Tangerang sebesar 10,57 persen dengan jumlah 175 ribuan.

Adapun kabupaten/kota lainnya antara lain, Pandeglang sebesar 8,30 dengan jumlah 42 ribu, Lebak sebesar 8,88 persen dengan jumlah 52 ribu, Kota Tangerang sebesar 7,16 dengan jumlah 75 ribu, Cilegon sebesar 11,8 persen dengan jumlah 22 ribu, dan Kota Serang Kota Serang sebesar 8,43 dengan jumlah 25 ribu.

Sebenarnya, ada lebih 14.000 perusahaan di Banten. Dengan jumlah segitu banyak, idealnya angka pengangguran menjadi kecil. Sayangnya yang terjadi tidak demikian. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat, Banten berada di posisi empat dengan total pegangguran terbanyak di Indonesia.

Angkanya mencapai 7,75 persen kalau dirata-ratakan secara keselurahan atau setara dengan 462 ribu orang.

Kenapa harus setinggi itu angkanya, padahal berbagai persyaratan sudah terpenuhi provinsi ini. Lantas kemakah pemerintah daerah. Bekerjakah?

Ini merupakan pernyataan dari sejumlah realitas keberadaan provinsi ini, dari berdirinya sampai sekarang, menutup akhir diskusi, seminar maupun lokakarya.

Penilaian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai  daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), semakin memukul. Evaluasi provinsi hasil pemekaran, Kemendagri memberikan skor yang kurang memuaskan.

Ada 67 persen daerah hasil pemekaran yang mendapat nilai tidak memuaskan dari pemerintah pusat. Angka tersebut merupakan rangkuman dari seluruh daerah otonomi baru (DOB) yang terbentuk sejak 2014 lalu.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono menyatakan, hanya 33 persen DOB yang dianggap memenuhi harapan dalam menjalankan fungsi sebagai daerah baru.

Rendahnya jumlah DOB yang dianggap memuaskan membuat pemerintah memperketat pemekaran daerah sejak 2015. Ini menjadi tantangan provinsi Banten di usia yang ke 17.

Segudang kritikan dan penilaian terhadap Provinsi Banten, mengindnetifikasi Banten harus terus berbenah.

Banten punya kesempatan untuk maju. Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Penulis yakin, jika semua stake holder, akedimisi, profesional  dan masyarakat Banten bekerja bersama-sama untuk satu Banten yang lebih maju, harapan itu masih ada.

Historis awal peran kebersamaan stake holder, akademisi, provinsi dan masyarakat Banten dalam pembentukan awal provinsi ini, sehingga provinsi ini di-acc pemerintah pusat dan DPR RI, harusnya juga diterapkan dalam membangun Provinsi ini.

Provinsi Banten bukan tempat cawe-cawe. Provinsi ini, milik kita bersama. Slogan dari rakyat, untuk rakyat, sudah cukup menggambarkan bahwa semuanya berhak mendapat yang layak dari bagian masyarakat Banten.

Tak boleh lagi oligarki kekuasaan tumbuh di daerah ini. Semua harus maju bersama.

Ini pekerjaan rumah, beberapa persoalan krusial yang harus segera diatasi. Persoalan kemiskinan dan sosial, pendidikan dan kesehatan, pemanfaatn dan inovasi ekonomi lokal yang menjadi basis masyarakat lokal, menyelesaikan persoalan infrastruktur terkait sarana dan prasaran, penataan tata ruang dan pengeloaan sumber daya alam,pengembangan kawasan dan yang paling penting adalah pemerintahan yang baik dan bersih.

Sejatinya, pelaksanaan pembangunan daerah hakekatnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan aparatur pemerintahan yang baik dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, menyelenggarakan tugas pemerintahan secara bersih.

Semoga kedepan provinsi Banten ini menjadi lebih maju. Wallahu’alam Bis Shawab.

Penulis adalah Redaktur Senior Rakyat Merdeka Online (RMOL.co) dan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Pemilu