BAGONG NJAMBAL (23)
SEMAR, Togog dan Bilung kini saling berhadap-hadapan. Namun tidak dalam posisi perang. Perang menguras tenaga mereka.
Mereka saling berpandang-pandangan. Masih tidak percaya dengan yang barusan terjadi.
Semar tidak percaya Ratu Kembar adalah jelmaan Togog dan Bilung. Begitu sebaliknya, Togog tidak percaya dia beradu kesaktian dengan Surya Dadari yang tak lain saudaranya sendiri Semar.
“Eh, Kakang Togog sama Bilung!” Sapa Semar.
“Kowe toh, Mar!” Disahuti Togog.
“Siapa yang bikin wujudmu?” Tanya Semar.
“(Betari) Durga,” jawabnya singkat.
“Panusmaning jajalanat sukertaning bawana iblis, Durga cari perkara lagi,” umpat Semar.
“Lha kowe sopo Mar yang macaki?” Togog balik bertanya.
“Sanghyang Wenang,” balas Semar.
“Berarti kowe sudah sampai Ondar Andir Bawana?”
“Eh iya, Kakang Togog,” Seru Semar.
“Ladalah kok bisa begitu Sanghyang Wenang,” heran Togog tidak percaya.
Tidak lama Kresna dan Bagong datang. Melihat Togog dan Bilung, Bagong langsung menghaturkan sungkem.
“Siwo Togog…Siwo Bilung…” kata Bagong.
“Iya Bagong. Ini aku!”
“Jadi yang tadi Ratu Kembar Siwo Togog?” Bagong bertanya.
“Iya, Gong!” sahutnya ringkas.
“Amuk suramerata jaya merata, Siwo Togog tak suwek-suwek cangkeme!” Teriak Bagong.
“Sik, sik, Gong. Cangkeme wong tuwo kok disuwek.”
“Lha Siwo Togog menjengkelkan. Jadi Ratu Kembar saja sudah nggeleleng. Bikin ontran-ontran mayapada. Ngingerke kiblat manusia.”
“Aku ada yang menyuruh, Gong!”
“Siapa?”
“Betari Durga.”
“Jagat dewa batara kocap kacarita dikei kecap dikei merica, Siwo Togog tak suwek-suwek cangkeme!”
Plokk!
Tiba-tiba Semar memukul kepala Bagong dari belakang hingga nyaris terjungkal.
“Setan. Orangtua dibuat mainan. Bagong minggir. Aku mau ngomong sama Kakang Togog?”
“Mer, Mer, ojo nesu toh!”
“Mar…Mer…Mar…Mer…anak setan, sama bapak nggak sopan,” tukas Semar.
Bagong tertawa dan minggir alon-alon. Mempersilahkan Semar berbicara kembali dengan Togog.
“Eh, Kakang Togog. Ada kahanan apa kok sampeyan mau didandani sama Durga?”
“Aku nggak punya gawean, Mar. Pas ketemu Durga ditawari kerjaan. Mau dijadikan ratu. Tugasnya sepele. Cuma mengubah kiblat manusia. Itu saja, Mar,” ujar Togog.
“Akibat kiblat manusia diingerke, kahanan praja Ngamarta jadi rusak. Dwarawati rusak. Mandura rusak. Papan-papan pawiyatan ditinggalkan. Yang ada cuma papan-papan maksiat. Semua akibat ulah Kakang Togog,” kata Semar.
“Ya pangapuramu sing akeh Mar,” Togog minta maaf. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya telah banyak menyusahkan orang.
“Eh, Kakang Togog ayo muleh. Jangan kembali lagi,” usir Semar.
Togog dan Bilung patuh perintah Semar. Keduanya beranjak. Memalingkan badan meninggalkan Semar, Bagong dan Kresna. Sayup-sayup keduanya berbicara lirih sembari mengeluh.
“Kita nganggur lagi, Tog!” Seru Bilung.
“Kita cari majikan dari ratu seberang saja. Ruwet kalau di sini, ketemu Semar,” sahut Togog.
Sepeninggal Togog dan Bilung, Kresna mendekati Semar.
“Kakang Semar, terus sekarang bagaimana?”
“Eh, ndoro, sekarang ini terserah bagaimana saja. Yang jelas Semar mau bangun kahyangan,” jawab Semar.
“Apa Kakang Semar mau menyamai papan suralaya. Nanti dewa-dewa pasti marah!”
“Eh Prabu Dwarawati, Semar tidak bangun kahyangan seperti papan magrong-magrong. Tapi Semar mau negara dibangun mirip kahyangan. Di kahyangan tidak ada orang plirik-plirikan. Tidak ada orang tantang-tantangan. Tidak ada orang regejegan. Di kahyangan yang ada hanya kedamaian, ketentraman, hidup rukun. Di situ nikmat masyarakat dapat dirasakan. Semua cipta karya karsa menjadi ketunggalan. Hangangkat karya praja jadi kawula yang apik lan becik. Moral kawula itu, Ndoro, yang mau Semar bangun.”
“Ladalah elok tenan!” Prabu Dwarawati mengamini.
Semar meneruskan kata-katanya, “Meski kawula beda panembah, beda warna kulit, beda tata bahasa, tapi tetap ruket manunggal menjadi satu. Nyawiji jadi kawula negara Ngamarta. Mula-mula Semar mau bangun papan pasinaon, papan panembah, papan becik. Kalau bisa Semar ingin menghilangkan papan maksiat. Papan-papan ibadah mau Semar perbanyak. Supaya kawula podo eling sama gusti Sing Makarya Jagat, supaya podo eling sama panembahe.”
“Apa ada syaratnya kakang?” Tanya Prabu Dwarawati.
“Harus ada Jamus Kalimasada sebagai syarat. Jamus Kalimasada dan Pandawa harus dihadirkan,” tutur Semar.
“Apa harus itu syaratnya?” Kresna memastikan.
“Eh, Ndoro. Untuk bangun kahyangan itu harus pepek (lengkap). Jamus Kalimasada dan Pandawa bukan sekedar simbol, tapi harapan bagi umat manusia. Kahyangan bisa dibangun jika pemimpin dan kawula manunggal. Ada enam syarat pemimpin manunggal dengan kawula, yakni tata, titi, titis, tetes, tutus dan tatas.”
“Tata itu pemimpin harus pandai menata kawula. Pandai membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan berpihak pada konglomerat. Titi, seorang pemimpin harus meniti, teliti dan cermat. Harus dapat meneliti kebutuhan rakyat, itulah yang nanti dibuat pijakan. Titis, pemimpin harus dapat menjalankan kebijakan yang dibuatnya dengan baik sehingga dapat diikuti oleh kawula. Jika aturan dibuat asal-asalan, maka kawula pasti akan menentang. Jangan heran jika nanti ada kawula yang berani melawan ratu.”
“Tutus adalah tali. Seorang pemimpin bisa menjadi simpul bagi kawula. Apa yang menjadi keluhan kawula harus didengar pemimpin. Tetes, segala ucapan pemimpin harus bisa diwujudkan. Bukan sekedar janji. Tapi mewujudkan janji-janjinya pada rakyat hingga kasembadan. Dengan begitu pemimpin akan dipercaya rakyat. Menjadi pemimpin kadasih. Tatas, meski negara Ngamarta banyak perkara, banyak lelakon, pemimpin jangan gampang marah, jangan gampang ngumbar angkara murka, jangan gampang menyalahkan satu dengan lain. Dewa tidak akan turun menyelesaikan masalah, tapi manusialah yang harus pandai-pandai mencari solusi dari lelakon tersebut,” terang Semar.
“Jagat dewa batara,” Kresna mengelus dada mendengar penuturan Semar.
“Bagaimana ini Bagong?” Kresna menoleh ke Bagong seperti meminta pendapat.
“Sinuwun bilang saja sama bapak apa adanya,” Bagong mempersilahkan Kresna.
“Eh, Bagong, ada apa kok sajake bingung?” Semar bertanya.
“Kakang Semar,” panggil Kresna.
“Eh, saya Ndoro!”
“Saat ini Pandawa tidak punya Jamus Kalimasada. Sebab Jamus Kalimasada sudah oncat dari Ngamarta,” cerita Kresna.
“Eh, kok bisa hilang?”
“Tidak tahu. Yang jelas Pandawa tidak memiliki Jamus Kalimasada.”
Sejenak Semar memejamkan mata. Menutup panca indera. Jagat menjadi hening. Mencoba mencari tahu jawaban atas semua permasalahan. Setelah itu Semar membuka mata dan memandang Basudewa Kresna.
“Eh, Prabu Dwarawati sudah tahu jawabannya?”
“Iya, Kakang Semar.”
Keduanya seolah-olah sudah manjing satu sama lain. Sudah bicara dari hati ke hati. Sudah tahu apa yang harus diperbuat.
“Kalau begitu Semar pamit dulu ke Karangkadembel.”
Hanya dalam sekejab mata Semar sirna dari hadapan Kresna dan Bagong.
“Ladalah, Mer…Mer…kok hilang lagi,” Bagong celingukan. Masih bingung dengan keadaan yang baru saja terjadi.
Bagong menoleh ke Kresna. Mata Bagong yang seperti telur mata sapi itu menatap tajam seolah-olah hendak mencari tahu jawabannya.
“Ampun sinuwun, apa maksud Semar dengan Prabu Dwarawati sudah tahu jawabannya?” Tanya Bagong.
Kresna balik menatap Bagong dengan penuh kasih.
“Yang dimaksud bapakmu tadi Wegeduwelbeh,” kata Kresna sembari beranjak pergi diiringi Bagong yang masih terheran-heran.
“Welgeduwelbeh lagi…Welgeduwelbeh lagi…ratu pekok itu, ratu gombal mukio, ratu nggedabrus, ratu tidak peduli kawula, ratu haus kekuasaan, ratu pencitraan. Terus apa kaitannya dengan Jamus Kalimasada?” Heran Bagong.
Noviyanto Aji
Wartawan RMOLJatim
ikuti terus update berita rmoljatim di google news