Menggugat Urgensi Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Heru Widayanto
Heru Widayanto

MESKIPUN menuai banyak pro dan kontra, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja.

Diwarnai aksi penolakan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan walk out Fraksi Demokrat, Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsudin pada tanggal 5 Oktober 2020 tetap meloloskan undang-undang yang sejak awal diusung sudah mendapatkan penolakan keras dari kalangan buruh, aktivis lingkungan, dan pemerhati Hak Asasi Manusia.

Klaster Ketenagakerjaan pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi topik utama yang ditentang sebagian masyarakat. Dalam hal ini adalah berbagai Serikat Pekerja di Indonesia.

Menurut kalangan buruh, banyak pasal-pasal pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan kalangan buruh. Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (PD SP RTMM) Provinsi Jawa Timur misalnya, mencatat ada sembilan hal pokok yang dianggap kontroversi dan mengancam kesejahteraan buruh di masa mendatang, di antaranya:

  • Hilangnya upah minimum.
  • Berkurangnya pesangon.
  • Menyuburkan praktek penggunakan tenaga kerja alih daya (outsourcing).
  • Memperluas penyediaan lapangan kerja untuk Tenaga Kerja Asing (TKA).
  • Jaminan sosial yang terancam hilang.
  • Hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha nakal.
  • Pemutusan Hubungan Kerja dipermudah.
  • Waktu bekerja yang eksploitatif.
  • Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diperluas.

Urgensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Masa Pandemi Pemerintah dan DPR RI sebenarnya sudah sepakat menunda pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ketika Indonesia ikut terlibas pandemi global COVID-19 sekitar tujuh bulan silam.

Tetapi setelah memasuki era kenormalan baru—meskipun beberapa daerah seperti DKI Jakarta kembali menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mereka kembali melanjutkannya. Bahkan terkesan mengesampingkan penolakan kalangan buruh.

Tak kunjung menurunnya angka pertambahan pasien terkonfirmasi COVID-19, juga belum ditemukannya terobosan untuk memulihkan perekonomian yang sedang terancam resesi, maka urgensi pembahasan dan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja patut dipertanyakan.

Ketika hampir semua negara di belahan dunia sedang fokus dalam pembahasan langkah-langkah penangan COVID-19 dan pemulihan perekonomian akibat dampak pandemi global, tentu pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja sesungguhnya menjadi agenda sekunder di lembaga legislatif.

Tidak mengherankan jika kalangan buruh menganggap pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja itu memang sarat kepentingan kalangan tertentu.

Lunturnya Legitimasi Lembaga Legislatif di Mata Buruh

Meskipun draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja diusung dan diusulkan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia, tetapi pembahasan dan pengesahannya berada dalam kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga legislatif.

Disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah badai penolakan buruh, mau tidak mau akan berimbas kepada elektabilitas anggota parlemen.

Secara moral, tingkat kepercayaan rakyat (baca: buruh) kepada wakil-wakil mereka yang ada di DPR RI bisa dipastikan turun drastis. Semakin luntur pula legitimasi lembaga legislatif itu di mata sebagian konstituennya.

Upaya Pemerintah Meredam Gejolak

Menyikapi pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja, Menteri Tenaga Kerja  Republik Indonesia, Ida Fauziyah menulis surat terbuka yang dipublikasikan tanggal 5 Oktober 2020.

Dalam surat yang berjudul Hati Saya Bersama Mereka yang Bekerja dan yang Masih Menganggur itu, Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa ia memahami kekecewaan dan ketidakpuasan teman-teman buruh. Pemerintah selama ini berusaha menjaga keseimbangan antara yang sudah bekerja dengan memberi kesempatan kerja kepada jutaan orang yang masih menganggur, yang tak punya penghasilan dan kebanggaan.

Pada frasa memberi kesempatan kerja kepada jutaan orang, Menteri Tenaga Kerja seperti ingin menegaskan bahwa mempermudah masuknya investor adalah salah satu cara untuk membuka lapangan kerja baru, sehingga jutaan orang yang masih menganggur itu bisa terserap. Dengan cara melanjutkan pembahasan dan segera megesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Menteri Tenaga Kerja juga menyebutkan pada bagian akhir suratnya, akan kembali membuka pintu dialog kepada teman-teman buruh. Sebagai solusi atas tidak terakomodirnya beberapa aspirasi mereka saat melakukan pembahasan tripartit tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kita apresiasi upaya Menteri Tenaga Kerja untuk meredam gejolak buruh yang rencananya akan melakukan aksi penyampaian pendapat di muka umum dan mogok kerja secara nasional pada tanggal 8 Oktober 2020. Tetapi sepertinya tidak akan mampu menghibur hati jutaan buruh se-Indonesia yang terlanjur terkoyak. Surat Terbuka itu juga terkesan tak lebih dari sekadar retorika dan tidak memiliki substansi keberpihakan pada buruh.

Menteri Tenaga Kerja yang menjadi representasi pemerintah hendaknya bisa membuktikan, bukan sekadar menjanjikan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini benar-benar mewakili kepentingan bersama. Atas azas keadilan di atas segala-galanya tentunya. Yakinkan rakyat, kaum buruh, bahwa klaster ketenagakerjaan yang ada dalam undang-undang itu tidak menguntungkan kalangan investor semata.

Setelah undang-undang ini berlaku, pemerintah harus bisa menjadi pengayom dan pelindung hak-hak buruh, tanpa menghambat upaya masuk investor-investor baru yang selama ini mereka gaungkan sebagai salah satu alasan kenapa RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus segera disahkan.

Pemerintah juga dituntut bisa mengambil langkah-langkah strategis, jika dalam pelaksanaannya nanti, undang-undang ini memang menimbulkan banyak gejolak, ketimpangan, dan berbagai masalah ketidakharmonisan dalam hubungan industrial antara pengusaha dan buruh.

Judicial Review UU Omnibus Law

Rencana aksi penyampaian pendapat di muka umum dan mogok kerja secara nasional yang sedianya akan dilakukan serentak oleh berbagai elemen Serikat Pekerja se-Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2020 terkesan sia-sia. Toh RUU Omnibus Law yang selama ini mereka tolak sudah disahkan menjadi Undang-Undang. Wakil-wakil mereka yang kini duduk di kursi parlemen seolah-olah tak ingin didahului aksi buruh yang notabene adalah konstituennya.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, sekarang tinggal bagaimana menyikapi pengesahan itu. Masih ada upaya terakhir yang bisa dilakukan buruh untuk menganulir UU Omnibus Law. Minimal menghapus pasal-pasal karet yang dianggap merugikan dan mengebiri hak-hak buruh.

Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi harus ditempuh. Tak ada hal yang mustahil di negeri ini. UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah buatan manusia. Sebagaimana kodrat pembuatnya, ia bisa saja memiliki cela dan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai keadilan. Maka tak ada salahnya mengajukan judicial review.

Berbagai organisasi serikat pekerja yang ada di Indonesia hendaknya segera merapatkan barisan, menyatukan visi dan misi, kemudian membentuk tim yang bertugas menempuh upaya jalur hukum terakhir.

Iya, asa itu masih ada.