Guru Non Muslim Mengajar di Madrasah, Gus Yasin: Apa yang Ada di Pikiran Bapak Menteri...

Wakil Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) Tjetjep Muhammad Yasin/Ist
Wakil Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) Tjetjep Muhammad Yasin/Ist

Belum lam ini viral seorang guru CPNS di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tana Toraja yang beragama non-Muslim. Guru tersebut bernama Eti Kurniawati dan mengajar mata pelajaran geografi Kini, di masyarakat terjadi perdebatan.


Wakil Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) Tjetjep Muhammad Yasin angkat bicara terkait polemik ini.

Menurutnya, kebijakan pemerintah menempatkan guru non-Muslim di madrasah sangat berbahaya. Sebab hal ini sama saja membenturkan perbedaan. 

"Setahu saya yang awam, madrasah adalah tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu umum dan agama beserta uswahnya. Sekolah madrasah itu didirikan oleh para ulama untuk mencetak pelajar di bidang agama. Ini berbeda dengan sekolah umum. Jika ada guru non-Muslim diperbolehkan mengajar di madrasah meskipun di pelajaran umum tetap saja tidak boleh. Kecuali dalam kondisi darurat. Seperti jika di suatu daerah jumlah Muslim minoritas dan tidak ada pengajar Muslim yang mumpuni soal pelajaran tersebut," terang Gus Yasin, sapaannya pada Kantor Berita RMOLJatim, Kamis (4/2).

Karena itu Gus Yasin mempertanyakan hal tersebut pada Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas terkait guru nonMuslim mengajar di madrasah.

"Apa yang Bapak Menteri rasakan kalau ada guru madrasah mengenakan simbol agamanya di lingkungan madrasah dan dilihat oleh muridnya? Apa yang ada dalam pikiran Bapak Menteri apabila di saat tiba waktu sholat di madrasah ada guru tidak sholat dan dilihat oleh teman sesama guru dan muridnya? Apa pendapat Bapak Menteri manakala jam mengajar murid melihat ada gurunya yang sebelum mengajar melihat gurunya berdoa dengan tata cara agamanya?" Tanya Gus Yasin.

Ditambahkan Gus Yasin, yang namanya Islam itu selalu toleransi pada semua agama. Yang namanya perbedaan selalu membawa rahmat. Namun perbedaan itu tetap ada koridornya. 

“Kita bisa bekerja bersama, berolahraga bersama, beraktivitas bersama. Toleransi itu yang kita jaga. Tapi untuk urusan agama itu sudah keyakinan, ketahuidan. Urusannya sendiri-sendiri. Jangan sampai agama itu dipahami secara gado-gado, bahwa semua agama sama. Akhirnya tidak ada prinsip dalam ketauhidan. Sehingga agama tidak penting lagi. Ini yang berbahaya,” tandasnya.

Lebih lanjut Gus Yasin, jika pemerintah berniat menjaga pluralisme dan keberagaman, maka  tidak perlu se-ekstrem itu.