UU ITE yang Membingungkan Sering Dipakai Senjata, Staf Ahli Kemeninfo Sepakat Untuk Revisi

Diskusi UU ITE / ist
Diskusi UU ITE / ist

Pada Senin (15/3) telah diadakan diskusi oleh DPK GMNI FISIP UNAIR dengan tajuk “Demokrasi Dalam Genggaman UU ITE”. 


Diskusi tersebut mengundang beberapa narasumber yang memang sudah cukup ahli dalam menganalisis berbagai permasalahan yang ada di dalam pasal-pasal UU ITE. Narasumber tersebut ada Prof. Dr. Drs. Henry Subiakto selaku Staff Ahli Kemenkominfo, Sundari Sudjianto selaku pengamat media, dan yang terakhir ada Edwin Fajerial selaku Jurnalis IDN Times. 

Tujuan dari diadakannya diskusi ini adalah untuk mengkritisi berbagai permasalahan yang berkaitan erat dengan UU ITE, karena UU ITE sendiri memuat pasal-pasal yang dianggap karet oleh masyarakat, sehingga pasal ini menimbulkan berbagai perspektif yang pada akhirnya menimbulkan polemik besar. 

Dalam kesempatannya, Sundari Sudjianto  mengatakan bahwa masyarakat sering menganggap jika pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE merupakan pasal karet. Sebab, di dalamnya terdapat banyak pengertian yang multitafsir, sehingga hal itu membuat masyarakat menjadi bingung.

“Di dalam UU ITE sendiri pasti yang sering dilihat masyarakat adalah pasal-pasal tentang penghinaan, pasal-pasal multitafsir yang mana sering menjadi polemik bagi masyarakat. Ada 3 pasal yang sering menjadi perdebatan bagi masyarakat, pasal tersebut adalah pasal 27 sampai pasal 29. Pasal-pasal ini yang sering menjadi polemik bagi masyarakat karena di dalamnya terdapat pengertian yang multitafsir”, ujar Sundari Sudjianto, dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2006 itu juga mengungkapkan bahwa sebelum ada UU ITE sebenarnya juga sudah ada undang-undang yang juga membahas masalah kebebasan berpendapat untuk masyarakat tetapi sama saja undang-undang tersebut memiliki substansi yang multitafsir.

“Sebenarnya sebelum ada UU ITE sudah ada undang-undang yang membahas masalah kebebasan berpendapat yaitu ada KUHP dan Undang-Undang penyiaran tetapi sama saja pasal-pasal di dalamnya multitafsir atau bisa dibilang pasal-pasal di dalamnya merupakan pasal karet," tambah Sundari Sudjianto.

Tidak ketinggalan Edwin Fajerial dari jurnalis, memberikan pandangannya tentang pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE. Ia mengatakan bahwa beberapa pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE perlu diberi penjelasan lebih rinci untuk mempertegas narasi yang ada di dalam isi pasal

“Beberapa pasal memang harus direvisi, butuh buku panduan resmi untuk memperjelas narasi yang ada di dalam pasal-pasal itu biar orang tidak salah persepsi. Contohnya saja di dalam isi pasal 29 tentang ancaman kekerasan itu masih banyak pengertian-pengertian yang abstrak, tetapi pasal ini juga sangat berbahaya karena bisa memidanakan setiap orang," ucap Edwin Fajerial.

Setelah berbagai permasalahan yang diungkapkan oleh dua narasumber utama, kini giliran Prof. Dr. Drs. Henry Subiakto, selaku orang yang turut serta dalam membuat UU ITE ini menegaskan jika UU ITE itu tidak bersalah tetapi pihak yang bersalah adalah orang-orang yang keliru mempersepsikan pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE.

“Jika ditelisik lebih jauh lagi yang salah itu bukan UU ITE-nya tetapi yang salah adalah orang-orang yang keliru mempersepsikan UU ITE ini sehingga mereka sering membuat laporan ke pihak kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik dan sebagainya. Ini tindakan yang salah, karena mereka memanfaatkan UU ITE ini sebagai senjata mereka untuk melawan orang yang tidak mereka sukai. Tetapi memang butuh penjelasan secara lebih rinci lagi terhadap isi-isi di dalam UU ITE ini agar tindakan seperti itu terulang kembali”, ujar Prof. Henry.

Ia sepakat jika UU ITE direvisi tetapi tidak untuk tahun 2021, karena UU ITE sendiri belum masuk di PROLEGNAS tahun 2021. 

Sudah ada 33 undang-undang yang mengantri untuk dimasukkan ke dalam PROLEGNAS sehingga UU ITE tidak bisa PROLEGNAS di tahun 2021. Beliau juga menegaskan bahwa sudah ada draft penjelasan yang lebih rinci untuk pasal-pasal UU ITE yang dibuatnya sendiri dan nanti akan diserahkan kepada pihak pemerintah untuk lebih diperjelas lagi.

 “UU ITE bukan kitab suci jadi itu masih bisa direvisi, saya sepakat untuk direvisi tetapi untuk tahun ini sendiri UU ITE belum masuk PROLEGNAS 2021 sehingga tidak bisa direvisi karena sudah ada 33 undang-undang yang mengantri untuk masuk ke dalam daftar PROLEGNAS 2021. Tetapi, saya sendiri sudah membuat draft yang nantinya akan saya berikan kepada pemerintah untuk dijadikan pedoman bagi beberapa pasal di UU ITE agar penjelasannya lebih mudah dipahami oleh banyak orang," tegas Prof. Henry.


ikuti update rmoljatim di google news