Dibanding Naikan PPN, Sri Mulyani Disarankan Bikin Tax Amnesty Jilid II

Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Darmadi Durianto/Net
Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Darmadi Durianto/Net

Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh Kementerian Keuangan tak habis-habisnya mendapat kritikan.


Seperti disampaikan anggota DPR RI Fraksi PDIP Darmadi Durianto, rencana tersebut dinilai tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Pasalnya, kenaikan tarif PPN tersebut dapat berefek negatif terhadap daya beli masyarakat, terlebih saat ini pandemi Covid-19 turut berdampak pada perekonomian Indonesia.

"Kita minta dipikirkan kembali. Kenaikan PPN bisa memicu kenaikan harga yang akan memberatkan masyarakat menengah bawah," kata Darmadi kepada wartawan, Selasa (11/5).

Lebih parahnya, kenaikan PPN yang direncanakan akan berlaku mulai tahun 2022 mendatang dikhawatirkan berdampak pada turunnya penjualan. Imbasnya, pendapatan pajak juga akan menurun.

"Akhirnya, daya beli masyarakat akan tergerus," sambungnya.

Mestinya, kata dia, Menkeu memaksimalkan opsi lain yang sudah ada sebelumnya, bila perlu membuat regulasi baru untuk menggenjot penerimaan pajak.

"Untuk mendapatkan dana tambahan dari pajak bisa buat tax amnesty jilid 2, supaya bisa menarik dana. Sejauh ini estimasi yang melakukan tax amnesty jilid 1 masih sekitar 30%. Artinya ini belum maksimal," tuturnya.

Berdasarkan data yang ada, skema tax amnesty jauh lebih memungkinkan dalam menggenjot penerimaan negara ketimbang opsi lainnya, semisal PPN ini.

Ia pun membeberkan data per Maret 2017, di mana jumlah wajib pajak yang ikut program pengampunan pajak hanya sekitaran 900 ribuan orang. Padahal, kata dia, pemilik NPWP sekitar 32,7 juta orang.

"Jika dimaksimalkan, maka potensi penerimaan pajak dari jumlah NPWP yang ada saja dapat berkontribusi cukup besar terhadap penerimaan negara dari pajak," tutup Darmadi.