Ketika Pertamina Jadi Tumbal Sawit dan Batubara, Sampai Kapan Bertahan?

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng/Net
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng/Net

BATUBARA dan sawit sekarang dimusuhi di mana-mana. Kedua komoditi ini telah dipandang sebagai biang kerok kerusakan lingkungan, terutama sekali deforestasi atau penggundulan hutan.

Komoditi sawit dan batubara ini telah kehilangan pasar di negara-negara Eropa dan dunia lainnya. Terutama sejak kesepakatan perubahan iklim di glasgow Inggris maka ke depan sawit dan batubara akan dihentikan sama sekali. Mungkin pasarnya tinggal China dan India.

Mereka sawit dan Batubara  tidak boleh lagi mendapatkan dukungan dari negara atau fiskal , tidak boleh lagi mendapatkan pembiayaan dari bank, tidak boleh lagi mendapatkan dukungan dari lembaga keuangan internasional.

Namun Indonesia, batubara dan sawit tampaknya akan melawan sampai mati. Pemerintahan Jokowi tampaknya akan berdiri dibelakang sawit dan Batubara. Ini memang kontradiksi karena Jokowi adalah Presiden G20 dan salah satu pimpinan COP 26 Inggris.

Namun kalau memang benar-bandar sawit batubara bersama Jokowi mau melawan agenda global G20 dan climate change, maka itu bisa dilakukan dengan syarat sebagai berikut:

1. Ekonomi Indonesia sepenuhnya bersandar pada pasar dalam negeri dan berhenti ekspor apapun termasuk Batubara dan sawit karena akan terkena tax carbon 250 dolar per ton.

2. Ekonomi Indonesia bersandar pada keuangan dalam negeri dan tidak mengandalkan fasilitas utang yang dipromosikan melalui isue climate change. Sementara uang ke depan hanya akan mengalir dari pendanaan climate change atau perubahan iklim.

3. APBN dan perusahaan BUMN mampu hidup dari bank bank nasional dan tidak mengharapkan pembiayaan asing. Jadi APBN dan BUMN akan berhenti berutang pada asing.

Jika memang Jokowi dan para bandar batubara dan bandar sawit  bisa melakukan ketiga hal di atas, maka batubara akan tetap jaya di dalam negeri Indonesia. Batubara dan sawit tetap akan menjadi oligarki paling kuat di tanah air.

Apalagi sekarang, sebagian masalah mereka telah berhasil dikirim atau dibebankan kepada Pertamina melalui gasifikasi batubara dan solarisasi sawit, maka pasar batubara dan sawit makin mantap. Karena Pertamina dipaksa membeli 10 juta ton minyak sawit untuk dicampur dengan solar dan Pertamina harus membeli puluhan juta ton batubara.

Memang konsekuensinya Pertamina sebagai konsumen bahan bakar kotor akan susah mendapatkan fasilitas keuangan. Namun sisi lain Pertamina tampaknya akan  bersandar pada keuangan pengusaha sawit dan batubara, sebagaimana PLN sekarang yang sepenuhnya bersatu dengan bandar batubara.

Sisi lain bank bank nasional sama sekali tidak peduli dengan isu iklim atau COP 26. Jadi bank-bank nasional terutama bank BUMN masih bisa disedot dananya bagi eksploitasi energi primer batubara dan sawit.

Tidak peduli dunia mau ngomong apa. Anjing menggonggong, PLN dan Pertamina tetap berlalu. Karena presiden G20 Jokowi dan salah satu pimpinan COP 26 Jokowi dan pasukannya masih mendukung sawit dan batubara. Sepp lah.

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia