KPK Yakin Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Kasus Korupsi Helikopter AW-101

Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara KPK, Ali Fikri/RMOL
Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara KPK, Ali Fikri/RMOL

KPK optimistis Majelis Hakim akan menolak gugatan praperadilan penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara (AU). Sebab, penyidikan itu diyakini telah sesuai prosedur aturan hukum yang berlaku.


Hal itu disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri yang membenarkan adanya pihak yang terkait dengan perkara mengajukan gugatan praperadilan melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

"KPK tentu siap menghadapinya," ujar Ali kepada wartawan, Rabu (16/2) sore, dilansir Kantor Berita Politik RMOL.

Karena kata Ali, KPK memastikan bahwa seluruh proses penyidikan perkara tersebut telah sesuai prosedur aturan hukum yang berlaku.

"Sehingga kami optimis gugatan dimaksud akan ditolak pengadilan," pungkas Ali.

Pihak yang melakukan gugatan yaitu, Jhon Irfan Kenway selaku pemohon yang telah mendaftarkan gugatan praperadilan pada Rabu (2/2) dengan klasifikasi perkara yaitu, sah atau tidaknya penetapan tersangka. Permohonan praperadilan itu teregistrasi dengan nomor surat 10/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL.

Dalam petitum permohonan, Jhon Irfan Kenway meminta hakim menyatakan tidak sah pemblokiran aset pemohon yang dilakukan oleh termohon dalam hal ini KPK.

Selanjutnya, memerintahkan termohon untuk mencabut surat permintaan blokir nomor R-1032/23/11/2017 dan surat nomor R-1032/23/11/2017 tertanggal 13 November 2017 dan/atau surat pemblokiran lainnya terhadap seluruh aset pemohon dan aset ibu kandung pemohon.

Kemudian, menyatakan tidak sah pemblokiran uang negara sebesar Rp 139,43 miliar pada rekening ascroo acount PT Diratama Jaya Mandiri.

Terakhir, memerintahkan termohon untuk mencabut pemblokiran uang negara sebesar Rp 139,43 miliar pada rekening ascroo acount PT Diratama Jaya Mandiri untuk dan tetap dikuasai oleh pemegang kas TNI Angkatan Udara.

Selain itu, dalam pokok perkara petitum permohonan yaitu, Jhon Irfan meminta Hakim untuk menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya.

Selanjutnya, menyatakan tetap mempertahankan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah, karena lama status pemohon sebagai tersangka sudah lampaui dua tahun dan tersangka penyelenggara negara sudah dihentikan penyidikannya.

Sebelumnya, KPK mengabarkan bahwa Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI telah menghentikan penyidikan lima tersangka kasus dugaan korupsi helikopter AW-101.

Namun demikian, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan pihaknya akan menelusuri kasus penghentian penyidikan kasus itu.

Dalam perkara ini awalnya, KPK menemukan dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101 periode Mei 2017. Panglima TNI saat itu yakni Jenderal Gator Nurmantyo menyebutkan adanya potensi kerugian negara senilai Rp 220 miliar dalam pembelian helikopter tersebut.

KPK awalnya menetapkan empat pejabat dari unsur militer sebagai tersangka setelah bekerjasama dengan Puspom TNI. Keempatnya yaitu, Fachry Adamy, Letkol TNI AU (Adm) WW, Pelda SS, dan Kolonel (Purn) FTS. Keempatnya kemudian diproses oleh Puspom TNI.

Seiring berjalannya waktu, KPK kembali menetapkan satu orang sebagai tersangka dari unsur swasta atas nama Irfan Kurnia Saleh pada 16 Juni 2017. Namun, hingga saat ini Irfan belum ditahan.

Dalam pembelian helikopter ini, PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen helikopter AW-101 senilai Rp 514 miliar.

Namun, pada Februari 2016 setelah menekan kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jual helikopter menjadi Rp 738 miliar.

Kemudian, Puspom TNI menetapkan seorang tersangka lainnya, yakni Marsekal Muda TNI SB. Kerjasama antara KPK dengan TNI, dilakukan penyitaan uang sebesar Rp 7,3 miliar dari salah satu tersangka Letkol TNI AU (Adm) WW.