Konsekuensi Tiga DOB Provinsi Papua bagi Masyarakat Adat

Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi/RMOL
Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi/RMOL

DPR mengesahkan tiga Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (UU DOB) di Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Ketiga DOB ini dibentuk menyusul pengesahan revisi UU Otonomi Khusus Papua.

Legislasi empat undang undang ini (UU Otsus dan UU DOB) tampaknya berproses cepat di DPR. Namun, jika dirunut ke belakang, isu ini telah bergulir sejak 2019.

Secara politik, aspirasi pemekaran daerah muncul sejak September 2019 dimana 61 tokoh Papua menyampaikan langsung tuntutannya kepada Presiden RI.

Pada 2021, tepat 20 tahun Otonomi Khusus Papua, disahkanlah Revisi UU Otsus Papua yang didalamnya memuat sejumlah pasal ‘terobosan’ yang memberikan kekhususan proses pembentukan UU DOB di Papua, yaitu secara top down dan bottom up.

Tak hanya rakyat Papua yang dapat mengusulkan pemekaran dengan Persetujuan Majlis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua, DPR dan Pemerintah juga dapat mengusulkan pemekaran.

RUU DOB usulan DPR dan Pemerintah dapat langsung disahkan menjadi undang-undang tanpa melalui masa persiapan tiga tahun DOB sebagaimana diatur dalam UU Pemerintah daerah.

DOB di Papua sebagai bentuk perwujudan kebijakan pendekatan politik kesejahteraan di Papua. Mengingat, pada 2022 Indeks Pembangunan Manusia Papua pada tingkat terendah secara nasional, yaitu, Provinsi Papua Barat (65,26) dan Provinsi Papua (60,62) (BPS: 2022). Sementara, rata-rata alokasi dana untuk pendidikan di Papua di bawah 30 persen (Bappenas: 2021). Oleh karena itu, politik kesejahteraan adalah satu pendekatan yang dinilai sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua.

DOB diharapkan akan mampu untuk memperkecil ruang kendali, mendekatkan pelayanan publik, dan memperluas distribusi anggaran negara sehingga kesejahteraan bisa tercapai. Namun demikian, DPR masih perlu bekerja keras untuk mengawasi berbagai persoalan seperti tata kelola anggaran, kontrol kebijakan dan isu separatisme.

Lebih dari itu, isu mendasar yang perlu menjadi prioritas DPR paska disahkannya tiga UU DOB Provinsi adalah Masyarakat Adat. Eksistensi Masyarakat Adat di Papua jauh sebelum Indonesia berdiri.

Papua adalah wilayah yang masih menerapkan hak ulayat dalam status hak atas tanah. Keberadaan wilayah adat di Papua sangat luas, sebagian besar wilayah di Papua yang kosong adalah milik masyarakat adat Papua dan wilayah-wilayah tersebut sudah ditetapkan pada zaman dahulu.

Hukum adat sudah mengatur kepemilikan tanah, hutan, gunung dan segala yang ada di dalamnya di seluruh tanah Papua dan itu mutlak bagi Masyarakat Adat Papua. (Wilzson Mobalen: 2019)

Dalam pembahasan RUU Otsus Papua, jajaran pemerintah sendiri mengakui bahwa masyarakat Papua memiliki pola kepemimpinan berbasis suku, perbedaan karakter antara masyarakat pegunungan dengan masyarakat pesisir Papua, dan masyarakat papua merasa memiliki identitas Ras Melanesia yang berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya (Risalah Persidangan RUU Papua 27 Mei 2021).

Dalam pandangan penulis, ada tiga konsekuensi disahkannya 3 UU DOB terhadap Masyarakat Adat yang harus menjadi perhatian DPR untuk dijadikan agenda strategis, baik pengawasan, legislasi maupun anggaran.

Pertama, transisi pengakuan hukum wilayah adat. Dalam catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) terdapat 16 Wilayah Adat yang teregistrasi berbasis 38 kebijakan Instruksi Presiden, Peraturan Gubernur, Perda Provinsi, Perda Kab/Kota dan SK Bupati/Kepala Daerah.

Sementara di Papua Barat terdapat 10 Wilayah Adat berbasis 15 kebijakan Instruksi Presiden, Keputusan Bersama, Perda Provinsi, Perda Kab/Kota, Perda Provinsi dan SK Bupati/Kepala Daerah (BRWA: 2022).

Sebagian wilayah adat yang telah teregistrasi tersebut, batas wilayahnya akan masuk dalam batas wilayah tiga DOB Provinsi. Ada masa transisi pembentukan instrumen hukum dari daerah lama ke daerah baru. Jangan sampai wilayah adat yang sudah diakui di daerah lama, tidak diakui dalam kerangka hukum daerah baru. Kekhawatiran ini sangat beralasan mengingat derasnya arus investasi di Indonesia bagian timur dapat mempengaruhi proses transisi.

Pengawasan DPR terkait hal ini sangatlah penting. Karena perebutan wilayah seringkali berujung pada konflik. Jika ini terjadi, tentu berlawanan dengan salah satu tujuan dibentuknya DOB, yaitu mengkanalisasi konflik di masyarakat. Komunikasi politik dan pengawasan yang intensif oleh DPR dan legislatif lokal dengan Masyarakat Adat Papua mutlak dilakukan.

Kedua, perubahan jumlah provinsi, kabupaten dan kecamatan yang ditimbulkan oleh DOB berkonsekuensi pada perubahan daerah pemilihan pada Pemilu 2024 yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat representasi masyarakat adat.

Di tingkat nasional, terdapat 13 kursi dari Papua dan Papua Barat di DPR RI. Distribusi kursi ke 3 DOB Provinsi yang proporsional mutlak dilakukan untuk membangun kesetaraan representasi.

Lain dari pada itu, dalam pembentukan daerah pemilihan baru pada 3 DOB Provinsi haruslah mempertimbangkan faktor budaya dan kohesivitas sosial Masyarakat Adat yang ada.

Pengabaian faktor di atas dalam penentuan dapil dapat memposisikan komunitas adat tertentu terpisah dari kelompok besarnya sehingga tidak signifikan. Ini dapat berujung pada rendahnya representasi suara Masyarakat Adat di tingkat nasional.

Meskipun dalam struktur pemerintahan Papua sendiri mengakomodir Majelis Rakyat Papua yang didalamnya terdapat perwakilan Masyarakat Adat, dalam kebijakan strategis nasional representasi Masyarakat Adat di DPR RI mutlak dibutuhkan untuk menjembatani pembahasan isu-isu terkait Masyarakat Adat Papua.

Ketiga, pengesahan RUU Masyarakat Adat mutlak harus dilakukan DPR. Ini adalah bentuk perwujudan pendekatan politik kesejahteraan yang paling mendasar. Mengingat jumlah Masyarakat Adat di Indonesia cukup besar, yaitu 2.371 komunitas yang beranggotakan 70 juta jiwa. Di Papua dan Papua Barat terdapat 59 komunitas masyarakat adat yang tinggal di dalam 7 wilayah adat (AMAN: 2021).

Di tengah otonomi asimetris, keberadaan landasan hukum yang mengakui masyarakat adat dibutuhkan sebagai landasan hukum dan kebijakan di tingkat daerah untuk memperkuat pemenuhan hak-hak masyarakat adat.

Wilayah adat yang ada di Papua, misalnya, kebutuhan jaminan perlindungan dari penyerobotan wilayah adat tidak sebatas pada registrasi, tetapi hingga pemberian sertifikat. Ini mungkin terjadi salah satunya jika RUU Masyarakat Adat disahkan oleh DPR.

Masyarakat Adat Papua eksistensinya dijamin oleh UUD 1945, maka sudah selayaknya DPR RI tetap terus berdiri memperjuangkan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Terbukti Masyarakat Adat Papua telah mampu menjaga kelestarian lingkungan dengan nilai-nilai kearifan.

*Penulis merupakan Direktur Indonesian Parliamentary Center.