Realitas yang Lebih Menyeramkan dari Hantu

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

"TAKUT kepada yang gaib adalah bagian dari iman. Tapi lupa takut pada ketidakadilan yang nyata adalah tanda zaman yang sakit." 

Di masa lalu, cerita tentang hantu, makhluk gaib, dan alam tak terlihat mampu membangkitkan rasa takut mendalam di tengah masyarakat. Jalanan sepi, pohon besar, rumah kosong — semuanya bisa memicu rasa ngeri akan sesuatu yang tak kasat mata. Namun, hari ini ketakutan itu telah bergeser. 

Yang kini lebih membuat manusia merinding bukan lagi sosok-sosok tak terlihat, melainkan ancaman hidup nyata: kehilangan pekerjaan, kelaparan, utang menumpuk, dan ketidakadilan yang semakin merajalela.

Ketika tekanan ekonomi makin menghimpit, banyak orang tak lagi takut pada hantu. Mereka lebih takut pada kenyataan hidup yang brutal dan tanpa belas kasihan. Dalam dunia hari ini, kehilangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang meroket, dan tekanan hidup yang kian berat terasa jauh lebih menyeramkan dibandingkan cerita-cerita mistis masa lalu. Tidak mengherankan, banyak orang kini bahkan menjadikan kisah hantu sebagai komoditas hiburan — sesuatu yang bisa ditertawakan, dijual, dan diuangkan.

Fenomena ini bukan sekadar anekdot. Data dari Katadata Insight Center tahun 2024 menunjukkan bahwa konten bertema horor dan misteri merupakan salah satu genre dengan pertumbuhan tercepat di media digital Indonesia, dengan peningkatan konsumsi hingga 45 persen dalam tiga tahun terakhir. Bagi banyak kreator, "hantu" bukan sesuatu untuk ditakuti, melainkan peluang untuk menghasilkan uang.

Namun, lebih jauh lagi, fenomena ini mencerminkan perubahan ketakutan masyarakat secara mendasar. Dalam survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024, ditemukan bahwa 42 persen masyarakat Indonesia menyatakan kekhawatiran utama mereka dalam hidup berkaitan dengan masalah ekonomi: kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, dan mahalnya harga kebutuhan pokok. Ini mempertegas fakta sosial yang tak terbantahkan: bagi banyak orang hari ini, tidak punya uang jauh lebih menakutkan daripada melihat hantu.

Bahkan lebih ekstrem, ada orang-orang yang rela menjadi "hantu" dalam artian moral — menipu, mencuri, memperdaya, bahkan menggadaikan nilai kemanusiaan demi bertahan hidup di dunia nyata. Dunia modern memperlihatkan kepada kita bahwa bentuk-bentuk "hantu" telah berevolusi: kemiskinan struktural, ketidakadilan sosial, korupsi yang merajalela, dan ketimpangan ekonomi adalah hantu-hantu baru yang menggerogoti martabat manusia sedikit demi sedikit.

Kita hidup di tengah realitas yang menyeramkan, di mana kehancuran moral, ketidakpedulian sosial, dan kesenjangan semakin normal. Sebagaimana dikatakan oleh Frantz Fanon, filsuf post-kolonial terkenal, "Setiap generasi harus menemukan misinya, mengisinya, atau mengkhianatinya." Jika generasi ini hanya sibuk mengejar ketakutan mistis, namun membiarkan ketidakadilan sosial menguasai dunia nyata, maka kita tengah mengkhianati misi kemanusiaan kita sendiri.

Yang perlu kita takutkan hari ini bukan hanya dunia gaib, tetapi dunia nyata yang kita rusak bersama-sama: ketidakpedulian yang mendarah daging, keserakahan yang dilegalkan, rasa empati yang mati, dan solidaritas sosial yang runtuh. Sebagaimana diperingatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, "Kehancuran hati lebih mengerikan daripada kehancuran dunia." Ketakutan yang sehat bukanlah ketakutan kepada makhluk halus semata, melainkan rasa takut terhadap matinya nurani dan hilangnya keberanian memperjuangkan keadilan.

Solusi dari situasi ini adalah menumbuhkan kembali rasa takut yang benar. Kita perlu menggeser ketakutan kita ke arah yang lebih sehat: takut berbuat zalim, takut membiarkan kemiskinan berlarut-larut, takut kehilangan akhlak dan kepedulian, takut mati dalam keadaan tidak membawa amal kebaikan. Membangun rasa takut yang sehat berarti mendidik hati untuk peka terhadap penderitaan sesama, menumbuhkan solidaritas sosial di tengah krisis, dan mengutamakan nilai kemanusiaan di atas kepentingan materi semata.

Kita membutuhkan iman aktif, keimanan yang bukan hanya percaya kepada hal-hal gaib, tetapi juga menggerakkan tangan dan hati untuk menegakkan nilai kebaikan dalam dunia nyata. Dunia ini memang penuh misteri. Tapi bukan hantu yang seharusnya kita takuti. Yang lebih menyeramkan adalah dunia nyata tanpa keadilan, tanpa kasih sayang, tanpa keberanian untuk berubah.

Di tangan kitalah pilihan itu: mau menjadi manusia yang membangun kehidupan, atau menjadi "hantu" yang membebani dunia.

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

ikuti terus update berita rmoljatim di google news