Tata kelola keuangan negara oleh rezim Presiden Joko Widodo dinilai tak prudent, sehingga kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) patut dipertanyakan.
- Bahas RAPBN 2024, Sri Mulyani Tak Nampak di Raker Komisi XI DPR
- PPP Tolak APBN Jadi Jaminan Kereta Cepat Jakarta-Bandung
- Jokowi Gagal Beri Tauladan, Menteri dan Gubernur Tak Bisa Disalahkan
Hal tersebut disampaikan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (10/9).
"Pengelolaan APBN tidak transparan, dan penuh kontradiksi, khususnya terkait keuangan minyak bumi," ujar Anthony.
Dia menjelaskan, kesesuai antara pendapatan dan pengeluaran subsidi tidak diungkap secara gamblang oleh pemerintah ketika mengumumkan secara resmi kenaikan BBM tempo hari.
"Yang disorot hanya sisi subsidi, tapi sisi pendapatan tidak pernah dibicarakan. Padahal, kenaikan harga minyak mentah membuat pendapatan negara dari minyak bumi juga naik," ucapnya.
Dalam catatannya, Anthony menjabarkan hasil perhitungan keuntungan yang didapat Pertamina dari harga BBM jenis Pertalite yang kini dipatok Rp 10.000 dari harga sebelumnya Rp 7.650 per liter, serta keuntungan dari kenaikan harga Solar subsidi dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter.
"Bisnis dengan rakyat: harga pertalite naik Rp 2.350 per liter x sisa konsumsi tahun ini anggap 10 juta KL (kilo liter)=Rp 23,5 triliun. Harga solar naik Rp 1.650 per liter x sisa konsumsi 5 juta KL=Rp 8,25 triliun," paparnya.
Di samping itu, Anthony juga melihat penjelasan Sri Mulyani soal kenaikkan anggaran subsidi BBM hingga 3 kali lipat tidak didukung oleh data-data yang jelas.
- Komitmen Wali Kota Eri terhadap Penanganan Stunting Berbuah Penghargaan dari Presiden RI di Hari Otoda 2024
- Kwarnas-Kwarda Pramuka Se-Indonesia Desak Menteri Nadiem Revisi Permendikbud No 12
- Rini Indriyani, Sosok Kartini Hebat di Balik Kesuksesan Wali Kota Eri Cahyadi