Antitesis

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

KATA ''Antitesis'' menyita sebagian publik usai politisi Partai Nasdem, Zulfan Lindan, menyebutnya langsung dalam wawancara dengan sebuah media. Bahkan, Zulfan menyinggung pula filsafat dialektika Hegel sebagai rujukan. Spontan, reaksi hiruk-pikuk muncul dari berbagai pihak.

Dalam pergaulan sehari-hari, kata ''antitesis'' juga sering terdengar. Dimaknai, melawan atau berlawanan. Begitu kata ''antitesis'' diucapkan, spontan yang terbersit adalah ketidaksetujuan atau ketidaksepakatan. Bahkan, dimaknai pula sebagai ketidakcocokan. Persis seperti nasib kata ''radikal'' yang dimaknai ''kekerasan'' atau ''mbalelo''. 

Terasa betul beda makna kata ''antitesis'' saat masih berada dalam lingkup akademis dengan tolok ukur ketat serta pemaknaan wajib tepat, dari pemaknaan saat sudah ke luar tembok akademis. Pemaknaan secara akademis perlu merujuk pada kamus atau thesaurus. Tak boleh sembarang memaknai kata ini. Apalagi sembarang umbar yang bisa bikin orang lain gusar. 

Namun, begitu kata ''antitesis'' keluar dari lingkungan kampus, pemaknaannya mendadak begitu longgar. Tergantung pada yang mendengar atau membaca. Bisa-bisa keluar dari konteks. Tergantung pada publik memaknainya. Bisa memantik aneka reaksi. Maka, untuk memahaminya, tentu kita perlu menelisik pada dialektika Hegel. 

Dialektika Hegel

Dialektika merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan metode argumen filosofis.  Metode ini melibatkan semacam proses kontradiktif antara pihak yang berseberangan. Sejarah panjang metode ini bisa dilacak sejak masa Yunani kuno. Yakni, saat filsuf Yunani kuno, Plato, mendemonstrasikan argumen filosofisnya melalui dialog atau debat bolak-balik, umumnya antara karakter Socrates , di satu sisi, dan beberapa orang atau sekelompok orang yang diajak bicara Socrates (lawan bicaranya), di sisi lain. 

Selama dialog berlangsung, lawan bicara Socrates mengusulkan definisi konsep filosofis atau mengungkapkan pandangan mereka, lalu ditantang atau dilawan Socrates. Terjadilah perdebatan bolak-balik antar pihak yang berlawanan. Pelan-pelan, lawan bicara Socrates mengubah atau memperbaiki pandangan mereka sebagai tanggapan terhadap tantangan Socrates hingga akhirnya mereka mengadopsi pandangan lebih canggih. 

Dialektika bolak-balik antara Socrates dan lawan bicaranya merupakan cara Plato berdebat melawan pandangan atau opini sebelumnya yang kurang canggih agar tercipta situasi lebih canggih. Tentu saja, debat yang berlangsung bukanlah debat kusir, bukan debat menang-kalah. Melainkan, debat bertopik yang kian menukik, lebih mendalam. Inilah awal dialektika dalam sejarah filsafat.

Memasuki abad ke-18 di Eropa, muncul tiga nama sohor pelanjut tradisi filsafat idelisme Jerman. Mereka adalah Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Joseph Schelling dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Diantara ketiganya, yang sangat menonjol adalah Hegel. Filsuf kelahiran Stuttgart, Württemberg ini sosok paling teliti. Dalam seluruh karyanya, Hegel berusaha menguraikan filsafat secara komprehensif serta sistematis dari titik awal logika. 

Hegel beken karena sumbangsih pemikirannya tentang sejarah. Sejarah punya tujuan, bukan sekadar catatan peristiwa atau tentang tokoh. Kelak, sumbangsih Hegel ini diambil alih oleh Marx dan "dibalikkan" menjadi teori materialis tentang perkembangan sejarah yang berpuncak pada pertarungan kelas. Setelah berbagai revolusi serta munculnya berbagai mazhab filsafat lain, dialektika Hegel sempat terabaikan. Sampai dekade '70an, gairah terhadap pemikiran Hegel hidup kembali. 

Dialektika Hegel bertumpu pada proses saling berlawanan para pihak tentang sesuatu. Jika dialektika Plato terletak dari posisi serta pendapat orang yang saling berlawanan, yakni antara Socrates dan lawan bicaranya. Maka,  "pihak lawan" dalam karya Hegel tergantung pada apa materi yang didiskusikan. 

Dalam karyanya tentang logika, misalnya, "sisi yang berlawanan" adalah definisi yang berbeda dari konsep logis yang bertentangan satu sama lain. Tak lagi tanya-jawab seperti dalam karya Plato, tapi lebih pada pendefinisian terhadap sesuatu yang saling berbeda diantara para pihak.

Hegel mengakui metode dialektisnya merupakan tradisi filosofis yang bisa dilacak sampai jauh ke masa Plato. Namun, ia mengkritik dialektika versi Plato yang berhenti sekadar klaim filosofis, tak menghasilkan kritik. Logika tradisional menyatakan jika ada beberapa pernyataan saling berlawanan atau kontradiktif, maka pernyataan-pernyataan itu salah semua. Artinya, tak ada kesimpulan karena tak ada pernyataan. Padahal, kritik Hegel, nalar manusia selalu melahirkan kontradiksi. 

Hegel lalu menyodorkan tiga tahap dalam proses berdialektika. Pertama, momen dimana segalanya benar secara umum. Dipahami oleh publik, dimengerti oleh siapapun. Dalam momen ini seluruh definisi atau konsep terlihat stabil dan diterima oleh siapa saja. Misal, dukungan Partai Nasdem pada pemerintahan Jokowi sudah diketahui umum. Tak perlu diperdebatkan lagi. Publik telah memahami fakta politik tersebut, tanpa keraguan. Ini tesis.

Berikutnya, momen kedua. Dialektika, momen bernalar secara negatif. Berkebalikan, berlawanan. Menurut Hegel, memperlawankan sekaligus juga mempertahankan momen pertama pada saat yang sama. Momen kedua ini berlawanan dari momen pertama, tapi sekaligus saling mempertahankan. Bukan menghapus momen pertama. Contohnya, ketika Partai Nasdem mencapreskan Anies Baswedan untuk 2024, kesan yang muncul di publik Partai Nasdem seolah beroposisi pada istana. Kesan oposisional ini antitesis.

Momen ketiga disebut Hegel sebagai momen rasional positif, ketika hal-hal khusus dari momen pertama bergabung dengan poin spesifik dari momen kedua. Sehingga lahir perpaduan yang tak ada pada dua momen sebelumnya. Kelemahan atau kekurangan dari momen pertama dibalut momen kedua lalu lahir momen ketiga. Contoh nyata, Partai Nasdem tetap menyatakan dukungan pada pemerintahan saat ini. Secara Hegelian, pernyataan Nasdem bukan menunjukkan ketakutan akibat mendukung Anies Baswedan. Justru dukungan itu menunjukkan sintesis, proses akhir dialektika. 

Menjadi Politis

Pernyataan antitesis Zulfan segera menuai reaksi. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menafsirkan kata ''antitesis'' sebagai kondisi yang berbeda. Kondisi yang diametral terhadap status quo, begitu kata Hasto seperti dikutip sejumlah media. Baik Zulfan maupun Hasto, sesungguhnya belum selesai menafsirkan proses berdialektika yang seharusnya berujung pada sintesis.

Penafsiran keduanya terhadap proses berdialektika menjadi sangat politis, bukan penafsiran filosofis sebagaimana dimaksud dalam proses berdialektika di atas. Hanya mencomot bagian dari proses berdialektika, lalu menafsirkannya secara politis. Bahwa tak ada kaitan antara tesis dengan antitesis yang bisa melahirkan sintesis.

Padahal, dalam berbagai karyanya, Hegel justru melihat proses berdialektika tesis-antitesis-sintesis merupakan satu kesatuan untuk menjawab persoalan. Ini berkaitan pada kondisi atau momen yang tak bisa dipisah hanya sebatas tesis atau antitesis saja. Manakala hanya dibatasi pada tesis atau antitesis, maka tidak ada hasil penafsiran yang mumpuni untuk memahami situasi.     

Proses dialektika yang semestinya bisa menjadi sarana pemecahan masalah, justru menjadi sumber ketegangan diantara kedua parpol. Pada ujungnya, bukan sintesis yang terjadi, malah keduanya saling menafikan. Dan jagat politik pun kian gaduh.

Peneliti pada JPIPNetwork