Air 

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

PERUSAHAAN Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada berencana menaikkan tarif pelanggannya.

Direktur Utama PDAM Surya Sembada, Arief Wisnu Cahyono saat mengudara dalam sebuah siaran radio swasta menyatakan siap meningkatkan kualitas air seiring penyesuaian tarif baru.

Bahkan, apabila kinerjanya tidak tercapai (meningkatkan kualitas air), Arief bersama jajaran direksi yang lain siap mengundurkan diri.

Benarkah itu atau ini sekedar kisi-kisi untuk menenangkan perasaan warga Surabaya agar tidak cemas dengan penyesuaian tarif baru?

Jika memang direksi PDAM punya niat meningkatkan kualitas air, maka harus dilakukan secara transparan.

Benar kata Wali Kota Eri Cahyadi, PDAM Surya Sembada sudah waktunya untuk transparan. Pertama, transparan atas penyesuaian tarif baru. 

Kedua, transparan atas peningkatan kualitas air dan pelayanan PDAM Surya Sembada. 

"Saya memang konsentrasi ke sini. Karena saya ingin PDAM itu benar-benar menjadi air minum yang bisa langsung diminum. Karena memang kendala di pipa itu yang harus kita selesaikan," kata Eri.

Sebenarnya sudah lama warga Surabaya mendambakan kualitas air dapat dikonsumsi sebagai air minum. Mungkin tidak di Surabaya saja, kota-kota besar lain juga begitu. 

Dulu sekali, sebelum ada air isi ulang, air PDAM bisa langsung diminum. Atau setidaknya masih layak minum. Warga tinggal mengambil air dari kran terus dimasak kemudian langsung dikonsumsi.  

Sekarang hal itu tidak bisa dilakukan lagi. Bukan setahun atau dua tahun, melainkan berpuluh-puluh tahun warga Surabaya menggunakan air sangat tidak layak. Kadang air yang dialiri ke rumah-rumah kualitasnya sangat buruk. Kadang air bercampur endhut, buthek, berwarna coklat. 

Baku mutu air yang dikelola PDAM di Surabaya sebenarnya masih di kelas II. Pasalnya, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air, maka air PDAM Surbaya kelas II ini diperuntukan untuk rekreasi air, budidaya ikan air tawar, petemakan dan mengairi pertanaman.

Penyebab kualitas air baku PDAM rendah karena sebagian besar air berasal dari Sungai Brantas yang sudah tercemar limbah. Sekitar 35% limbah cair berasal dari industri dan sisanya dari masyarakat. Industri paling banyak dari industri kertas, industri baja, dan industri minuman.

Berdasar Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota 2021, indeks kualitas air permukaan Surabaya sebesar 58,18. Padahal idealnya, air bahan baku layak minum memiliki nilai 70 pada indeks kualitas air permukaan. Padahal air sungai Surabaya menjadi bahan baku air PDAM Surya Sembada. 

Soal ketahanan air ini, sebenarnya telah menjadi kekhawatiran dunia. Air diprediksi akan menghilang. Di saat itulah air akan menjadi langka di berbagai belahan dunia. Hal ini sudah terjadi di Indonesia. 

Apakah kelangkaan terjadi karena hilangnya air? Bukan itu yang dimaksud. Air tetap berlimpah. Di laut banyak air, daratan juga kandungannya banyak. Yang dimaksud air langka adalah semakin lama sumberdaya air volumenya menurun. 

Seperti diketahui Indonesia adalah negara kepulauan dengan 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh Indonesia. Hanya saja, limpahan air ini tidak bisa digunakan untuk kebutuhan minum. Faktanya, masyarakat Indonesia saat ini dipaksa untuk membeli air minum yang justru dihasilkan dari tanah sendiri. 

Privatisasi air menjadi penyebabnya. Sekarang hitung saja berapa banyak pabrik di Indonesia yang telah mengeksplorasi air dari sumber mata air. Mereka menggali air hingga kedalaman berapa meter. Air itu kemudian dikembangkan menjadi air minum. Padahal kalau mau jujur, tanah galian harusnya diberi meteran. Sehingga di sana ada pengawasan, observasi dan pengkajian. Dari situ rakyat bisa mendapat kebutuhan air sekira 15-30 persen. Yang terjadi tidak demikian. 

Para aktivis peduli lingkungan mencermati krisis air yang terjadi di Indonesia. Saat ini banyak orang rela bersengketa demi air. Dalam kapasitas lokal, konflik ini sudah terjadi di beberapa kecamatan di seluruh Indonesia. Hanya masalah pengairan yang tidak merata, para petani saling gontok-gontokan. 

Ya, dulu masyarakat bersengketa soal tapal batas, kini haluan mereka berubah. Air menjadi faktor utama perselisihan. Besar kemungkinan ini akan merembet ke belahan dunia. Yang terjadi adalah perang dunia ketiga. Orang akan berebut air.

Pada tahun 1995, mantan wakil presiden Bank Dunia Ismail Serageldin mengatakan jika perang abad ini memperebutkan minyak, maka perang abad berikutnya akan memperebutkan air.

Kurangnya keamanan air telah menyebabkan konflik di seluruh dunia. Para ahli memperingatkan bahwa pertengkaran ini dapat berkembang menjadi pemberontakan sipil besar-besaran dan bahkan perang nuklir.

Sebagai contoh, Jepang kini sudah membuat sebuah produk air mineral termahal di dunia, yakni Fillico Beverly Hills. Ini adalah air mineral yang talah dinobatkan sebagai air mineral termahal di dunia, harga per botol (740 ml) bisa mencapai Rp 1 juta. 

Air mineral ini berasal dari mata air yang berada di kaki gunung Rokko, di Kobe jepang. Air dari mata air ini dipercaya sebagai air yang terbaik untuk pembuatan sake, dan jumlahnya pun terbatas. Produksi air mineral Fillico Beverly Hills dikelola oleh perusahaan yang bernama Vieluce, sebuah perusahaan yang berpusat di Osaka. Dengan kelangkaan air, setiap bulan perusahaan ini hanya bisa memproduksi sekitar 5000 botol tiap bulanya. Ini menunjukkan betapa langkanya volume sumber mata air. 

Di Paris, ibukota Perancis, kelangkaan air pernah terjadi pada 1980 hingga 2000. Petaka terjadi saat Walikota Paris Jacques Chirac memutuskan privatisasi layanan air pada 1985. Akibatnya, dua perusahaan multinasional, Veolia dan Suez, sukses menguasai produksi dan distrubusi air bersih di kota Paris. 

Dalam 15 tahun, harga air melonjak drastis hingga 260%. Sebaliknya, pengelolaan air di bawah kendali swasta sangat tidak transparan dan penuh skandal.

Bolivia lebih tragis. Saat Bolivia mengalami ketergantungan pada asing, Bank Dunia memberi pesan maut yakni menyerahkan layanan air bersih kepada swasta. Tujuannya supaya investasi bisa masuk. Dua perusahaan multinasional pun masuk, Bechtel dan Abengoa. Mereka mengusai layanan air bersih di Bolivia. Kenaikan tarif air mencapai 60 persen. Kenyataannya, layanan makin memburuk, tetapi harga terus menaik.

Sekretaris Eksekutif Global Water Partnership (GWP), Dario Soto Abril, mengklaim bahwa ketahanan air harus menjadi masalah keamanan nasional.

Dario juga memperingatkan bahwa kekurangan air bersih dapat menyebabkan "pemberontakan sipil yang akan menciptakan konflik di dalam negeri" dan memiliki dampak besar pada daerah berpenduduk sebagian besar. 

Kondisi ini bukan terjadi begitu saja, melainkan diciptakan. Di Indonesia, jangan sampai pemerintah tutup mata dan membiarkan rakyat menghadapi kekurangan air bersih. Jangan biarkan kekayaan alam yang berlimpah dikuasakan pada konglomerat. 

Ini sebenarnya masuk kategori kejahatan terstruktur. Sangat kejam. 

Soal pengelolaan air, Menteri Lingkungan Hidup pertama di era kabinet Pembangunan III tahun 1978- 1983, Profesor Emil Salim pernah mengatakan, siapapun bisa berperan dalam pengelolaan air termasuk pihak swasta. Sedangkan untuk pengelolaan sumber mata air sendiri harus dikelola oleh pemerintah.

Banyak orang tidak mengerti antara pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan air. Kalau untuk sumber daya air (mata air) pemerintah harus berkonsentrasi pada hal itu. Tapi, kalau untuk mengelola airnya, swasta sangat bisa dan boleh mengelolanya.

Yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah yang mengelola air, sedang sumber daya air dikelola swasta. 

Akibatnya, pemerintah dalam hal ini PDAM selaku pengelola 'air minum' selama berpuluh-puluh tahun tak bisa berbuat apa-apa. 

Pada hakikatnya negara telah gagal mengelola sumber mata air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang ada kemakmuran didapat korporasi-korporasi. Sumber mata air yang notabene milik rakyat digerogoti habis-habisan. 

Sumber mata air yang seharusnya tidak boleh jatuh ke tangan swasta, malah menjadi ladang bisnis menggiurkan. Jauh dari amanat pasal 33 UUD 1945.

Nah, kalau PDAM Surya Sembada ingin melakukan penyesuaian tarif baru, tunjukkan dulu kinerjanya. Jangan cuma janji-janji. Berikan bukti bahwa warga Surabaya mendapat kualitas air bersih yang sudah berpuluh-puluh tahun diabaikan. Yang tidak kotor. Yang tidak berbau. Yang tidak ber-endhut. Dan, terutama layak minum. 

Atau jika tidak bisa menjadikan air Surabaya layak minum, sebaiknya ganti saja nama PDAM menjadi Perusahaan Daerah Air Mandi.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim