Operasi Senyap

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

SAAT ini, Anies Baswedan dan Partai Nasdem menjadi target operasi senyap. Tak perlu disanggah, tak perlu pula disangkal. Itu sudah jelas tegas lugas bernas. Baik Anies maupun Partai Nasdem sudah dianggap ''the enemy of the state''. Ruang geraknya dibatasi. Suasana itu terasa sekali di tingkat nasional sampai lokal. Oknum-oknum pejabat yang sedang berkuasa menjadi pelaksana secara langsung maupun tak langsung operasi senyap ini.

Ibarat bau kentut, operasi ini bisa dirasakan namun sulit dibuktikan keterlibatan oknum-oknum kaki-tangan rezim. Bau busuk operasi ini bisa tercium kok. Contohnya, mendadak muncul spanduk-spanduk anti-Anies dimana-mana. Di beberapa kota di Jawa Timur, spanduk-spanduk anti-Anies atau menolak Anies bertebaran, meski kemudian diturunkan oleh petugas di lapangan.

Tujuan utama pemasangan spanduk anti-Anies adalah mempengaruhi publik agar mewaspadai Anies. Mengarahkan publik supaya mencurigai Anies. Spanduk itu berisi tulisan sarat kebencian kepada Anies serta menunjukkan upaya memecah-belah masyarakat. Berusaha mengadu-domba komponen masyarakat. Tak ada nama spesifik siapa pemrakarsa spanduk tersebut. Benar-benar gelap. Hanya diberi lambang burung Garuda, lambang negara.

Demi tujuan sesat, pemrakarsa spanduk telah rela mengorbankan lambang negara. Ia menghalalkan segala cara demi tujuannya memojokkan anak bangsa. Perilaku pemrakarsa spanduk pecah-belah telah menodai kesucian lambang negara. Demi memprovokasi massa, pemrakarsa spanduk gelap telah memporak-porandakan cita-cita Pancasila. Merobek Sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia.

Operasi Senyap

Pemrakarsa spanduk tidak sedang melakukan kampanye negatif (negative campaign), sebab ia tak punya bukti kelemahan atau kekurangan sosok atau lembaga yang diserangnya. Maka, yang bisa dilakukan hanyalah kampanye hitam (black campaign). Lebih spesifik lagi, disebut propaganda kampanye hitam. Di luar dari masa kampanye Pemilu, biasa juga disebut propaganda hitam (black propaganda).

Caranya, menghembuskan SARA. Mengobok-obok rasa kebangsaan warga. Menciptakan upaya pembelahan. Nusantara versus politik identitas. Indonesia versus bukan Indonesia. Agama asli versus agama pendatang. Islam sini versus Islam sana/pendatang. Itu contoh pembelahan.

Kampanye hitam dalam kajian intelijen dan kontra-intelijen disebut propaganda dan Perang Urat Saraf (PUS). Mahaguru kajian intelijen Universitas John Hopkins, AS, Paul Myron Anthony Linebarger, mendefinisikan PUS sebagai upaya penggalangan di lapangan tanpa melibatkan kekuatan militer. Berkalimat persuasif sekaligus agitatif. Dalam bukunya ''Psychological Warfare'' yang terbit tahun 1948, Linebarger propaganda menjadi langkah penting dalam PUS. Untuk mempengaruhi publik. Menciptakan musuh ke dalam benak publik.  

Biasanya, lembaga-lembaga intelijen resmi yang melakukan propaganda hitam ini. Sebab, mereka mempunyai perangkat lengkap, termasuk jejaring ke publik. Seperti propaganda hitam mendiskreditkan Saddam Hussein dan Moammar Khaddafi yang dilakukan secara terus-menerus oleh MI5 dan MI6 di Inggris dan NSA di AS. Tujuannya, penggalangan opini publik merusak citra Saddam dan Khaddafi. Persis seperti penggalangan opini yang dilakukan maestro propaganda politik Jerman, Joseph Goebbels.

Di Indonesia, propaganda hitam sangat terlihat saat Ali Moertopo menguasai jagat intelijen (intelligence millieu). Ia tak perlu menggunakan baju resmi menebar operasi senyap. Semua komponen masyarakat disasarnya. Termasuk menebar selebaran gelap mendiskreditkan siapapun yang dianggap berseberangan dari pemerintah. Ia menciptakan stigma pada kelompok atau figur target. Stigma itu lantas disebar ke seantero Indonesia. Tujuannya, menciptakan horor agar publik gampang dikendalikan.

Gaya Orde Baru

Pemasangan spanduk mendiskreditkan sosok atau kelompok merupakan gaya Orde Baru. Sarat provokasi, penuh agitasi. Cara ini tampaknya diulangi lagi oleh oknum-oknum pemrakarsa pemasangan spanduk. Mereka berusaha menggiring opini publik agar membenci sosok atau kelompok tertentu yang dianggap telah berseberangan dengan rezim yang berkuasa.

Selain di Jawa Timur, spanduk-spanduk provokatif juga muncul di Aceh dan beberapa daerah lainnya. Ciri-ciri spanduk agitatif sebagai sarana operasi senyap tersebut, tak menyebut nama pemrakarsa. Justru menyebut nama partai yang menjadi targetnya, untuk dibenturkan dengan partai lokal. Konten spanduk gelap itu selalu janggal karena bertentangan dengan nalar sehat publik.

Ala kulli hal, publik sudah terlalu cerdas dan cermat untuk mengetahui aneka kejanggalan serta keanehan di lapangan, begitu muncul fabrikasi isu. Publik spontan mempertanyakannya, bahkan menolak. Publik sudah belajar situasi ini karena selama bertahun-tahun fabrikasi itu berlangsung dan para fabrikan selalu berpikir, bahwa publik masih mudah dikendalikan. Padahak tidak, sebab publik sudah pintar.

Peneliti JPIPNetwork