Serigala Anarko

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

HANYA berselang beberapa jam dari peledakan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu (7/12), media massa sudah mengedarkan jati diri serta rekam jejak pelaku. Diduga kuat, dialah AS, pemuda asal Kecamatan Batununggal Kota Bandung. Namun, belakangan AS menetap di Sukoharjo, Jawa Tengah. Seperti biasa, tetangga yang dikutip media massa, menyebut pelaku sehari-hari sosok yang tertutup, jarang bergaul.

Disebut berbagai media massa, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan AS pernah ditangkap aparat usai peristiwa Bom Cicendo tahun 2017. AS penyandang dana pelaku bom itu, YC alias Abu Salam. Lalu AS menjalani hukuman selama empat tahun. Pada Maret 2021 ia bebas murni. AS bukan orang pertama yang melakukan bom bunuh diri di lingkungan kantor kepolisian.

Pada 15 April 2011, Muhammad Syarif meledakkan dirinya di dalam Masjid Adz Zikra di lingkungan Polres Cirebon Kota Jl Veteran nomor 5. Syarif bagian dari kelompok Solo-Cirebon-Depok yang kerap melakukan pertemuan secara berpindah-pindah. Mereka mengusung ideologi anti-thogut. Kemudian, pada 5 Juli 2016, Nur Rohman asal Pasar Kliwon, Kota Surakarta melakukan peledakan bom bunuh diri di depan ruang SPKT Mapolresta Surakarta.

Selanjutnya, pada 14 Mei 2018, Tri Murtiono bersama istri dan anaknya melakukan aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya. Peristiwa ini menandai fenomena baru. Aksi bom bunuh diri sekeluarga di Mapolrestabes. Aksi yang biasanya dilakukan secara individual, bergeser menjadi aksi sekeluarga. Aparat secara cepat dan sigap segera menyingkap jejaring kelompok ekstrem ini.

Kemudian, Rofik Ansharudin, mahasiswa sebuah kampus di Solo melakukan aksi bom bunuh diri di Pos Pantau Kartasuara, Surakarta 3 Juni 2019. Selang beberapa bulan, Rabbial Muslimin Nasution, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Medan, juga melakukan aksi bom bunuh diri di Polrestabes Medan, 13 November 2019.

Dalam berbagai kajian serta literatur terorisme serta kontra-terorisme, serangan individual terhadap lokasi-lokasi tertentu bermotif apapun acap disebut ''lone wolf attack'' (serangan serigala sorangan). Menyerang sendirian atau bersama sel kelompok ke target tertentu.  

Serigala Anarko

Selain disebut ''lone wolf'', sebutan lain untuk aksi sorangan atau sel kelompok adalah ''leaderless resistance'', ''individual terrorism'' atau ''lone offender''. Edwin Bakker dan Jeanine de Roy van Zuijdewijn dalam ''Lone Actor Terrorism: Definitional Workshop''(2016) menyebut sebagai aksi kekerasan pelaku tunggal (atau sel kecil), bukan karena alasan personal, bertujuan mempengaruhi khalayak serta keputusannya untuk bertindak tidak diarahkan oleh kelompok mana pun atau individu lain (meskipun mungkin terinspirasi oleh orang lain).

Sedangkan Raffaello Pantucci dalam ''A Typology of Lone Wolves'' (2011) menyebut beberapa tipologi serangan serigala sorangan ini. Diantaranya, aksi dilakukan sendirian atau sel kelompok, masih punya koneksi ke kelompok ekstrimis, teradikalisasi mandiri. Sedangkan proses radikalisasi mandiri bisa berasal dari pergaulan, interaksi ke sosok ekstrem secara sinambung atau dari internet.

Belakangan, kajian terorisme menyinggung istilah ''leaderless terrorist''. Teroris minus pemimpin. Peneliti terorisme Boaz Ganor dalam artikelnya ''Understanding the Motivations of “Lone Wolf” Terrorists: The “Bathtub” Model'' yang dimuat jurnal 'Perspectives on Terrorism' (2021) menjelaskan, bahwa fenomena serangan ''Serigala Sorangan'' bukan hal baru dalam sejarah. Serangan terjadi tanpa arahan, minus keterlibatan operasional keorganisasian atau zonder dukungan organisasi teroris. Bahkan, tulis Ganor, internet sangat signifikan menumbuhkan serangan ''leaderless terrorist''. Serangan tanpa kepemimpinan, mirip taktik anarko.

Sesuai nama 'Anarko'. Berasal dari dua kata 'An' bermakna tanpa, 'arko' berarti kepemimpinan. Maka, kata anarko sesungguhnya keberadaan tanpa kepemimpinan. Melakukan aksi secara mandiri, mengakses informasi ke internet secara pribadi, melakukan penilaian situasi tanpa arahan pemimpin. Motivasi tumbuh secara personal. Biasanya terpacu sekaligus terpicu oleh situasi yang terlihat secara kasat mata.

Mengkhawatirkan

Bagi khalayak, radikalisasi mandiri melalui internet tentu sangat mengkhawatirkan. Terutama, jika yang menjadi korban radikalisasi tersebut adalah kaum muda atau generasi Z yang sedang tumbuh berkembang. Mereka punya kepekaan melihat situasi, menilai suasana yang terlihat.

Bisa jadi, mereka korban hoax atau kebohongan. Namun, yang tak kalah pentingnya untuk diketahui adalah tumbuhnya kritisisme publik yang kian terasah akibat kontradiksi atau kontras yang mereka lihat. Mereka saksikan melalui media massa. Mereka akses melalui media sosial. Mereka cerna dari situasi, ketika ketimpangan merajalela.

Akhirulkalam, calon serigala anarko saat ini belum tentu hanya termotivasi oleh ideologi. Ada faktor-faktor penyebab lainnya yang perlu diperhatikan. Seperti, kesenjangan begitu telanjang, kontradiksi begitu nyata, kepincangan nyaris dimana-mana, disparitas sudah menggejala. Semoga faktor-faktor ini juga menjadi bahan renungan bersama.

Peneliti JPIPNetwork