Pengakuan Negara Ada 12 Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu Hanya Retorika dan Ilusi

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Pengakuan negara ada 12 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu dinilai tak lebih dari sebuah ilusi. Bahkan, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Syahrul, menilai, hal itu hanya sekadar retorika kosong yang terus diulang.


"YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkret melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis," kata Syahrul, dalam keterangannya dimuat Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (13/1).

Menurut Syahrul, pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya.

Seolah-olah, kata Syahrul, Jokowi memenuhi janji politiknya. Padahal ini bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Sejak awal, YLBHI dan 18 LBH menyoroti pembentukan tim PPHAM yang tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Sebab, Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstrayudisial harus dibentuk melalui Undang-undang.

"Keraguan YLBHI terhadap pernyataan presiden tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi," paparnya.

YLBHI dan 18 LBH, lanjut Syahrul, menilai pemerintah melalui Jaksa Agung tidak menunjukkan keseriusan untuk mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel.

Adapun 18 LBH se-Indonesia itu adalah LBH Banda Aceh, Pekanbaru, Medan, Palembang, Padang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Kalimantan Barat, Samarinda, Palangkaraya, Makassar, Manado, dan Papua.

Syahrul pun mencontohkan kasus Semanggi I dan II. Di mana Jaksa Agung menyebutkan bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah kasus Paniai.

Oleh karena itu, YLBHI mendesak kepada Presiden memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat secara menyeluruh. Bukan hanya pemenuhan secara nonyudisial, tapi juga secara yudisial.

"Kita mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," tegasnya.