Pertanyaan Cinta

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

“JADI kamu melamar aku, Nuk, ha…ha…ha…!” Sahid tertawa. 

“Apa salah wanita melamar pria, Mas?” Nunuk balik bertanya. 

“Tidak salah. Agama tidak mensyariatkan bahwa yang boleh mengajukan lamaran hanya laki-laki. Bila wanita ingin meminang laki-laki juga sah.”

“Lalu apa jawaban Mas Sahid?” 

“Bagaimana bila aku menolakmu!” 

Sontak kata-kata itu membuat kaget Nunuk. Baru sekali dalam hidup cintanya ditolak. Tanda-tanda penolakan itu, walau dilontarkan sedetik saja, membuat hatinya terpukul. Dia seperti tidak dihargai. Menyerupai kepedihan kaum-kaum tertindas. 

“Aku akan kecewa, Mas!” 

“Berarti cintamu hanya diukur dari untung dan rugi. Andai semua orang di dunia ini mengukur cinta mereka dari untung dan rugi, maka betapa banyak jiwa-jiwa merana. Korban-korban cinta berserakan di mana-mana. Bumi dipenuhi airmata kesedihan. Orang-orang akan meratapi kesedihannya. Orang-orang akan mengutuk dirinya dan orang lain. Dunia akan dipenuhi dengan dosa-dosa cinta. Itukah yang kamu mau.” 

Nunuk membisu. Cintanya kini menjadi tidak terkatakan lagi. Tapi justru cinta yang tidak terkatakan itulah yang memiliki kekuatan besar dari cinta yang terkatakan. Namun sampai berapa lama cinta tidak terkatakan itu dipendam. Hingga akhir hayatkah?

“Bukankah cinta butuh pengorbanan, Mas!” 

“Apa yang kamu korbankan dari cinta?” 

Nunuk tercengang. 

Bicara soal pengorbanan cinta, Nunuk sejatinya sudah banyak berkorban. Dia berkorban penderitaan dan perasaan. Suami-suaminya mati. Suaminya dicerai. Dan, dia dicerai. Bahkan ditinggal pergi anak-anaknya. Bukankah itu semua adalah pengorbanan. 

Nunung masih termenung memikirkan betapa banyak pengorbanannya. 

“Aku sudah banyak berkorban, Mas. Aku lelah terus-terusan berkorban,” kata Nunuk dalam pergulatan batin. 

“Korban cinta, korban perasaan, korban kehilangan, atau justru kaulah yang mengorbankan suami-suamimu?” Sahid balik bertanya. 

Bibir mungil itu mendadak terkunci. Bumi bagai runtuh. Tangga menuju langit yang hendak dirajutnya tiba-tiba patah. Pertanyaan Sahid menggoncang keras jiwanya. Gelombang pasang sedang mempermainkan hatinya. Padahal Nunuk hanya ingin mendengar kata-kata indah dari laki-laki yang dilamarnya. Nyatanya, pendalamannya malah digoncang-goncang. Batinnya seperti sedang bermain perang-perangan. 

Tidak menyangka Sahid yang telah membawa jiwa Nunuk terbang ke dalam hatinya, justru masih harus menyelami sabda jiwanya yang disembunyikan. Sebaliknya, cara bicara dan cahaya matanya mampu mengungkapkan apa yang tersembunyi dalam jiwanya. Pancaran mata dia seolah-olah dapat menembus apa yang Nunuk rasakan. 

Untuk menjawab kata-kata Sahid rasanya sulit. Di satu sisi perasaan Nunuk tercabik-cabik. Di sisi lain, perasaan itu tercabik-cabik akibat ulahnya sendiri. 

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Nuk!” Sahid mengingatkan. 

“Aku tidak tahu soal pengorbanan, Mas. Aku sudah lama tersesat. Karena itu, aku minta kau menuntunku.” 

Nunuk sangat berharap Sahid mau jadi pelindungnya. Dia juga berkhayal jalan hidupnya akan berubah jika dapat menemukan pendamping hidup. Dengan begitu lengkap sudah penderitaannya. 

Seperti dapat menyelami jiwa Nunuk, Wali Allah itu kembali bertanya, “Untuk apa kamu menikah, Nuk?” 

Nunuk memandang Sahid, lalu berkata dengan suara tenang, hingga tidak terlihat kesedihan yang sedang menimpanya. 

“Aku butuh pendamping hidup, Mas!” Seru Nunuk. 

“Peliharalah anak yatim. Peliharalah sodaqohmu. Peliharalah amalmu. Ajari anak-anakmu dengan ilmu bermanfaat. Itu akan menjadi pendamping hidupmu di akherat. Itu yang akan menyelamatkanmu dari siksa api neraka.” 

“Aku butuh seseorang yang bisa menjadi penuntun hidupku, Mas!” 

“Kau butuh guru mursyid. Dia akan membimbing, mendidik, dan menempamu,” sahut Sahid. 

“Aku butuh ketenangan batin, Mas. Sehingga dapat mengisi kekosongan hatiku.” 

“Tidak perlu menikah agar batinmu tenang. Dzikir saja terus, batinmu akan tenang.” 

Kata-kata Nunuk dibantah lagi oleh Sahid. 

“Aku butuh pelindung yang dapat menjagaku setiap saat.” 

“Apakah kau takut dengan jin, aku bisa menyingkirkan jin-jin yang menganggumu tanpa perlu kita menikah.” 

“Aku ingin bisa mencintai dan dicintai lagi seperti orang-orang pada umumnya. Aku ingin merasakan kasih sayang.”

“Kamu sudah punya orangtua yang selalu mencintaimu sepanjang hayat. Cinta kasih orangtua tidak lekang oleh waktu. Kamu juga punya anak-anak sholeh dan sholehah. Dengan ilmunya, mereka senantiasa mendoakanmu karena cintanya padamu. Kamu akan dicintai oleh orang-orang terkasihmu.” 

“Aku ingin menjaga diri dari pandangan dan memelihara kemaluan agar tidak disesatkan oleh syahwat.”

“Kalau itu tujuanmu, maka berpuasalah!”

“Aku mendambakan kehidupan yang indah. Merasakan hakekat cinta dan keindahan, keluhuran dan kebaikannya.”

“Kamu semakin jauh berkhayal, Nuk!” 

Semua kata-kata Nunuk terus-terusan ditangkis oleh Sahid. 

“Apakah salah aku berkhayal soal cinta, Mas. Semua tujuanku selalu salah di matamu!” Nunuk berusaha mengelak. 

“Aku tidak menyalahkanmu. Hanya saja dogma cintamu itu membuat doa-doa kehilangan makna. Doa-doa tersurat dan tersirat akan berantakan. Kemudian doa-doa itu menjadi sampah. Jika cinta kau logikakan, maka kau akan selamanya terpenjara di dalamnya. Kesucian jadi bahan tertawaan. Kebenaran jadi mimpi-mimpi belaka. Tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bukan. Jika cinta kau anggap barang dagangan seperti hal-hal yang kau katakan tadi, maka dunia tinggal menunggu kehancurannya.”

Tanpa sadar airmata Nunuk meleleh mendengarkan kata-kata Sahid. Tubuhnya menggigil hebat, Tidak tahu lagi harus berucap apa. Sebentar matanya terpejam. Sulit mengenangkan rahasia alam. Semua surat-surat yang termaktub di dalamnya tidak bisa diurai. Kusut. 

Di saat perasaannya sedang berkecamuk, Sahid lantas berkata lirih padanya, “Nuk, apa yang kamu mau?” Pertanyaan sama yang diulang-ulang. 

Nunuk tetap membisu. Tidak mampu dia mengucapkan sepatah kata pun. Lidahnya tercekat mengurai antara keinginan, harapan dan khayalan. Alam akal, alam pikir, dan alam hatinya menjadi dinding penutup terhadap yang haq.  

Sahid menunggu jawaban Nunuk. Matanya menatap tajam. Berharap agar Nunuk mampu membongkar dinding-dinding tebal itu. Sehingga terbukalah hijab yang menutupi. Dengan begitu rahsanya akan mengenal, mengetahui, dan menyaksikan cinta kasih.    

“Apa yang kamu mau, Nuk?” Sekali lagi Sahid bertanya. 

Lalu dari bibir mungil itu meluncurlah jawaban tanpa keragu-raguan. 

“Allah.”

Ya, jawaban Nunuk merupakan sebuah keyakinan seyakin-yakinnya tanpa terbendung oleh lain-lainnya. Dia tidak lagi menggunakan nafsu, akal, dan budinya. Rahsanya kini sedang menuju pada sirullah. 

“Maka dengan ini aku bersedia menikahimu,” jawab Sahid.