Memenangkan Kejujuran, Menggembirakan Keadilan

Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E)/Net
Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E)/Net

PRIHATIN sekali. Selevel xxx... gak ngerti JC (justice collaborator). Gak bisa bedakan dengan WB (Whistleblower). Gak paham UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedih. Parah negeri ini". (WA salah satu kawan saya mantan Kabareskrim Mabes Polri).

Demikian beberapa ekspresi keprihatinan publik soal tuntutan 12 tahun penjara jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) yang disebut menembak Brigadir Josua (Brigadir J) atas perintah Ferdy Sambo (FS) yang saat itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.

Selain Bharada E, tiga terdakwa lainnya: Putri Candrawathi (PC), Ricky Rizal (RR), dan Kuat Ma'ruf (KM) dituntut lebih ringan, delapan tahun penjara. Sedangkan FS dituntut hukuman penjara seumur hidup.

Peristiwa pembunuhan (skenario awal: "tembak-menembak") disebut terjadi lantaran adanya cerita sepihak dari istri FS, PC, yang mengaku dilecehkan oleh Brigadir J di Magelang pada 7 Juli 2022. FS kemudian marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J yang melibatkan Bharada E, RR, dan KM. Hingga akhirnya, Brigadir J tewas dieksekusi di rumah dinas FS di Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022.

Keprihatinan publik tersebut bukan tanpa sebab. Bharada E merupakan saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang telah direkomendasikan secara resmi oleh lembaga negara yang berwenang menurut UU, LPSK. Lalu, apa itu JC?

Mengenal JC

JC pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekira 1970-an. Dimasukkannya doktrin tentang JC sebagai norma hukum di Amerika Serikat dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. Oleh karena itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas JC berupa perlindungan hukum. Kemudian terminologi JC berkembang selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).

Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption-UNCAC) dilakukan kerjasama internasional sebagai ikhtiar untuk menekan angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara.

Salah satu hal yang diatur dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan istilah JC.

Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 7/2006 tentang Pengesahan UNCAC, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Pengaturan JC dalam Hukum Nasional

Dalam sistem hukum nasional, JC diatur dalam UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU 31/2014 (perubahan atas UU 13/2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Dalam realitasnya, regulasi tersebut masih belum memberikan pengaturan yang proporsional. Akibatnya, keberadaan JC bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum. Misalnya, pada kasus rekomendasi LPSK terhadap Bharada E sebagai JC yang disebut menembak Brigadir J atas perintah FS, JPU belum sepenuhnya mengakomodir rekomendasi LPSK dalam tuntutannya terhadap Bharada E sebagai JC.

SEMA 4/2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Kelahiran SEMA itu diperuntukkan kepada hakim sebagai pedoman dalam menjatuhkan pidana kepada JC dengan beberapa kriteria: 1) Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut; dan 2) JPU telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.

Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan: 1) Pidana percobaan bersyarat dan atau; 2) Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.

Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut belum mengikat Penyidik maupun Jaksa. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa JC mendapatkan perlakuan khusus.

Selain SEMA, ada juga Peraturan Bersama 11/2011, yang mana peraturan tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum. Namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah penanganan khusus bagi JC. Perwujudan dari penanganan khusus bagi JC juga yang tidak jelas (clear), seperti terlihat pada Pasal 6 ayat (3). Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak JC, dalam praktiknya tidak mendapatkan penanganan khusus.

Atas kerumitan norma yang ada tentang JC, maka UU 13/2006 direvisi dengan UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pada Pasal 10. Pasal 10 UU 31/2014 disebutkan, (1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik, dan (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian dalam Pasal 10A disebut, 1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan, dan 2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: (1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya; (2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau (3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Dan, (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa: (1) Keringanan penjatuhan pidana; atau (2) Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. Dan, untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Dalam penjelasan Pasal 10A ayat (3) huruf a ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan "keringanan penjatuhan pidana" mencakup pidana percobaan, atau pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.

Meskipun norma JC telah diatur dalam UU 31/2014, namun masih saja ditemukan problem dalam pelaksanaannya. Salah satu problem adalah soal pengajuan permohonan JC ke LPSK. Padahal sudah jelas, satu-satunya lembaga negara yang punya mandat UU soal JC adalah LPSK. Namun mungkin karena kurang literasi atau egosektoral, masih sering terjadi salah paham atau pahamnya salah soal JC. Misalnya, jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai JC diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya?

Dalam praktik, ada tiga perlakuan atas problem di atas. Pertama, permohonan sebagai JC diajukan kepada KPK. Kedua, untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan sebagai JC atau tidak, keputusannya ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan ketentuan JC menjadi sangat subjektif. Dan, LPSK sering dipertanyakan kewenangannya dalam merekomendasikan seseorang layak tidaknya menjadi JC.

Surat rekomendasi LPSK terhadap JPU belum pasti dimasukkan dalam tuntutan sebagai yang meringankan seorang JC. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak mengikat hakim. Surat rekomendasi LPSK kepada pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman seorang JC.

Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk mendapatkan remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada JC tidak serta merta menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya.

Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang JC tidak melekat dalam revisi KUHAP, maka masih akan ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system (CJS). LPSK harus ditempatkan dalam CJS tersebut, sehingga keberadaan LPSK bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bersama lembaga-lembaga penegak hukum (LPH) yang ada.

Positioning LPSK tidak berbeda dengan LPH, sama-sama memiliki kewenangan. Dengan demikian rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK hanya memiliki satu opsi: "harus dipatuhi". Tidak seperti sekarang, dua opsi: “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.

Ujian Kejujuran

Masih terbayang betapa ruang sidang PN Jaksel bergemuruh teriakan ketika JPU menuntut 12 tahun penjara terhadap Bharada E. Teriakan juga riuh terdengar saat JPU menunut tiga terdakwa lainnya: Ricky Rizal (RR), Kuat Maruf (KM), dan terutama Putri Candrawathi (PC) yang dituntut lebih ringan, delapan tahun penjara.

Hal tersebut tentunya bukan tanpa sebab. Publik tahu dan meyakini Bharada E merupakan JC dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Sebagai JC, sejatinya Bharada E yang telah membongkar perkara kematian Brigadir J mendapatkan penghargaan.

Bila orang yang menjadi JC tidak mendapat penghargaan semestinya, dikhawatirkan di kemudian hari orang enggan menjadi JC. Ini lonceng kematian bagi pembangunan hukum pidana modern. Padahal, peran JC sangat penting untuk mengungkap tuntas suatu perkara demi terangnya peristiwa.

LPSK, sebagai Lembaga Negara yang berwenang merekomendasikan JC terhadap Bharada E, menyampaikan kekecewaan karena rekomendasinya dinilai dikesampingkan oleh JPU.

Padahal LPSK sudah mengingatkan bahwa Bharada E sebagai JC sudah menunjukkan komitmennya dan konsistensinya mengungkap kejahatan ini secara terang-benderang.

Publik meminta Jaksa Agung merevisi tuntutan 12 tahun penjara terhadap Bharada E. Revisi itu bisa dilakukan bila Jaksa Agung peka dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat.

Sekedar menyebut contoh teladan dalam konteks ini adalah kasus di Kerawang pada 2021. Tuntutan pernah direvisi oleh JPU dalam persidangan. Kasus tersebut adalah kasus ibu rumah tangga, Valencya atau Nengsy Lim asal Karawang, Jawa Barat.

Awalnya, JPU menuntut Valencya dengan satu tahun penjara atas perbuatannya mengomeli suaminya yang pulang dalam keadaan mabuk. Namun kemudian dengan kepekaan mendengar keadilan publik, JPU merevisi tuntutan tersebut dan mengganti tuntutan dengan tuntutan bebas.

JPU sejatinya dalam memberikan tuntutan, bukan hanya merasa serba bisa karena punya kewenangan jaksa. Tapi juga bisa merasa rasa keadilan korban dan publik agar tuntutan tidak mencederai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Penutup

Pentingnya perlindungan khusus, perlakuan khusus, dan pemberian penghargaan bagi seorang JC, menjadi hal yang sangat penting untuk dapat membuat sebuah peristiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang menderang.

Namun untuk mewujudkan misi suci keadilan yaitu membuat terangnya peristiwa dan penyelesaian tindak pidana secara berkeadilan, regulasi yang ada saat ini dinilai belum mendukung. Demikian juga dengan keberadaan LPSK yang diberikan mandat oleh UU soal JC harus diperkuat.

Faktor hulunya, KUHAP harus mamasukkan norma yang tegas dan jelas mengenai hal ihwal JC. Mandat LPSK dalam memberikan status dan perlindungan bagi JC harus diperkuat. LPSK juga harus dimandatkan sebagai bagian dari criminal justice system. Dengan kelengkapan instrumen hukum maka keberadaan JC dapat mengungkap berbagai kasus pidana menjadi lebih terang.

Kasus Bharada E menjadi ujian kejujuran peradaban hukum Indonesia. Dengan kualitas ilmu hukum, ketajaman nurani, dan kekuatan spritual dari Yang Mulia Majelis Hakim yang menangani kasus Bharada E, kita boleh tetap menghadirkan keyakinan dan optimisme: Yang Mulia Majelis Hakim akan memutus yang berkeadilan bagi korban/keluarga korba, Bharada E, dan keadilan publik.

Bagi LPSK, Bharada E berhak mendapat keringanan hukuman. Opsinya hanya tiga: pidana percobaan, atau pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.

Apakah Indonesia kita berhasil memenangkan kejujuran? Jawabannya: kita tunggu dan do'akan kebijakan yang Mulia Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut. Wallahu A'lam.

Penulis adalah Wakil Ketua LPSK RI