Problematika dan Tantangan Umat Islam di Indonesia: Kini dan Esok

Direktur Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan/Net
Direktur Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan/Net

LUIS Andres Henao dari Associated Press menuliskan tentang Qatar, negara Islam di Jazirah Arab, dalam judul “Qatar offers World Cup visitors an introduction to Islam”, pada ABC News, 18/12/22.

Pada event kejuaraan sepak bola dunia (World Cup) tahun 2022, Qatar berusaha menyebarkan informasi Islam sebagai agama kebahagian kepada jutaan pengunjung asing yang datang kesana untuk menonton bola.

Informasi itu berupa bagaimana Islam mengajarkan kehidupan berkeluarga, menjalankan ibadahnya, menghargai orang lain, melihat Ka’bah secara virtual, sumbangan Islam dalam ilmu kedokteran, dan lain sebagainya.

Luis menggambarkan bahwa upaya itu setidaknya memberi dampak pada perubahan cara pandang pengunjung barat dan Amerika latin yang belum mengetahui Islam sesungguhnya. Qatar adalah sebuah negara berpenduduk Islam 65%, Hindu 15% dan Kristen 14%, dan sisanya berbagai kepercayaan lainnya.

Cerita di atas sekadar untuk mengomparasi dengan Indonesia, yang pada saat hampir bersamaan, November 2022, mengadakan acara internasional G20 Summit di Bali. Pertemuan Bali yang dihadiri belasan kepala negara, termasuk negara-negara super power, dan ribuan orang penting dari berbagai negara serta lembaga multilateral lewat begitu saja tanpa ada sedikitpun upaya mengenalkan Islam, yang merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia, lebih dari 85%.

Upaya menghadirkan budaya tertentu dalam tarian-tarian penyambutan tamu memang dilakukan, namun terkait kebudayaan Islam dan kehidupan masyarakat Islam tidak dilakukan sama sekali.

Bahkan, dalam perhelatan ini, tokoh Islam dan mantan ketua Majelis Ulama Indonesia, Wapres Maruf Amin, tidak mendapatkan kesempatan untuk hadir di Bali. Perbandingan ini penting untuk mencatat bahwa Islam sebagai representasi sebuah ajaran kehidupan di Indonesia tidak muncul dalam tataran internasional, saat ini.

Cerita Qatar di atas adalah sebuah kondisi ideal, di mana sebuah peradaban dari sebuah bangsa terkait erat dengan identitas masyarakat tersebut. Agama adalah ajaran yang membentuk peradaban, di dunia yang masih mengakui agama, seperti Qatar. Sebaliknya, kekuatan pikiran atau rasionalitas, menjadi pembentuk peradaban di barat selama 300 tahun belakangan ini.

Begitu juga di RRC sejak Partai Komunis memimpin negara tersebut. Negara-negara, seperti Indonesia, terjebak dalam ketidakpastian karena tidak memilih apakah menggunakan peradaban berbasis agama atau peradaban berbasis pikiran manusia. Ini adalah problematika dan sekaligus tantangan laten yang ada.

Dalam tataran yang lebih kontemporer, saat ini sesungguhnya umat Islam di Indonesia menghadapi banyak tantangan, antara lain 3 hal berikut: 1) Islamophobia, 2) Ketimpangan Sosial, 3) Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM).

Islamophobia adalah prasangka buruk terhadap Islam dan ajaran Islam oleh negara atau penyelenggara negara, serta sekelompok elite sosial lainnya. Mengapa ini bisa terjadi? Berbagai kalangan yang tidak percaya adanya Islamophobia di negara mayoritas Islam ini tidak melihat dari sisi Islam sebagai ajaran dinamis, disamping tentunya kelompok-kelompok yang memang membenci dominasi Islam sebagai ajaran kehidupan.

Orang-orang yang statis, melihat Islam hanya sebagai ajaran liturgis, sebagai ibadah personal kepada tuhan, sebagaimana disampaikan guru-guru mereka melalui kitab-kitab mereka. Berbagai fenomena baru, baik dalam istilah purifikasi, maupun dinamika penafsiran baru, karena berkembangnya sains dan teknologi, telah menghadirkan ajaran Islam dalam tafsir-tafsir yang dinamis.

Fenomena ini selalu ada dan terus menerus berkembang untuk menghadapi tuntutan jaman yang ada. Bahkan, seringkali pula sebuah tafsir yang dinamis mampu membangkitkan spirit baru dari pemeluk Islam.

Dr Imaduddin Abdurrahim, misalnya, beberapa dekade lalu, di Masjid Salman ITB, berusaha memberi tafsir kesesuaian Islam dengan sains dan teknologi. Hal ini memberi dampak bagi keyakinan mahasiswa di ITB dan lalu di Indonesia untuk menolak ajaran sekuler, yang memisahkan agama dan sains dan teknologi.  

Negara atau penyelenggara negara yang tidak suka dengan kebangkitan Islam, selalu berupaya mengintai (surveillance) berbagai perkembangan Islam dengan pendekatan yang bias, yakni untuk menghentikan kebangkitan Islam tersebut.

Elite-elite ekonomi, atau oligarki, yang tidak menginginkan Islam di Indonesia bangkit, tentu juga akan mensponsori pengebirian kemunculan Islam tersebut.

Hal itu yang saat ini, khususnya di era pemerintahan Jokowi, yang kita lihat menonjol, di mana penyelenggara negara dan segelintir elit ekonomi bersekutu menyingkirkan Islam dari panggung kekuasaan. Berbagai stigmatisasi radikal disuarakan oleh kekuatan mereka, baik melalui tangan negara maupun kekuatan media sosialnya (buzzer, dan lain-lain).

Kita misalnya, melihat narasi pembubaran acara ibadah agama tertentu di Lampung baru-baru ini, yang memperlihatkan seolah-olah umat Islam anti pada agama lain. Sayangnya, negara, dalam hal ini menteri agama, langsung menerima narasi yang menyudutkan Islam.

Padahal, seharusnya, urusan seperti itu, peranan negara adalah mendudukkan perkara dalam konstruk keadilan yang tidak memihak. Contoh-contoh lainnya yang ekstrem, seperti kriminalisasi dan penangkapan ulama, selain aktivis pro-demokrasi, sudah kita ketahui sepanjang beberapa tahun ini.

Melihat Islamphobia di Indonesia berbeda dengan melihatnya di negara barat, seperti di Amerika misalnya Di barat, Islamophobia terjadi karena persepsi mereka terhadap Islam sebagai ajaran yang rendah dan barbar, yang masih mengakar dari era kolonial dahulu.

Dalam skope negara dan global, Islamophobia di sana merupakan produk “proxy war”, yang sejak dulu dikembangkan barat untuk meracuni pikiran manusia tentang hierarki peradaban, di mana ajaran barat tentang peradaban merupakan model yang harus ditiru.

Kelompok-kelompok Islam, di barat, merupakan kelompok minoritas, yang umumnya datang ke sana sebagai masyarakat migrant. Kelompok ini sering mendapatkan perlakuan buruk.

Di Indonesia, Islamophobia sangat terkait dengan kecenderungan struktural penguasaan kekayaan alam dan berbagai aset strategis bangsa kita, sejak zaman kolonial. Segelintir orang-orang yang non-Islam merupakan pemilik kekayaan mayoritas bangsa, yang umumnya diperoleh dengan menyingkirkan prinsip-prinsip keadilan.

Ketakutan akan Islam bangkit karena Islam menjadi ajaran yang mengutamakan keadilan dan keberlanjutan. Jika Islam menjadi sumber ajaran bangsa, maka tidak mungkin ada lagi segelintir orang bisa mengendalikan perekonomian nasional.

Alhasil, segelintir elite ini, baik melalui tangannya menguasai negara, maupun kekuatan lainnya untuk memecah-belah, berusaha membuat Islam steril dari agenda kekuasaan. Islam hanya boleh hadir sebagai agama individual saja.

Strategi mereka antara lain saat ini dengan menarasikan “politik identitas”, untuk menyudutkan Anies Baswedan yang berpotensi mengasosiasikan diri pada kebangkitan Islam.

Tantangan kedua umat Islam adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial. Oxfam, sebuah NGO Internasional berbasis di Inggris, 2017, mamaparkan temuannya bahwa ada 4 orang terkaya di Indonesia yang kekayaannya setara dengan 100 juta orang terbawah di Indonesia.

Segelintir orang-orang terkaya dan 1 persen lapisan kaya lainnya di Indonesia, menguasai berbagai aset strategis, berupa tanah-tanah perkotaan maupun perkebunan, tambang dan hutan.

Mereka juga adalah pemilik rekening bank-bank dan mengendalikan perputaran uang di Indonesia. Sebagian mereka disebutkan mempunyai belasan ribu triliun di luar negeri, yang terungkap dari penyelenggaraan “tax amnesty” beberap saat lalu. Mereka tersebut, dalam “World On Fire”, karangan Professor Amy Chua, adalah kelompok minoritas, yang artinya bukan umat Islam.

Ketimpangan ini akan terus berkembang dan berkembang karena model pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada jalan neoliberal. Return to Capital yang dihasilkan dari perputaran uang mereka akan membuat mereka kaya berkali-kali lipat.

Model pembangunan neoliberal, yang menyerahkan sepenuhnya pada kompetisi pasar bebas, akan semakin mencekik kehidupan umat. Akhirnya, sebagaimana dilansir ADB Bank, 2018, ada 22 juta orang Indonesia yang mengalami kesulitan makan. Mereka tentu saja mayoritasnya umat Islam.

Tantangan ketiga umat Islam adalah kualitas sumberdaya manusia. Jika Indonesia membandingkan diri pada Malaysia dan Turki, berbagai universitas di sana telah memasuki kelas internasional, sejajar dengan universitas di Eropa dan Amerika. Berbicara universitas ini sekadar untuk melihat bagaimana potret pendidikan.

Keberhasilan pada tingkatan perguruan tinggi menjadi cermin keberhasilan pada strata pendidikan sebelumnya. Kita melihat kasus jual beli kursi masuk mahasiswa di Universitas Lampung, baru-baru ini, merupakan indikator penting bahwa pendidikan kita sangat buruk.

Secara umum struktur pendidikan SDM kita juga di dominasi kelompok masyarakat berpendidikan rendah (SD dan SMP). Struktur ini juga merupakan cermin struktur industri di Indonesia, di mana industri kita tetap saja didominasi oleh tenaga kerja non-skill labour.

Dari ketiga tantangan di atas, kita melihat bahwa perjalanan umat Islam di Indonesia untuk bangkit masih merupakan jalan panjang. Namun, optimisme untuk berubah ke arah yang lebih baik harus tetap diikhtiarkan. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menciptakan adanya sebuah negara yang kembali berfungsi untuk keadilan sosial.

Jika negara dikawal untuk menjalankan fungsinya menyejahterakan rakyat, maka otomatis ajaran Islam dan spirit kebersamaan yang berbasis Islam mendapatkan porsi penting sebagai pembentuk peradaban.

Islam, misalnya, memberikan ajaran solidaritas sosial yang tinggi, yang mirip di negara-negara “welfare state”, di mana setiap individu tidak takut tersingkir dalam kehidupan sosial ekonomi, karena negara akan bertanggung jawab terhadap mereka. Jika ini diterapkan, atau bisa terwujud, maka budaya korupsi dan KKN lainnya akan tereduksi dengan cepat.  

Semangat umat Islam merebut kembali kendali dalam menjalankan kehiduan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan cita-cita proklamasi terlihat sangat tinggi saat ini. Sikap kritis umat Islam terlihat sangat kencang. Dan ini menunjukkan bahwa tanda-tanda kebangkitan umat Islam sedang berproses.

Ini tergantung bagaimana kita mengelolanya agar proses itu tidak menjadi layu sebelum berkembang. 

Direktur Sabang Merauke Circle.