What If...? 

Anies Baswedan saat berdialog dengan para pemimpin media di Surabaya/RMOLJatim
Anies Baswedan saat berdialog dengan para pemimpin media di Surabaya/RMOLJatim

ANIES Baswdedan seperti magnet. Selalu menyita perhatian publik. Banyak yang berebut minta foto. Tak terkecuali wartawan. Yang biasanya memotret, malah berebut minta dipotret bersama bakal calon presiden yang diusung Partai Nasdem.

Mungkin bukan wartawan saja. Di luar sana pasti ribuan orang berebut foto jika berjumpa Anies. Sosoknya lebih menyerupai artis ketimbang politisi. 

Anies sendiri tidak keberatan menjadi 'bulan-bulanan' warga yang meminta foto dengannya. Mau foto bareng atau selfie, semua dilayani. 

Kesabaran tinggi yang ditunjukkan Anies menghadapi pendukungnya patut diapresiasi. Persis ketika dia menghadapi hinaan, hujatan hingga fitnah para netizen +62 yang menduduki ranking 4 terburuk di dunia. Semua dihadapi dengan senyuman. Dan memang seperti itulah sosoknya. 

Pun saat melayani pertanyaan-pertanyaan para pemimpin media di Surabaya. Anies menunjukkan kelasnya. 

Malam itu, Jumat (17/3) ba'da Isya, Anies yang difasilitasi Partai Nasdem, menggelar dialog dengan sejumlah pemimpin media di Ballroom Shangri-la Hotel. 

Bagi Anies, pertanyaan wartawan-wartawan senior lebih berat ketimbang ujian meraih gelar doktor. Tapi, dia senang. Senang karena bisa berdialog dengan jurnalis senior. 

Dari semua pertanyaan yang dilontarkan, kira-kira inti pertanyaannya soal "What if...Anies becoming president?". Apa yang akan dilakukan Anies seandainya terpilih menjadi presiden? 

Semua dijawab Anies dengan baik. Jawabannya tidak membuat yang bertanya kecewa. Sebaliknya membuat tersenyum bagi yang mendengarnya. 

"I am not asking you to like me...(saya tidak meminta Anda menyukai saya)," katanya. 

Ya, kata-kata ini selalu disampaikan Anies saat bertemu dengan pendukungnya. Kata-kata ini yang selalu diadopsinya manakala menjadi Gubernur DKI: I am not asking you to like me, i am asking you to help Jakarta. 

Secara substansi, dia ingin menyampaikan pada banyak pihak untuk tidak memilih kucing dalam karung. Seorang pemimpin tidak bisa dilihat sesaat saja alias berdasarkan hasil survey. Melihat orang tentu harus dari rekam jejaknya, dari pikiran-pikirannya, dari rencana-rencannya. Sehingga tidak sekedar masyarakat disuruh bayar pajak dan nyoblos saat Pemilu. 

Anies tidak pernah mengklaim keberhasilannya memimpin Jakarta hasil dari kerjanya seorang diri. Sebab yang terlibat membangun Jakarta sangat banyak. Mulai warga, aktivis, NGO, pakar, hingga fasilitator. 

Itu bukan pekerjaan one men show, katanya. Tidak ada pemimpin yang superhero. Yang ada adalah avangers. Hasil kolaborasi semua unsur dalam membangun ibukota.  

Karena itu, Anies ingin mengembalikan spirit negeri sebagaimana spirit pendiri negeri melalui pergerakan. Bukan melulu pendekatan programatik semata. Melainkan progamatik disertai pergerakan. Bahwa pendiri bangsa ini sejatinya adalah orang-orang pergerakan. 

Dia lantas menceritakan perjalanan keluarganya dari Surabaya pindah ke Yogyakarta. 

Anies memang tidak asing dengan Kota Pahlawan. Kakeknya AR Baswedan lahir di Surabaya pada 9 September 1908 dan meninggal di Jakarta pada 16 Maret 1986.  

Abdurrahman asli Arek Suroboyo. Dia termasuk tokoh yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Abdurrahman pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia bersama pendiri bangsa terlibat aktif menyusun UUD 1945.

Presiden Jokowi kemudian menetapkan AR Baswedan sebagai pahlawan nasional pada November 2018. Keputusan ini tertulis dalam Keputusan Presiden Nomor 123/TK/2018, dengan pedoman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

"Surabaya hulunya keluarga kita. Kakek saya asli Surabaya. Besar di Surabaya. Tinggal di Surabaya. Bahasanya Surabaya. Dari hidup yang nyaman di Surabaya kemudian pindah ke Yogya. Kami tidak memiliki apa-apa, tidak punya rumah. Semua itu demi perjuangan," cerita Anies.

Justru dari sinilah Anies terinspirasi. Dia memutuskan terjun ke dunia politik karena teringat perjuangan pendiri bangsa yang tak kenal lelah melakukan pergerakan. 

Anies meyakini bahwa dalam setiap pergerakan, akan dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik.    

Karena itu jika Anies menjadi presiden, dia tidak berkiblat ke Amerika maupun Tiongkok, sebagaimana menjawab pertanyaan audiens. Kiblatnya tetap Republik Indonesia. 

Nasional interest itulah yang harus dikuatkan. Tidak didikte bangsa lain. Tidak diatur-atur bangsa lain. Tidak dibodohi bangsa lain. 

"Kita ikut pada kepentingan nasional," tegasnya singkat tapi dalam.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim