Akuntansi Beras

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

INDONESIA adalah negara maritim dan agraris. Luas lautnya melebihi luas daratannya. Oleh karena itu, potensi lautnya luar biasa. Akan tetapi, potensi daratannya juga tidak kalah potensialnya.

Potensi keduanya selalu menjadi topik yang tidak pernah ada habisnya untuk dibahas dan dikaji. Baik soal pemanfaatannya serta tata kelolanya yang belum maksimal. Belum digarap sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat seperti amanat Undang Undang.

Bahkan seringkali keduanya salah kelola sehingga hanya dinikmati hanya segelintir orang. Jika kita amati, khususnya pada masa Menteri Kelautan Pudjiastuti banyak sekali pelanggaran di bidang kemaritiman. Entah kasus internasional maupun nasional, misalnya perampokan ikan oleh negara tetangga mau soal impor lobster yang tidak sesuai aturan yang berlaku. Banyak merugikan kaum nelayan di Indonesia.

Sedangkan dalam pengelolaan daratan, potensi tambang masih menjadi isu populer. Apalagi banyak sekali kasus tambang ilegal hingga banyak pejabat daerah yang harus berdiam di balik jeruji besi akibat kasus suap soal izin tambang.

Yang tidak luput dari isu populer adalah tata kelola bidang pertanian di negeri ini, khususnya soal beras. Isu beras masih menjadi persoalan pelik yang tidak kunjung menemukan formulasi yang komprehensif. Baik soal pemenuhan stok konsumsi dalam negara, maupun kebijakan impor beras yang dispekulasikan sebagai permainan mafia.

Sebut saja Andi Amran Sulaiman yang dianggap salah satu Menteri Pertanian yang paling berhasil era periode pertama Jokowi dalam mengelola pertanian di Indonesia. Dia putera asli Sulawesi Selatan (Sulsel), sebagai Provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia, tapi belum cukup menemukan benang kusut dalam pengelolaan beras. Di eranya pernah swasembada beras, akan tetapi tidak berkelanjutan hingga masalahnya kembali lagi seperti semula.

Nah, sekarang tanggungjawab tersebut kembali diberikan oleh putera Sulsel Syahrul Yasin Limpo, tapi kembali belum bisa meramu stabilitas persediaan beras dalam negeri. Apalagi mau melakukan swasembada beras.

Jika diamati dari berbagai pemberitaan dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Menteri Pertanian di DPR RI, pengelolaan beras di Indonesia seperti lingkaran setan yang tidak ada penyelesaian komprehensif. Selalu aja masalah kembali berulang.

Meskipun baru-baru ini Presiden Jokowi hadir dalam panen raya di Kabupaten Maros, saya kira belum menjadi solusi bagi persoalan beras dalam negeri. Karena mengatasinya tidak cukup hanya di hilir saja melainkan dari hulu ke hilir.

Menganalisa solusi persoalan beras di Indonesia memang cukup ruwet jika tidak dilihat secara sistematis. Salah satu poin penting menurut saya, kenapa persoalan beras tidak kunjungan terselesaikan? Karena tidak mampu didudukan oleh pemegang kebijakan secara utuh. Sehingga langkah-langkah yang diambil cenderung reaktif dan reaksioner. Tidak mampu menyelesaikan persoalan hulu dan hilir.

Oleh karena itu, soal beras harus diselesaikan dengan kebijakan secara sistematis. Sehingga, kebijakan tersebut juga bisa menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan bagi petani, yang juga belum pernah terselesaikan. Dalam analisa saya, persoalan pelik tersebut bisa diurai dengan siklus sebagai berikut.

Pertama, siklus pembibitan; kedua, siklus lahan dan penggarapan; ketiga, siklus penanaman dan pemeliharaan; dan keempat, siklus pemanenan dan distribusi beras.

Keempat siklus tersebut tidak lepas dari biaya produksi yang harus diperhitungkan. Menurut saya, disinilah benang merah persoalan beras, yang kemudian saya sebut dengan akuntansi beras.

Dengan mengurai siklus akuntansi beras, akan memperoleh gambaran bagi pemerintah terhadap pos-pos yang perlu diintervensi dengan kebijakan. Tentu tidak cukup oleh Menteri Pertanian saja. Banyak pihak yang harus terlibat sesuai dengan tupoksi masing-masing berdasarkan empat siklus tersebut.

Kenapa saya mengambil istilah akuntansi beras atau siklus akuntansi beras? Karena saya yakin bahwa intervensi paling efektif oleh negara kepada suatu persoalan adalah anggaran. Dan pemanfaatan anggaran hanya bisa efektif, efisien dan solutif jika pemetaan persoalannya sistematis dan dapat diukur.

Keempat siklus di atas adalah pemetaan yang sistematis terhadap persoalan beras di Indonesia. Uraian setiap siklus akan didetailkan pada tulisan berikutnya.

*Penulis adalah Ketua Program Studi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia