MK dan Demokrasi Para Demagog

Qomaruddin/Net
Qomaruddin/Net

GUGATAN pada Mahkamah Konstitusi tentang sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup, memberikan dampak pada kondisi politik yang cukup tidak baik dan merusak tatanan demokrasi di negeri ini.

Bisa kita bayangkan, dengan adanya gugatan di MK tentang proporsional terbuka ke proporsional tertutup yang sampai saat ini tidak kunjung jelas keputusannya, membuat publik ikut memperbincangkan hal tersebut secara massif.

Gugatan di MK tentang proporsional terbuka menjadi tertutup semakin hari semakin panas untuk didiskusikan. Bahkan, arus penolakan pun semakin kuat dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, aktivis, akademisi sampai pengamat politik dan masyarakat arus bawah. Mereka mengangap bahwa para hakim MK dalam merespon para penggugat tersebut terkesan politis dan tidak terefleksi pada sejarah tentang amanat reformasi.

Obrolan dan diskusi tentang hal tersebut mencuat seantero Republik Indonesia mulai dari elit politik sampai masyarakat bawah, mereka beranggapan bahwa sumirnya masalah ini dikarenakan para hakim MK membuat masalah ini berlarut-larut menjadi tidak jelas.

Melihat situasi yang tidak menentu tentang demokrasi di negeri ini, akhirnya kita bisa membenarkan apa yang dikatakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi akan menuju pada kematiannya jika negeri ini dikendalikan oleh para penguasa (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut, memanipulasi, dan membangkitkan semangat rakyat yang hanya berorientasi pada pengkooptasi kekuasaan saja (Para Demagog).

Selain itu, terjadinya Democracy is death adalah munculnya para demagog, yang kedua adalah bagaimana para penegak hukum semua dalam kendali para penguasa atau yang sekarang disebut oligarki. Lebih sederhananya, Steven mengatakan bagaimana caranya menangkap para wasit agar semua permainan mereka yang bisa mengatur.

Apa yang dikatakan oleh Steven bahwa untuk mensukseskan peran para demagog atau oligar, para penegak hukum harus dalam pengendalian mereka. Dengan hal tersebut para demagog akan leluasa untuk mengatur kekuasaan.

Berikutnya untuk melanggengkan kekuasaan dalam cengkramanya, Steven mengatakan siapapun kompetitornya harus di habisi, masalah ini juga menerpa negeri kita, yaitu dalam rangka menjelang pemilu 2024 ada upaya yang sangat kuat dari penguasa untuk mengahabisi kompetitornya.

Anies Baswedan merupakan calon yang dianggap kompetitor kuat dalam konteks capres pada pemilu 2024. Di mana salah satu partai pendukungnya adalah Demokrat.

Untuk mengamputasi dukungan terhadap Anies Baswedan, para demagog dan oligar meluncurkan KSP Moeldoko untuk dijadikan instrumen dalam rangka mendongkel Mas AHY sebagai ketua Umum Partai Demokrat sah hasil kongresyang konstitusional.

Hal ini dilakukan untuk menghabisi kompetitor. Sehingga, kekuasaannya bisa tetap dikooptasi dan dalam kendali para demagog dan oligarki.

Selain gerakan menghabisi kompetitor, matinya demokrasi juga ditandai dengan mengubah peraturan. Peraturan diubah dalam rangka mengakomodir kepentingan para demagog dan oligarki serta mempersulit para kompetitornya.

Hal ini sekarang berlangsung di negeri ini, yaitu terjadinya gugatan di MK untuk merubah UU 7/2017 tentang Pemilu, spesifik tentang sistem terbuka menjadi tertutup.

Beberapa fenomena tersebut di atas merupakan penyebab terjadinya demokrasi yang mati, busuk, dan beku. Sehingga demokrasi menjadi tidak berkualitas, tentunya juga akan menghasilkan produk-produk yang juga tidak berkualitas.

Untuk itu dalam rangka mengcounter kebejatan demokrasi yang dipromotori para demagog. Perayaan kesadaran publik harus dibangun secara cepat dan masif. Penting juga membangun kesadaran publik secara progresif agar kontrol sosial pada masyarakat segera menemukan bentuknya dengan segala macam daya kritisnya.

Daya pikir yang mampu menganalisis dan mengidentifikasi segala macam peristiwa politik dengan berbagai kesalahan dan kebejatannya, kritisisme publik ini harus ditumbuhkan agar kita bisa keluar dari keadaan yang cukup menyulitkan ini.

Publik sudah cukup sabar dengan janji-janji metamorgana dan kebijakan yang tidak menguntungkan baginya, maka wajar jika sekarang publik menjadi kontrol sosial yang kritis dan progresif.

Porsi ini sangat penting untuk diperkuat, agar para demagog ini tidak selalu semena-mena dalam menentukan kebijakan.  maka kata yang ideal untuk disematkan adalah LAWAN.

*Penulis adalah Sekretaris DPC Partai Demokrat Lamongan.