Surabaya Tidak Masuk Smart City, Benarkah Masyarakat Dirugikan?

AH Thony saat acara talkshow/RMOLJatim
AH Thony saat acara talkshow/RMOLJatim

Tak masuknya Kota Surabaya menjadi smart city versi IMD Smart City Index (SCI) seharusnya menjadi pukulan berat bagi Pemerintah Kota (Pemkot) setempat. 


Pasalnya, tidak masuknya Surabaya menjadi salah satu smart city menunjukkan adanya permasalahan dengan Kota Surabaya saat ini.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, AH Thony menilai, tidak terpilihnya Kota Surabaya menjadi smart city karena masih belum adanya Pemerintahan memberikan peran pada masyarakat agar lebih berdaya.

"Kami yang ada di pemerintah kota menganggap ada variabel peran serta masyarakat yang kurang diperhatikan dalam parameter smart city. Seharusnya smart city memberikan ruang kepada masyarakat agar lebih berdaya," kata AH. Thony dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (27/6).

Senada dengan AH Thony, Pengamat Tata Kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Putu Rudy yang juga menjadi pembicara talkshow, menyebut jika penilaian smart city versi IMD itu berdasarkan pengalaman warga. 

Bukan berdasarkan pemerintah kota sebagai pemberi layanan. Seperti misalnya saja, layanan kependudukan bisa dilakukan secara online, tapi seberapa jauh warga sudah dapat menggunakan layanan public berbasis ini.

"Warga mengetahui terdapat layanan kependudukan online. Tetapi mereka tidak menggunakannya karena layanan tersebut tidak reliable atau warga tidak affordable (mampu) menggunakan karena internet mahal. Itu sudah memberikan penilaian buruk bagi IMD," jelas Putu.

"Jadi Pak Walikota harusnya tidak bilang, ah biar saja, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik. Ini menunjukkan Pak Wali tidak tahu mengukur layanan yang optimal kepada warganya," imbuh Putu. 

Tidak heran jika kemudian di mall layanan publik di Surabaya orang masih berjubel untuk minta layanan administrasi yang malah menimbulkan inefisiensi. 

Kata Putu, seharusnya Pemerintah kota Kota Surabaya harus mulai menyediakan zona-zona internet gratis untuk warganya agar dapat mengakses layanan administrasi Pemerintah kota Kota Surabaya.

"Pemerintah kota Kota harusnya mengaku jika ternyata layanan ini belum begitu efektif karena belum dikonsumsi optimal oleh warganya," ungkap Putu.

Pembicara lain, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Riant Nugroho menyebut kebijakan publik yang baik adalah bukan bagaimana menghebatkan pemerintah kota, tapi bagaimana warganya menjadi hebat.

"Kalau orientasinya menghebatkan pemerintah kota, maka itu seperti pemerintah kota feodal," ujar Riant Nugroho.

Salah satu manifestasi "menghebatkan" pemerintah kota bisa dilihat dari pemerintah kota daerah yang berlomba untuk mendongkrak Pendapatan Asli. 

"Sebesar-besarnya mencari pendapatan untuk pemerintah kota. Padahal di Jepang pemerintahannya sedang berlomba-lomba menurunkan pajak untuk menarik investasi," ujarnya.

Jadi, kata Riant, besarnya PAD seharusnya tidak menjadi salah satu patokan sebuah pemerintah kota daerah itu sukses.

Orientasi bagaimana harus membesarkan PAD ini ternyata juga dilakukan oleh Pemerintah kota Surabaya melalui Perda 5 tahun 2017 tentang penyelenggaraan jaringan utilitas dan Perwali 1 Tahun 2022 tentang Formula Tarif Sewa BMD Berupa Tanah dan/atau Bangunan . 

Dalam perwali ini mewajibkan para penyelenggara jaringan untuk membayar sewa yang tinggi dalam membangun infrastruktur digital. 

Pengenaan sewa yang mahal ini sudah tidak sejalan dengan marwah Perda tersebut yang seharusnya adalah membangunkan infrastruktur pasif yang dapat digunakan bersama bukan hanya sekedar mengenakan sewa tanah. 

"Ini yang memberatkan teman-teman penyelenggara jaringan telekomunikasi di Surabaya untuk menyediakan internet gratis di tempat-tempat publik, seperti sekolah, rumah sakit atau halte-halte," kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Jerry Siregar.

Kata Jerry untuk menjadikan Surabaya sebagai smart city, bukan hanya dari pemerintah kotannya saja. Tapi juga harus dibangun dari warganya agar memiliki smart thinking.

Selain itu perwakilan Wakil Ketua Bidang Teletopic Masyarakat Telematika (Mastel) juga menyebutkan terdapat disharmonisasi terhadap pembentukan regulasi pungutan. 

“Pengaturan pungutan itu menurut UUD 1945 harus diatur berdasarkan UU, jadi apabila terdapat Perda atau Perwali yang membuat adanya kewajiban pungutan baru seperti membayar sewa tanpa ada dasar Undang - Undang di acu maka Perda atau Perwali tersebut perlu ditinjau kembali”. Selain itu, masih terdapat kerancuan pemahaman mana yang disebut Retribusi dan mana sewa” ujarnya. 

Menurutnya, lanjut Jerry, penyelenggara jaringan itu tidak anti bayar, asalkan terdapat dasar yang jelas. 

Beda halnya jika Pemkot Surabaya membangunakan SJUT untuk meletakkan kabel fiber optik yang kemudian dikenakan tarif pemanfaatan.

“Penyelenggara jaringan akan dengan senang hati masuk dan memberikan kontribusi," paparnya.

Dari diskusi ini, Wakil ketua DPRD Surabaya dan para narasumber sependapat bahwa ini dikarenakan kebijakan kebijakan Pemkot yang sudah ada sebelumnya dan masih berlaku hingga saat ini membuat berbagai macam kerancuan dan hambatan dalam membangun infrastruktur digital, maka perlu dibuat perda baru yang menjadi landasan dalam tata Kelola pembangunan infrastruktur  yaitu "Perda Tata Kelola Infrastruktur Digital".