Eksternalisasi Negatif

Ilustrasi polusi udara Jakarta/Net
Ilustrasi polusi udara Jakarta/Net

EKSTERNALISASI negatif adalah kegiatan individu atau perusahaan yang dapat menimbulkan dampak merugikan terhadap pihak lain, yang tidak ikut terlibat dalam kegiatan transaksi. 

Contoh eksternalitas negatif misalnya pencemaran udara, pencemaran limbah B3 beracun yang tanpa pengolahan limbah, kebisingan suara, kemacetan lalu lintas, atau meminum minuman keras beralkohol melebihi ambang batas, yang diizinkan oleh pemerintah.

Dalam definisi eksternalitas negatif, pemerintah dan BUMN/BUMD seyogianya juga dapat dimasukkan sebagai salah satu dari sumber penyebab eksternalitas negatif, misalnya pemberlakuan pembayaran tarif tol menimbulkan antrian panjang kendaraan bermotor beroda empat atau lebih.

Pemberlakuan plat nomor ganjil genap menimbulkan peningkatan kepadatan kemacetan lalu lintas di wilayah, yang tidak terkena pemberlakuan plat nomor ganjil genap.

Kesadaran tentang eksternalitas negatif dilembagakan oleh negara, misalnya dengan pemberlakuan UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, meskipun pemerintah telah mendirikan Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup sejak tahun 1978.

Walaupun UU 23/1997 telah memberlakukan pidana penjara paling lama minimal 3 tahun hingga 15 tahun, serta denda paling banyak Rp 100 juta hingga Rp 750 juta, kemudian masa pemberlakuan UU dimulai 5 tahun kemudian.

Akan tetapi terkesan kesadaran terhadap pencemaran udara di DKI Jakarta sebagai tonggak “bersejarah” dimulai sejak Joko Widodo batuk-batuk selama 4 minggu akibat polusi udara (ISPA).  Ditambahkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati kehilangan suara pada waktu Rapat Kerja dengan DPR RI baru-baru ini.

Lengkap sudah pembenaran tentang ancaman bahaya eksternalitas negatif atas pencemaran udara, sekalipun misalnya tragedi pencemaran limbah beracun B3 kasus Minamata, limbah buangan nikel Pulau Obi, banjir bandang pasca pembabatan hutan di berbagai wilayah di Indonesia, banjir siklus air bah besar musiman di Jakarta, dan kekeringan panjang di beberapa wilayah Indonesia telah jauh lebih awal terjadi.

Sebenarnya Pemda DKI Jakarta telah jauh lama memberlakukan penertiban untuk mengurangi pencemaran udara, namun efektifitasnya masih kurang terasa, termasuk “himbauan” dari Menko Marves kepada masyarakat untuk menggunakan mobil listrik dan motor listrik bersubsidi.

Semua eksternalitas negatif tersebut terkesan masih kurang membangkitkan kesadaran terhadap pencemaran udara dari sisi kepentingan pemerintah, dibandingkan insiden batuk-batuk Joko Widodo selama 4 minggu dan hilangnya suara Sri Mulyani Indrawati.

Akibat secara kebetulan bersihnya udara Jabodetabek ketika pandemi Covid-19 sebagai benchmark dan atas pemberlakuan Work from Home (WFH), maka efektivitas pengendalian pencemaran udara akibat kendaraan bermotor roda dua atau lebih, serta cerobong asap pabrik lebih ditentukan oleh biaya pemakaian alat pengolah limbah (udara) dan tingkat pendapatan penduduk per kapita.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana