Kembang Kempis Perekonomian Rakyat dan Kemajuan Bisnis Kaum Borjuis di Banyuwangi 

Caption: Salah satu minimarket yang berdiri di depan pasar tradisional di Banyuwangi/Dendy for RMOLJatim 
Caption: Salah satu minimarket yang berdiri di depan pasar tradisional di Banyuwangi/Dendy for RMOLJatim 

MENDENGAR kata Banyuwangi, setiap orang akan selalu mengingat tentang wisata, kuliner, hingga budaya. Setiap tahunnya masyarakat sampai wisatawan yang datang menyaksikan berbagai macam pertunjukan. Ada pameran, kesenian dan budaya yang dikemas dalam bingkai festival.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) memperkenalkan semua itu dikatakan memiliki tujuan untuk melestarikan kebudayaan yang kaya filosofi, makna, dan mampu bersaing hingga di tataran internasional. 

Sektor wisata dan kuliner misalnya, seakan memiliki daya tarik terhadap wisatawan untuk berkegiatan. Tentunya karena wisata alamnya terbilang indah dan memiliki visual yang dapat memanjakan indrawi pengunjung.

Belum lagi, pluralitas etnik, bahasa, dan kearifan lokal yang membuat Bumi Blambangan serasa nyaman dan harmonis. Mulai dari masyarakat Jawa, Madura, Mandar, dan Osing tinggal di berbagai wilayah yang ada di Banyuwangi. Pluralitas berjalan harmoni dan nyaris tidak ditemukan adanya konflik. 

Perbedaan suku, ras, dan agama tersebut dijadikan spirit demi terwujudnya kehidupan yang sejahtera, nyaman, dan sikap saling menghormati satu sama lain. 

Kendati demikian, bukan berarti di masa kepemimpinan Ipuk Fiestiandani yang melanjutkan masa kepemimpinan suaminya, Abdullah Azwar Anas selama dua periode itu tidak terdapat kejanggalan yang membuat masyarakat menjadi isykal (dilema). 

Setiap kepemimpinan akan menemukan jalan yang diliputi onak berduri dan tebing terjal. Siapa pun ia, tidak akan pernah mampu terhindar dari dinamika. Entah itu secara alamiah atau karena kebijakan yang tidak jelas sasarannya. Yang demikian ini merupakan keniscayaan. 

Maka itu, kondisi seperti ini sepatutnya disikapi secara kritis, terbuka, dan masyarakat mengawasi kinerja pemerintah kabupaten. 

Di balik euforia penghargaan yang diterima pemerintah daerah dan gelaran festival yang gegap gempita, agaknya perlu penglihatan untuk menganalisis semua itu. 

Salah satu kebijakan yang memiliki resonansi cukup besar dari corong Pendopo (baca: Pemkab Banyuwangi) ialah program “UMKM Naik Kelas”. Program yang dicanangkan pada awal kepemimpinan Ipuk Fiestiandani dan Sugirah, awalnya direspon positif.

Wajar, semua bentuk program pemerintah hakikatnya baik, lantaran bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masyarakat mulai menganggap, program tersebut akan banyak membantu usaha skala mikro, kecil dan menengah. 

Diketahui, selama ini tidak sedikit dari mereka kembang kempis menjalankan usahanya. Beberapa kebingungan modal usaha dan pangsa pasar contohnya. Cukup membuat garuk-garuk kepala, satu masalah selesai, seribu masalah mengintai.

Belakangan, Pemkab Banyuwangi menginisiasi “Warung Naik Kelas”. Inovasi untuk mendukung program sebelumnya. Seperti sebelumnya, terkesan menarik. Namun fakta di lapangan justru memperlihatkan kontradiksi yang tidak sepele. 

Di berbagai platform media informasi memberitakan, bahwa Pemkab Banyuwangi terus melakukan upaya-upaya untuk memacu perkembangan ekonomi di kalangan masyarakat bawah. Bahkan, berbagai bantuan alat usaha digelontor untuk membangkitkan perekonomian warga. 

Persoalan yang cenderung diabaikan yakni keberadaan Peraturan Bupati (Perbup) Banyuwangi Nomor 33 Tahun 2016 dan ketegasan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 11 tahun 2014. Kedua regulasi yang dapat dikatakan sebagai langkah yuridis pemerintah mengatur, menata dan bahkan melarang pendirian toko modern atau minimarket di Banyuwangi yang terdiri dari 25 kecamatan dan melingkupi 189 desa dan 28 kelurahan.

Perihal minimarket termaktub dalam Perbup 33/2016 Pasal 3. Sedangkan pelarangan mendirikan dan melakukan usaha baru berupa minimarket diatur juga dalam Perda 11/2014. Dua peraturan tersebut dinilai sangat urgen untuk merealisasikan dan membuktikan komitmen Pemkab Banyuwangi atas program-kebijakan yang bersentuhan dengan UMKM. 

Fakta di lapangan masih banyak minimarket tak jauh dari pasar tradisional, di berbagai desa di Bumi Blambangan ini. Contohnya di Desa Sraten, Kradenan, Sumber Beras, Karetan, dan Purwoharjo. Itu belum semuanya. 

Menurut regulasi sejumlah minimarket tersebut diduga terbukti menabrak Perbup 33/2016 Pasal 3 huruf (c) berbunyi: “Jarak dari pasar tradisional minimal 500 meter”. Bahkan, minimarket yang ada di Kradenan, Purwoharjo dan Sraten, bisa dikatakan berdiri ‘menantang’ para penjual pasar tradisional. 

Lalu, dimana para penegak Perda yang memiliki ketegasan sebagai eksekutor aturan-aturan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup orang banyak serta terjaminnya keadilan sosial? 

Maka jangan heran bila di kemudian hari akan banyak lagi pelanggaran terjadi dan dibiarkan oleh pemimpin berkuasa yang berpihak kepada segelintir orang/pemilik modal. Bukannya, setiap aturan hukum harus dipatuhi dan ditegakkan. Sementara pemerintah memastikan aturan yang ada berlaku untuk semua.

Seyogyanya, Pemkab Banyuwangi melakukan penelusuran dan evaluasi. Toh dinas terkait pasti tahu ketika ada pengurusan izin usaha minimarket. Tentunya juga, agar tidak terkesan ‘abang-abang lambe’ belaka.

Dalam program unggulan dan kebijakan Pemkab Banyuwangi terdapat kesan kontradiktif. Satu sisi menggaungkan program UMKM Naik Kelas, tapi di sisi lain melalui dinas perizinan merestui metamorfosis Indomaret/Alfamart. 

Saat gelaran festival berlangsung bilang bahwa, banyak pelaku UMKM mendapatkan multiplier effect dari kegiatan ini. 

Cengkeraman kaum borjuis (golongan menengah ke atas) masih kuat dan pelaku usaha kecil dipiting. 

Jika dibiarkan tanpa pengawasan, wacana apik tentang UMKM Naik Kelas itu sejatinya hanya keluar dari mulut pengecut.

Penulis merupakan pemuda Glagah Agung, Purwoharjo