Membicarakan Kecurangan Pemilu 2024

Ilustrasi Pemilu Serentak 2024/RMOL
Ilustrasi Pemilu Serentak 2024/RMOL

JUMLAH tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia untuk Pemilu 2024 sebanyak 823.220 titik. Sebanyak 820.161 TPS (99,63 persen) berada di dalam negeri dan sebanyak 3.059 TPS (0,37 persen) berada di luar negeri. 

Artinya, untuk mengetahui keberadaan karakteristik populasi preferensi voters hasil Pemilu secara cepat (metoda quick count) dapat menggunakan jumlah sampel. Dengan menggunakan metoda Slovin taraf kesalahan 2 persen, maka diperlukan jumlah sampel sebanyak 2.500 TPS.

Dengan menggunakan metoda stratified random sampling, maka jumlah sampel untuk mewakili voters di luar negeri adalah 925 TPS.

Keberatan terbesar terhadap metoda quick count dari pihak yang kalah dalam Pilpres adalah terjadinya kecurangan. Oleh karena hasil perhitungan quick count mempunyai taraf kesalahan yang amat sangat rendah, atau mempunyai ketepatan yang amat sangat tinggi, maka gaung diksi kecurangan terkesan dikonstruksikan sejak seawal mungkin. 

Bahkan kasak kusuk terberat yang sedang dikonstruksikan digelembungkan adalah terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pertama, UU Pemilu 7/2017 disepakati yang digunakan sebagai dasar Pemilu 2024, yang di dalamnya kemudian dipersoalkan tentang netralitas dan dugaan keberpihakan presiden.

Film dirty vote adalah suatu opini dari narasumber, yang bukan menyampaikan fakta-fakta sebagai kecurangan, melainkan opini sebagai tafsir tentang terjadinya kecurangan tanpa bukti-bukti terjadinya besar kecurangan.

Kedua, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran Rakabuming Raka dapat maju sebagai cawapres. Sekalipun MK berkekuatan hukum bersifat tetap, namun berbagai opini keberatan yang dinarasikan menggunakan diksi kecurangan senantiasa digembar-gemborkan.

Bahkan, terjadi silang pendapat opini hukum tentang posisi etika (kode etik) dibandingkan kekuatan hukum bersifat tertulis (Undang-undang) dan peraturan pelaksanaan yang menjadi turunan dari Undang-undang.

Gerakan demokrasi, anti pelanggaran etika, dan anti pelanggaran moralitas disuarakan oleh Petisi 100, sebagian pengamat ekonomi politik, pengamat hukum tata negara, pengamat politik, dan guru besar dari akademisi kampus, bahkan mengidentifikasi opini telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam merevisi UU KPK, menetapkan UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, dan lain-lain sebagai pengonstruksian opini mosi tidak percaya dalam membangun narasi pemilu 2024 tidak mempunyai legitimasi.

Jadi, opini telah dibangun sejak jauh-jauh hari untuk membenarkan tentang fenomena pemilu 2024 tidak legitimate,, bahkan presiden dikonstruksikan telah melanggar UU pemilu dan UUD 1945, sehingga wacana yang dibangun adalah presiden mesti dimakzulkan.

Pemakzulan yang tanpa bukti-bukti menggunakan proses persidangan, melainkan pada tahapan mengembangkan opini, termasuk diikuti oleh demonstrasi mahasiswa di berbagai tempat secara sporadis. Argumentasi tersebut terkesan kuat dibangun sejak awal sebagai fondasi persiapan seandainya kalah quick count.

Ketiga, bansos, rapat kepala desa, gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia dikonstruksikan sebagai faktor yang menjadi dasar penyebab kemenangan paslon hasil quick count. Program bansos untuk pengentasan kemiskinan yang merupakan program kerja rutin tahunan dan mitigasi risiko atas perubahan iklim ekstrem, pun diidentifikasi sebagai kegiatan kecurangan.

Hal itu meskipun program APBN merupakan kesepakatan antara semua parpol dalam badan anggaran DPR dan pemerintah. Publikasi video, foto, dan pemberitaan presiden dalam acara kunjungan kerja dan makan bersama, serta tanya jawab dengan wartawan dikonstruksikan sebagai bentuk dari bukti-bukti ketidaknetralan dan keberpihakan dari presiden.

Singkat kata, senantiasa ada sejuta-juta alasan dan pembenaran untuk membangun opini guna mendelegetimasikan pemilu 2024 menurut versi dari paslon dan atau tim sukses, serta para pendukungnya yang kalah dalam quick count.

Beberapa peristiwa dihubung-hubungkan untuk membangun opini bahwa pemilu tidak legitimate, minimal pemilu curang. Diksi curang yang melebihi dari ambang batas toleransi dari sampling error quick count. Namun keputusan akhir dari pemilu adalah berdasarkan perolehan hasil perhitungan jumlah suara.

Perhitungan quick count menggunakan sampel dari TPS atas dasar bukti kesepakatan hasil berita acara TPS adalah sampel yang otentik. Meskipun demikian, persoalan bisa saja timbul pada tingkat rekapitulasi berikutnya yang bertingkat-tingkat sesuai pewilayahan hingga level provinsi dan nasional berdasarkan mekanisme metoda perhitungan real count KPU.

Penting sekali untuk membedakan antara human error, system error, dan kecurangan, yang merupakan kombinasi dari perhitungan teknologi informasi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana