Fear of the Dark

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

REZIM dan para punakawannya di negeri ini sedang mengalami sindrom ''Fear of the Dark''. Sindrom takut kegelapan masa mendatang, takut nasibnya kelak, paranoid pada masa depan. Itulah nyctofobia, takut gelap, merasa ngeri di kegelapan.

Meski lirik tembang bertajuk ''Fear of the Dark'' dari grup Haevy Metal asal Inggris, Iron Maiden, berkisah ihwal pengalaman seseorang dalam kegelapan. Namun, pengalaman itu juga bisa menimpa mereka yang telah berbuat salah serta terbebani rasa bersalahusai berkuasa. Takut ketahuan, khawatir terungkap, waswas tersingkap. Masa depan terasa gelap.

Seluruh lirik dendang beken Iron Maiden mirip narasi yang menggambarkan nasib tiran semau gue. Ketika berkuasa, ia berbuat apa saja tanpa khawatir dampak. Ia beri konsesi seluas-luasnya untuk kroni. Ia praktekkan politik dinasti terang-terangan. Mumpung sedang berkuasa, selagi berjaya, meraup segalanya. Ia katakan, aturan tak melarangnya.

Ia begitu berkuasa. Tak penting mematuhi Trias Politika, sebab yang terpenting adalah menguasai seluruh jalur Trias Politika. Prinsip pembagian kuasa, itu bukan cuma untuk dipatuhi, tapi yang terpenting adalah menguasai. Rezim Orde Lama dan Orde Baru begitu paripurna melakukannya, dan kini pelan-pelan mulai diulang.

Daulat rakyat sedang menuju akhir, daulat tiran boneka naik daun. Nyaris seluruh lini di panggung politik di negeri ini di bawah kuasa tiran boneka. Kedaulatan, ujar filsuf politik Antonio Negri, mulai berakhir. 

Dijelaskannya dalam buku ''The End of Soverignty'' (2022), kedaulatan berpangkal pada otonomi politik. Namun, saat otonomi politik tak lagi dihormati, maka daulat itu pun dirampas tiran boneka.

Panggung politik tak lagi jadi hiburan rakyat. Sebab, panggung itu kini menjadi hiburan sang tiran. Melalui panggung ini, tiran mengatur plot permainan. Ia merancang skenario drama politik. Bersuka cita di hadapan rakyat yang cuma bisa melongo, tak kuasa mengkritik. Siapa berani mengkritik, dia bakal dipersekusi.      

Apalagi ketika hukum dikangkangi. Hukum bukan lagi menjadi tempat menegakkan keadilan. Ia menjadi alat politik menekan lawan. Ia menjadi alat menggebuk oposan. Ia menjadi alat gusur dalam persaingan.          

Begitu tahu hari akan senja, tiran pun mulai memberesi panggung. Baginya, ketidakpastian nasib kelak adalah kegelapan mencekam. Rasa takut menghinggapi jagat pikirannya. Menakutkan akibat telah berdosa kepada rakyat.

* Periset di Surabaya