Ke Depan Tidak Boleh Ada Lagi  Rival yang Kalah Gabung Pemerintahan

Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2019/Ist
Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2019/Ist

Pada Pemilu 2024, rival yang kalah di Pilpres tidak boleh lagi gabung ke dalam pemerintahan yang menang. Hal itu agar sistem demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya. 


Sistem demokrasi tidak akan memberikan manfaat bagi rakyat jika yang kalah juga masuk dalam sistem pemerintahan.

Demikian ulasan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/9).

"Jangan sampai rakyat Indonesia menilai sistem demokrasi hanya 'kedok' untuk merampok harta warisan rakyat Indonesia. Tidak adanya check and balance terhadap jalannya roda pemerintahan, menimbulkan ketamakan dan kerakusan pejabat yang sedang berkuasa, sebab tidak ada kekuatan yang berimbang untuk mengontrol kebijakan pemerintahan yang sedang berjalan," ujar Silaen.

Sambung dia, presiden dan wakil presiden bersama partai politik pendukung yang menang tidak boleh lagi mengajak atau merayu-rayu untuk bergabung dalam pemerintahan.

"Maka yang kalah wajib menjadi barisan oposisi, yang sama mulianya dalam rangka mengawasi atau kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang berkuasa, " tegas alumni Lemhanas Pemuda 2009 itu.

Menurutnya, di periode kedua Joko Widodo (Jokowi), nyaris tak ada kontrol atau pengawasan dari barisan oposisi untuk mendorong terjadinya check and balance terhadap jalannya roda pemerintahan yang sedang berkuasa.

"Kenapa? Karena yang kalah di kontestasi pemilu ikut masuk ke dalam pemerintahan Jokowi, maka terjadilah pat gulipat di dalam pemerintahan," tukasnya.

Masih kata Silaen, ketika rival yang kalah ikut masuk ke dalam pemerintahan, maka sudah tidak mungkin lagi melakukan oposisi kontrol atau pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan Jokowi saat ini.

"Itulah sebabnya penguasa bertindak 'otoriter' karena tidak ada barisan oposisi yang sama kuatnya," sesalnya.

Kedepannya, lanjut dia,  hal demikian tidak boleh lagi terjadi agar sistem demokrasi yang dipilih tersebut tidak sekadar slogan kosong yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia.

"Dalam sistem demokrasi yang sehat itu, maka dibutuhkan check and balance terhadap roda pemerintahan," ungkap mantan fungsionaris DPP KNPI itu.

Dapat dipastikan, tegas dia, rakyat Indonesia sangat dirugikan dalam sistem demokrasi 'abal- abal' ini.

"Bila yang kalah tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai oposisi yang mendorong terjadinya check and balance terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa," pungkas Silaen dimuat Kantor Berita Politik RMOL.